Kembali ke Fitrah dengan Berzakat

Sudah menjadi tabiat manusia berjiwa kikir bin medhit. Ini manusiawi dan amatlah lumrah. Karena Allah sendiri yang berfirman dalam Al-Qur’an, Surat Al-Ma’arij ayat 19-21 : “Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh.Apabila dia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan dia menjadi kikir.”

Kikir. Pelit. Bakhil. Ogah berbagi pada sesama.

Kikir. Dan selalu mementingkan diri sendiri. Pada akhirnya, ini berimbas pada sikap egois. Nafsu serakah. Serasa dunia ini harus ada dalam kendali kita. Dan ketika kita makin berambisi untuk menaklukkan dunia, detik itu juga kita bertransformasi menjadi peminum air laut. Semakin diminum, semakin hauslah kita. Semakin kita diberikan peluang untuk mengecap nikmatnya dunia, detik itu pula kita tergoda untuk memiliki “dunia-dunia” lainnya.

Apakah ini anomali?

Tidak. Sama sekali tidak. Persis seperti yang saya singgung di atas. Sudah tabiat manusia untuk menjadi kikir. Tapi, apakah kita hanya berdiam diri dan justru mengakrabi sikap kikir yang sudah merasuk dalam jiwa? Apakah kita justru membiarkan berkubang dalam sikap egoism taraf dewa? Apakah kita membiarkan diri asyik-masyuk dalam gemerlap dunia, sementara saudara-saudara kita tengah merintih, menahan lapar, dan tak tahu harus mengadu ke mana?

Tidak.

Dan, di sinilah keindahan Islam bermuara.

Agama yang luar biasa indah ini, tidak hanya mengundang kita untuk hablum minAllah alias beribadah secara vertikal, dengan menyembah Sang Penggenggam Kehidupan. Islam juga menekankan pentingnya hablum minannas alias hubungan dengan sesama manusia. Kebaikan juga harus kita lakukan secara horizontal. Percuma saban hari pergi ke Masjid, umroh 10 kali, naik haji 5 kali, tapi sama sekali tak ada rasa peduli yang mengusik hati, manakala kita tahu tetangga kita tengah didera lapar tiada tara.

Inilah indahnya Islam.

Lebih-lebih kita diberikan kesempatan berlian (bukan hanya emas) untuk bisa bersua dengan bulan yang penuh gelimang rahmat: Bulan Ramadhan. SubhanAllah, Maha Suci Allah… Maha Besar Allah yang memberikan peluang bagi kita untuk “menjadi bayi lagi”. Sebagaimana sabda Rasul, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan puasa Ramadhan. Barangsiapa berpuasa dan menegakkannya mengharapkan ridho Allah SWT, maka ia diampuni dosa-dosanya yang telah lampau, seperti bayi fitri (suci) yang baru dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Ahmad).

Ah, Ramadhan. Sungguh, kalau kita mengaku beriman, tentu Ramadhan adalah momen yang terlampau berharga, agar kita bisa meleburkan segala dosa. Kembali ke fitri. Berpuasa, memperbanyak amal kebaikan, dan tentu berempati dengan sesama.

Inilah yang terajarkan dalam Zakat Fitrah. Dengan 2,5 kilogram beras, kita dituntun Allah untuk menjadi pribadi yang suci dan tersucikan. Berbagilah beras atau makanan pokok itu. Berikan kepada mereka yang berhak untuk menerimanya. Distribusikan kepada kaum fakir dan miskin. Agar mereka yang papa bisa kenyang di Hari Raya. Agar mereka yang dhuafa sanggup tersenyum, lantaran kepedulian yang kita punya.

Karena itu, bayarkanlah! Singkirkan semua ketakutan, bahwa kehilangan 2,5 kilo beras tidak akan membuat kita jatuh miskin! Justru dengan menzakat fitrahi diri, maka kita murni bertransformasi menjadi “bayi yang suci”. Bayi yang baru saja terlahir dari rahim sang ibunda. Bayi yang rela mengeluarkan sebagian hartanya, demi memenuhi apa yang diperintahkan Sang Maha Sutradara Kehidupan.

Maha Suci Allah….

Maha Suci Allah, yang telah mengajarkan kita untuk berempati dan menjunjung solidaritas kepada fakir miskin. Maha Benar Allah, yang telah memberikan kita peluang untuk berzakat fitrah, membersihkan diri dan perilaku kita dari tindak-tanduk dan perilaku yang menyesatkan.

Berterima kasihlah pada Allah, yang menyediakan sarana untuk pembersih segala khilaf yang barangkali entah sengaja atau tidak, telah kita lakukan selama bulan puasa. Rasul bersabda, “Zakat Fitrah merupakan pembersih bagi yang berpuasa dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan kata-kata keji (yang dikerjakan waktu puasa), dan bantuan makanan untuk para fakir miskin.” (Hadits Hasan riwayat Abu Daud).

Alangkah komprehensifnya Islam!

Bahkan, Islam telah menyediakan “sarana penambal” apabila puasa kita tidak sempurna. Ini seperti yang dituturkan Waki’ bin Jarrah, “Manfaat zakat Fitrah untuk puasa seperti manfaat sujud sahwi untuk shalat. Kalau sujud sahwi melengkapi kekurangan dalam shalat, begitu juga zakat fitrah melengkapi kekurangan yang terjadi ketika puasa.”

Alhamdulillah… Alhamdulillah….

Bersyukurlah lantaran Allah telah memberikan begitu banyak kemuliaan dan kesempatan beramal bagi kita. Tunaikan zakat fitrah. Perbanyak sedekah. Hadirkan nama-Nya pada kalbumu, setiap waktu.

Lalu, kapan kita berzakat fitrah?

Memang, waktu paling utama untuk menyerahkan zakat fitrah adalah pagi hari sebelum kita tunaikan shalat Idul Fitri. Tapi ingat, zakat fitrah tidak sah, apabila kita baru tunaikan sesudah shalat Ied. Jadi, tak ada alasan untuk menunda-nunda. Tunaikan SEKARANG juga.

Inilah sabda Rasul, “Barang siapa yang membayar zakat fitrah sebelum shalat ied maka termasuk zakat fitrah yang diterima; dan barang siapa yang membayarnya sesudah shalat ied maka termasuk sedekah biasa (bukan lagi dianggap zakat fitrah).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasakan kebahagiaan itu….

Bahagia karena bisa peduli dan berbagi dengan sesama….

Bahagia karena Ramadhan telah menjadi “kawah candradimuka” yang meningkatkan level derajat ketaqwaan kita.

Bahagia karena kita menjadi pribadi baru, yang insyaAllah lebih optimis menatap dan menjalani hari. Yang siap bertempur mengarungi kehidupan dengan semangat Laa ilaaha illAllah… (*)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Percuma Baju Baru, tapi Hati (masih) Bau

Late Night Sale! Get Your Eid Fitri Costume! Discount Up to 70%

Promo Idul Fitri! Tampil Cantik dan Istimewa di Hari Raya. Kunjungi Counter Kami Sekarang Juga

Tampil Modis dengan Busana Muslim! Diskon Besar-Besaran!

Hebat! Luar biasa hebat!

Beginilah cara para pemasar mal dan toko fashion untuk mendongkrak omzet penjualan jelang Idul Fitri. Aneka sale dan program Gebyar Ramadhan plus Idul Fitri, seolah menggoda iman. Yang tadinya tak ada niat belanja, jadi window shopping dan pada akhirnya malah KALAP dan main borong baju satu toko.

Hebat! Sungguh marketing strategy yang brilian!

Dari tahun ke tahun, kita seolah terperangkap dalam tipu daya butik busana dan beragam department store. “Idul Fitri harus pakai baju baru.” Itulah premis yang selalu dijejalkan di otak kita. Suka-tidak suka, kita terhanyut, dan mencoba merancang logika sendiri, bahwa belum sah bila sholat Idul Fitri tanpa mengenakan baju baru.

Apalagi, dunia fashion muslim saat ini sedang berkiblat ke Indonesia. Ini membuat kita merasa “mati gaya” kalau tidak ikut tren. Dan pada akhirnya, lagi-lagi kita terjebak pada budaya konsumtif yang tak berkesudahan.

Tapi, Idul Fitri kan cuma sekali dalam setahun? Nggak ada salahnya dong, kalau kita beli baju baru?

Memang betul. Momen Idul Fitri tidak terjadi setiap hari. Tapi, coba dicek sekali lagi, betulkah Anda hanya membeli baju baru satu kali dalam setahun? Coba Anda periksa lemari. Berapa stok baju baru yang sama sekali belum pernah Anda pakai? Berapa baju yang masih ada bandrol harganya dan teronggok pasrah di wardrobe closet Anda?

Itu dia. Sebelum terjebak dalam kungkungan “sale” ; “diskon besar-besaran” ; “potong harga Ramadhan” dan istilah-istilah “komodifikasi Idul Fitri” lainnya, ayo kita buka kitab panduan hidup kita. “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al Isro’: 26-27)

Dilarang berboros-boros, masbro!

Rasulullah teladan kita pun tidak mewajibkan dirinya untuk pakai baju baru saban Idul Fitri. Yang terpenting, harus tampil bersih. Suci. Karena sekali lagi, harus kita ingat bahwa selama menjalani “kawah candradimuka” bernama Ramadhan, target kita adalah mensucikan hati. Supaya kita lahir menjadi insan yang suci. Laksana bayi yang baru lahir dari perut ibundanya.

Satu yang perlu selalu kita ingat: percuma baju baru, tapi hati (masih) bau.

PS: Saya sendiri sudah 7 tahun terakhir tidak membudayakan beli baju baru saban Lebaran. Bahkan, anak saya, Sidqi, memakai baju seragam sekolahnya ketika Lebaran tiba. Baju taqwa serba-putih berkopyah putih itu juga dipakai Sidqi saat menghadiri pernikahan saudara kami di Bojonegoro. Juga dipakai ketika foto studio bareng para sahabatnya. Dan dipakai ketika perpisahan kelas di TK. Well, saya memang mak irit ingin mengajarkan ‘Islamic financial planning’ padanya sedari kecil. Mumpung belum terlambat.

Image
Sidqi pakai kopiah putih, Lebaran tahun lalu
Image
Sidqi, masih berkostum putih-putih jelang akad nikah Saudara di Bojonegoro
Image
Sidqi and his friends saat foto studio
Image
Masih pakai baju yang sama di perpisahan TK Darussalam

Mudik Aman, Lebaran Oke, Gaaan!!

Siapa pernah ke Pacitan?

Wuih…. kalo lo pernah sekaliiiiii aja ngrasain assoy-geboy-nya jalanan Pacitan, dijamin, bakal pengin balik lagi! Secara ya, kontur jalanan Pacitan itu ala-ala rollercoaster gitu deh. Kadang menanjak, menukik, menggelundung…. Dan yang lebih seru lagi, pinggirnya jalan Pacitan itu adalah…. Juranggg!!!

*berasa lagi liat pilem mission impossible yang adegan ngebut2an di pinggir tebing itu loh*

Nah.

Pertanyaan kemudian muncul. Kalo kita kudu mudik, bawa mobil sendiri, dan harus melalui rute yang seramnya luar binasa ituh, maka kita so pasti butuh kondisi mobil yang prima kan?  Soalnya, di rute yang serem abis ituh, kita kudu nglewatin jalur yang seolah tak berujung. Yah, Ponorogo-Pacitan kudu ditempuh selama 3 jam, dan rutenya bener2 bikin adrenaline rush!

Thanks God, sekarang ada Garda Oto.

Jadi, kalo mau mudik secara aman, so pasti, kita kudu cek kondisi kendaraan, kondisi rem, dan sopirnya cukup fit-kah untuk melakukan perjalanan yang lumayan jauh. Makan energi besar, pulak! Tahu sendiri kan, ruwetnya lalu lintas sepanjang jalur mudik. Nggak kalah penting, kita juga butuh asuransi mobil

Penginnya sih, mudik berjalan lancar, gak ada hambatan dan kita bisa Lebaran dengan aman-tenang-damai-sentosa. Tapi, bagaimanapun, kita kudu ready for the worst kan?

Oke, selamat mudik semuanyaaa…

Have a nice trip! 🙂

BukBer, waktunya Tampil to The Max!

Sebagai manusia yang menganut paham eksitensialis-narsistis akut, saya termasuk penggemar BukBer. Saban ada undangan BukBer, wuihh, langsung deh, semangat ’45, dan mulai bikin planning plus schedule *halah!* untuk bisa tampil to the max di acara ituh.

Maklumlah. BukBer itu kan jadi sarana “Pencitraan diri”. Manakala diundang BukBer, dan Anda bisa perform maksimal, maka tamu-tamu yang lain akan terpukau oleh kehadiran Anda, dan Andalah bintaaaang di event tersebut! *ini sebenarnya mau ngomongin BukBer atau konser dangdut sehh?*

Apapun itu, saya selalu mencintai momen BukBer. Terlebih, pada saat saya lagi kinyis-kinyis, wuih undangan BukBer datangnya segambreng dah! Lokasinya juga bukan sembarangan. Hari ke-5 puasa, undangan di Shangrilla Hotel. Besokannya ke Grand Mirama Hotel. Lalu, di Tunjungan Hotel. Lalu, di Resto Nine. Trus, di Waterfront Resto. Intinya, spot kuliner yang elit2 gitu deh. Yeay, maklum. Temen2 eikeh kan kalangan sosialita getooo…. *Trus, gue harus bilang pret, getoh?*

Ketika BukBer, kita juga harus jaga image. Biarpun makanan yang tersaji betul-betul menggoyahkan iman dan air liur, jangan sampe kalap! Ingat. BukBer itu sarana yang paling mantap untuk membangun pencitraan. Your personal branding is very-very important di momen itu.

Mata gak boleh jelalatan. Sibuk mandangin hidangan yang ada di meja. Trus, yang gak kalah penting nih, Anda juga harus memastikan bau mulut gak mengganggu kekhusyu’an acara BukBer. Iya lho! Ini genggeus banget kalo sampe kejadian “bau naga” pas BukBer. Tahu sendiri kan, jam-jam menjelang bedug Maghrib tuh, entah kenapa mulut kita seolah lagi “hot-hotnya”. Kan nggak enak tuh, pas lagi asyik ngobrol, dalam jarak yang super-dekat,lalu zzzziiiinggg, alamakjannn…. ini kok ada naga nyemburin asap di sini! #mendadak semaput.

Ini kejadian loh, pas saya liputan event BukBer di salah satu hotel megah di Sby. Temen saya tuh, wartawan dari media lokal. Kayaknya dia abis ngliput berita kriminal deh. Maklum, jadi wartawan kan emang suka kerja serabutan. Abis dari Polres ambil berita pembunuhan, eh, langsung disuruh ngluyur ke hotel cari liputan kuliner.

Ya udah, dengan tampilan yang super-duper kucel, doski teteup pede dateng ke Hotel. Dari radius 5 meter aja, udah terasa bau bangkai. Eh, lah kok doi pede banget tebar pesona ke mbak2 PR alias Public Relations yang unyu-unyu itchu. Ngobrolnya deket banget boo! Ugghh, si mbaknya tetep masang senyum PR sih… Tapi, sambil nahan napas!

Di situlah letak keberkahan dan keajaiban BukBer. Kita bisa lebih akrab dan PDKT secara syariah dengan incaran kita. Kan kalo liputan biasa, nggak mungkin dong, kita ngobrol berlama-lama. Tapi, pas BukBer, segalanya memungkinkan! Dimulai dari pertanyaan, “Eh, ntar Lebaran mudik kemana?” dan pembicaraan berlangsung smooth….

Saya sendiri juga beberapa kali jadi panitia BukBer. Rasanya? Rempooong, maak! Kudu pesen menu. Mendata dan Nelponin satu-persatu peserta. Narikin iuran. Ini nih bagian yang paling nyebelin. Kalo yang ditarik meditnya amit-amit, mau gak mau kita kudu ‘nalangin’ duit dulu. Pussssiiiinggg!

Anyway, dari semua kerempongan itu, ada satu pelajaran yang bisa dipetik. BukBer itu membuat silaturrahim tetap terjaga. Kalo nggak ada Ramadhan, kecil kemungkinan kita menyediakan waktu untuk bisa ‘jeda sejenak’ dari ribetnya roda kehidupan. Kalo nggak ada Ramadhan, nggak ada BukBer tho? Kalo nggak ada BukBer, maka aku nggak pernah dapat peluang berburu pahala dengan ‘nalangin’ dana temen2 yang blum transfer ongkos BukBer.

Aaaahhh… jadi kangen BukBer niiih….

Eh, tapi sekarang, saya sudah rada ‘alergi’ sama BukBer. Kenapa? Sering diprotesin anak saya! Kalo jam 17:30 saya belum nongol di rumah, anak saya sibuk nelponin ke HP. Emaknya kagak boleh kelayapan lagi. Hahaha.
Lagian, saya kan pengin ngajarin anak buat rajin sholat Isya’ & tarawih berjamaah di Masjid. So, kalo saya sendiri malah sibuk keluyuran buat BukBer dan kagak tarawih, otomatis anakku bakal unjuk rasa tho? Yeah, sebagai ibu sholihah *preeettt* saya pengin jadi suri tauladan yang baik lah buat anak.

Tapi, tapiiii… blogdetik Surabaya mau bikin BukBer besok di Shangrilla ya? Haduuuh, jadi labil deh… ikutan gak ya… ikut gak yaa…. *sibuk itung kancing*

Oke, semuanyaaah… Happy puasa… Happy buka puasa… Happy BukBer…. Kalopun kita nggak bisa BukBer offline… Kita tetep bisa BukBer online via blogdetik kan? Yeay!!