Aku Sudah tak Marah

“Kemarahan hanya akan berdampak buruk pada kesehatanmu. Ini dapat memberikan perubahan pada respons fisik mulai dari detak jantung, tekanan darah, dan respons imun.”

Ketika masih kecil, saya sering heran manakala ada Bude Yayang (sebut saja begitu Namanya) datang ke rumah, lalu curhat was wes wos panjang lebar ke ibuku.

“Sampai kapanpun, aku nggak ridho sama kelakuan dia! Sumpaaahh! Gak bakal aku maafkan! Pokoke aku baru mau ngomong sama dia, kalau dia mau merendahkan hati, lalu minta maaf nyuwun ngapuro sambil sungkem ke aku!!” Bude Yayang mengucapkan kalimat ini dengan satu tarikan nafas. Matanya menyeringai kemerahan, mulutnya berbusa-busa, tangannya terkepal sempurna. Ibuku mengelus-elus punggung Bude, sambil menyodorkan segelas air mineral. “Istighfar Mbaaa, ayo minum dulu.”

Sebagai anak kecil, tentu saja aku kurang paham apa masalah utama yang men-trigger kemarahan Bude Yayang. Tapi, memori kemarahan serta kalimat “sumpah tak akan aku maafkan” ini yang terus berkelindan di batok kepalaku hingga kini.

Ada masalah seserius apa ya, kok sampai orang tua, eh… orang dewasa ogah memaafkan kesalahan pihak lain? Padahal, kalo dipikir-pikir Bude juga bukan orang tanpa noda dosa kan. Bisa jadi budeku justru pelaku Kekerasan Verbal . Gimana rasanya kalau ada orang lain yang ternyata juga mengucapkan “sumpah tak akan aku maafkan” ditujukan ke Budeku yang nada bicaranya ala mercon bantingan itu?

Maem burger dulu, biar tenang….

Yeah… itulah anak kecil yang lugu, polos, naif. Seiring berjalannya waktu, aku jadi paham, bahwa dunia orang dewasa sangatlah over-super-duper-extra-complicated. Perihal Mengelola Emosi serta berkaitan dengan kata MAAF, Cuma terdiri dari empat aksara. MEMAAFKAN, hanya diberi imbuhan awalan me- dan akhiran -kan. Tampak simpel, tapi percayalah…. Kenyataannya tidak sesimpel itu. Saya yang di masa kecil terheran-heran dengan sikap Bude Yayang, saat ini… I really can relate her

***

Satu orang ini, sebut saja namanya Pak Sammy. Bisa dibilang, interaksi kami cukup dekat, dan ada sejumlah kesalahan dia yang tak kunjung bisa saya maafkan. Rasa dendam dan marah terus menggelegak dalam jiwa. Bertahun-tahun sulit rasanya untuk mengenyahkannya. 

Padahal, saban IdulFitri, saya Pak Sammy bertemu, saling bersilaturahmi, berucap “Mohon maaf lahir dan batin…” tapi, oh well…. Sebatas sugar-coating belaka. Kalbu saya nggak bisa berdusta. Rasa marah terus menyeruak, meronta… hingga pada akhirnya…..

Saya divonis penyakit cukup serius. Salah satu organ saya membengkak secara sporadis, kemudian pecah. Darah berleleran tanpa bisa distop, hingga dokter bedah onkologi memvonis bahwa saya harus dioperasi dengan bius total. Selesai? Belum. Ternyata, hasil laboratorium menunjukkan bahwa kadar gula darah saya mencapai 330! Halo Diabetes type 2! Dokter juga mencurigai ada benjolan tidak wajar di organ saya yang lain. “Harus dibiopsi ini, Bu… Supaya tahu ada keganasan atau tidak.”

Saya terkekeh, mirip orang setengah depresi. Atau jangan-jangan sudah depresi? Entahlah, yang jelas, saya sudah nggak punya stok air mata untuk diumbar depan dokterku yang sabar tapi kata-katanya laksana terkaman harimau sumatera. Penyakit bertubi-tubi harus dialami oleh bodi ini. Oke… oke…. Ini takdir. Ujian. Cobaan. Tapii, tentu saja, sebagai manusia normal, izinkan saya bertanya, “Kok bisa? Kenapa saya?”

Dokter menyunggingkan senyum simpul. Ia hanya menganjurkan aku untuk jaga kondisi jelang operasi. Sebelum kami sudahi sesi konsultasi, dokter berkata pelan, “Ibu yang ikhlas, ya. Coba untuk memaafkan semua orang. Siapa saja.”

Aneka penyakit degeneratif yang saya alami, pemicunya bisa dari banyak hal. Gaya hidup, pola makan yang tidak tepat, dan yang paling penting: rasa marah/ stress/ tidak mau memaafkan, yang selama ini bercokol dalam jiwa. Astaghfirullah…. Kalau Tuhan saja begitu Pemaaf, mengapa saya hamba-Nya justru begitu angkuh, dan tak mau memaafkan Pak Sammy?

Saya pun menjalani operasi dan masa pemulihan…. yang jujur, sangat menyiksa, menguras energi, emosi dan uang, tentu saja. Terus saya hunjamkan dalam dada, “This shall too pass… all is well….” Saya berusaha rileks, mindfull, rajin mengaji, sholat, sesekali meditasi…. Dan suami saya pun dengan sangat berhati-hati, ia berujar, “Nanti kalau sudah enakan, kita ketemu Pak Sammy, ya?”

Masa pemulihan saya gunakan untuk mempersiapkan tubuh. Saya ambil ancang-ancang supaya tatkala ketemu Pak Sammy, kemarahan saya agak tereliminir. Heyy, siapa sih saya ini? Hanya setitik noktah di galaksi yang begitu luasnya….. seonggok kacung kampret, manusia mediokre yang kalaupun saya nggak ada, planet Bumi ini tetap ber-rotasi dan ber-revolusi secara paripurna! Jadii, apa yang patut membuat saya begitu angkuhnya dan ogah memaafkan pak Sammy?

***

Tibalah hari itu. Saya bersama suami datang ke rumah pak Sammy… Kami disambut oleh istri dan anaknya yang begitu riang. Tak ada aura curiga, barangkali mereka selalu merasa bahwa saya sudah betul-betul memaafkan dengan sepenuh jiwa. 

Terima kasih atas momentum IdulFitri. Saya bisa datang, ngobrol dengan berusaha rileks, dan berucap mantap, “Saya minta maaf atas semua kesalahan yang saya perbuat, baik yang disengaja maupun tidak. Atas izin Allah, saya memaafkan semua kesalahan pak Sammy. Semoga kita dibimbing dan diberi hidayah oleh Allah, untuk menjadi insan yang lebih baik lagi.” 

Plong. Kalimat itu saya ucapkan dengan serius. Tiap diksi saya sematkan “meaning” , I really meant it. 

Dan, yah…. persis seperti yang dikatakan dokter, bahwa memaafkan adalah salah satu terapi agar kondisi diri bisa menjadi lebih baik lagi. Memaafkan sangat berdampak pada fisik dan psikis. 

Boleh jadi aneka penyakit yang bersemayam dalam tubuh adalah implikasi dari rasa marah yang tak kunjung sudah. Maka, ketika saya memaafkan… semua dendam/ marah/ kesal menemukan muaranya. 

Saat saya memilih untuk ogah berdamai dan menyimpan dendam, justru diri saya sendirilah yang paling tersakiti. Menyimpan bara amarah justru meningkatkan stres dan kecemasan pada diri kita. Membuat kita lebih pesimis dan terperangkap dalam keputus-asaan. 

Memikirkan kesalahan orang secara berulang juga meningkatkan risiko mengalami gangguan obsesif-kompulsif (OCD), stres pasca-trauma (PTSD), atau bahkan gangguan psikosomatik. Gangguan psikosomatik terjadi ketika stres dan kecemasan menyebabkan penyakit fisik, seperti sakit perut atau migrain.

Hidup tanpa memaafkan tak hanya memberikan beban psikis melainkan juga beban fisik. Kemarahan menempatkan seseorang dalam mode “terjaga” sehingga memberikan perubahan pada respons fisik mulai dari detak jantung, tekanan darah, dan respons imun.

Kondisi ini meningkatkan risiko depresi, penyakit jantung dan diabetes, dan gangguan kesehatan lainnya. Ketika dalam kondisi marah, tekanan darah meningkat, sehingga bisa mengalami gangguan tidur.

Saya memilih untuk memaafkan. Bismillah, atas izin Allah… saya makin sehat dan bahagia. (*)

4 comments

  1. Terharu bacanya 😭. Mba Nurul udah sehat sekarang? Semoga sakitnya bisa bener2 sembuh dan mba juga pulih yaaa.

    Bicara kemarahan, I feel you mba. Pernahkah pastinya merasa marah hebat sampe rasanya ga mau memaafkan orangnya. Tapi setelah ngerasain, benci dendam itu memang cuma ngerugiin kita. Capeeeek mba kalo punya dendam. Tiap hari kok ya mikirnya itu, temrn2 lain udh kemana2, kitanya masih stuck di titik yg sama 😔.

    Akhirnya aku juga belajar utk maafin. Udh ga pengen membenci lagi. Walopun mungkin yaaa, utk melupakan ga bisa. Ya masalahnya otak kita masih mengingat kejadiannya kan 🤣. Kec aku amnesia.

    Skr ini Alhamdulillah hidup lebih enak kalo tanpa dendam. Dipikir2 juga, Allah aja segitu baiknya bisa maafin, kenapa kita ga kan…

  2. noted Nurul… saya bersyukuuur sekali baca artikel kali ini.

    Ternyata memaafkan = kunci pembuka kehidupan yang jauh lebih indah ya. Saya punya rasa sesal – kesal – benci – dendam di hati dan memang bukannya membuat saya “senang” malah menderita. Saya ijin copas ya kalimatnya di bawah ini.

    Hidup tanpa memaafkan tak hanya memberikan beban psikis melainkan juga beban fisik. Kemarahan menempatkan seseorang dalam mode “terjaga” sehingga memberikan perubahan pada respons fisik mulai dari detak jantung, tekanan darah, dan respons imun.

    sekali lagi terimakasih karena telah membukakan mata hatiku .. love love

  3. Aku sudah tak marah. Walau masih teringat (singing). Hihihi lagunya nancep bgt soalnya viral di reels.

    Buatku lebih mudah untuk minta maaf daripada memaafkan. Tapi lama2 belajar dan mendewasakan diri. Bahwa memaafkan itu bisa kok dilakukan dan mendendam itu tidak baik. Karena sama aja dengan menyimpan kentang yg terus membusuk di ransel.

  4. Ya Allah Mbak, baru tahu perjuanganmu, Alhamdulillah bisa sehat dan memaafkan ya aku pernah baca uraian psikolog kalau memendam marah dan benci serta dendam memang berakibat buruk bagi tubuh, jadi baguslah orang yang bisa mengeluarkan berapa ribu kata per hari ya

Leave a comment