
Haishhh… ini diaa…!! Setelah menuliskan uneg-uneg soal 4×6 atau 6×4 versi blog saya kepikiran buat nulis juga untuk dikirim ke redaksi surat kabar. Yang tercetus adalah koran Jawa Pos. Karena emang koran ini kan koran kebanggaan arek2 Suroboyo 🙂
Setelah nunggu kurleb 2 hari, Alhamdulillah, opini saya terpampang nyata. Beberapa kawan berkirim kabar, sebagian ada yang nanya, kenapa karikaturnya kelihatan mbungkuk kayak udang gitu sih?? Hueheheh….
Lesson learnt. Kalo ngirim rubrik ke koran, pilihlah foto yang paling cihuy kali ya. Hehe. Eniwei, ini saya tuliskan versi asli yang saya kirimkan ke redaksi JP. Minor editing sih. Yang digunting redaksi, hanya paragraf yang saya bold plus underline.
Kalau mau kirim Opini ke JP, gimana caranya?
Tulis saja sebanyak 800-850 kata, kirim ke opini@jawapos.co.id. Jangan lupa, lampirkan foto (yang keren yaaa…), nomor rekening, nama dan riwayat hidup singkat (yang relevan dengan topik yang ditulis). Selamat menulis 🙂
OPINI
4×6 atau 6×4?
Oleh: Nurul Rahmawati (pemerhati pendidikan, orangtua siswa kelas 2 SD)
Di sebuah SD di Jawa Tengah.
Habibi merasa galau. Bocah kelas 2 SD itu sedih, lantaran PR Matematikanya dicorat-coret dengan tinta merah oleh gurunya. Skor yang ia peroleh hanya 20. Habibi belum paham benar dengan soal-soal yang bikin ia mumet. Untunglah, ia punya kakak— Muhammad Erfas Maulana, mahasiswa teknik mesin—yang siap mengajarinya dengan sabar dan telaten. Habibi percaya diri dengan jawaban sang kakak. Tapi, mengapa ternyata jawaban kakaknya dianggap salah oleh gurunya?
Soal itu berbunyi 4+4+4+4+4+4=…… Habibi menjawab 4×6 = 24. Rupanya, jawaban itu dianggap “salah total”. Karena jawaban yang benar adalah 6×4=24.
Habibi tentu lapor pada Erfas, sang “mentor” sekaligus kakaknya. Erfas terusik dengan nilai 20. Barangkali harga dirinya jatuh di hadapan si adik yang baru duduk di kelas 2 SD. Tak terima dengan penilaian si guru, Erfas mengajukan “surat cinta” yang berisikan protes.
Bu guru yang terhormat,
Mohon maaf sebelumnya, saya kakak dari Habibi yang mengajarinya mengajarkan PR di atas.
Bu, bukankah jawaban dari Habibi benar semua?
Apakah hanya karena letaknya yang terbalik, sehingga jawaban Habibi Anda salahkan?
Menurut saya, masalah peletakan bukan menjadi masalah, bu. Misal, 4×6 = 6×4. Hasilnya sama-sama 24.
Terima kasih Bu, mohon perhatiannya. Semoga dapat dijadikan pertimbangan.
Mungkin, surat ini hanya berhenti di meja ibu guru, apabila Erfas tidak meng-upload-nya di Facebook. Ya, surat ini menjadi viral lantaran Erfas membahasnya di jejaring sosial terpopuler di Indonesia. Ratusan orang men-share postingan Erfas. Bahkan, dibahas di berbagai portal berita. Ratusan orang menganalisa dengan latar belakang akademis masing-masing. Sebagian mencela si guru, yang lain menimpakan kesalahan pada Erfas… Ada pula yang mengutuk sistem pembelajaran, ada yang menimpakan telunjuk kesalahan pada Kemendikbud. Facebook menjadi riuh oleh 4×6 atau 6×4….
***
LIMA belas tahun lalu, di sebuah elementary school (SD) di Amerika Serikat.
Seorang pria kandidat doktor tengah mengajukan protes pada guru SD tempat sang anak belajar. Menariknya, protes ini bukan lantaran si bocah diberi skor 20. Justru, sang ayah protes, karena karangan berbahasa Inggris yang ditulis si anak malah diberi nilai E (excellent) yang artinya sempurna, hebat, sangat bagus. Padahal si anak baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Menurut pria kandidat doktor itu, karangan si anak buruk, logikanya sederhana, kemampuan verbal masih sangat terbatas. Sehingga tidak sepatutnya guru memberi skor E.
“Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri,” begitu ujar sang kandidat doktor.
Sewaktu ia protes, ibu guru yang menerima hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawanya.Dia pun tersenyum. Ibu guru yang simpatik itu berujar, “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini. Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat.”
***
Anda tahu, siapa kandidat doktor yang “memprotes” guru anaknya itu? Ya, dia adalah Prof Rhenald Kasali, Phd. Dua cerita di atas sengaja saya sajikan, supaya kita bisa lebih jeli dalam menyaksikan paradoks yang “menampar” wajah pendidikan kita.
Kasus 4×6 atau 6×4 adalah letupan kecil, sebuah contoh betapa guru plus sistem pendidikan kita belum mengembangkan budaya penghargaan pada anak. Mengapa ketika “salah” menjawab, langsung diberi skor salah total? Mengapa tidak ada penghargaan, bahwa anak sudah meluangkan waktu, untuk mau, bersedia mengorbankan waktu istirahat dan bermainnya untuk mengerjakan PR? Mengapa guru tidak mengapresiasi upaya anak yang mau mencari mentor dan bertanya pada kakaknya? Dan, mengapa kita begitu terpaku dengan skor kuantitatif?
Terlalu banyak “mengapa” yang bisa tersaji. Yang pada intinya, semua itu bermuara pada abai-nya kita untuk meng-encourage, menyemangati anak didik untuk do his or her best. Anak-anak hanya dipacu untuk mengerjakan soal, dengan kunci jawaban yang sudah dipegang erat oleh si guru. Anak-anak nyaris tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan potensi masing-masing. Ketika mengkreasikan sesuatu hal, anak-anak hanya menelan pil pahit berupa judgement dari guru, “Karya ini buruk sekali! Kurang rapi!” dan sebagainya. Sungguh menyedihkan.
Yang lebih parah lagi, beberapa SD Negeri justru mencerabut hak anak untuk beribadah. Ini terjadi di sekolah anak saya. Jam masuk pukul 11:30, dan ia baru pulang pukul 16:30. Seharusnya ia sholat dhuhur di masjid dekat sekolah, tapi karena gerbang sekolah dikunci rapat, anak saya tidak pernah sholat dhuhur setiap hari! Wow. Inikah pendidikan yang didambakan oleh Kemendikbud? Menciptakan generasi yang hanya sendiko dawuh, taklid buta pada guru, yang notabene justru tidak bisa meng-encourage anak didiknya?
***
Sepertinya dunia pendidikan kita masih jalan di tempat. Saya menantang kabinet Jokowi, untuk bisa menempatkan orang-orang terbaik di kementerian yang “seksi” ini. Buat apa anggaran tinggi, tapi distribusi buku masih acakadut, dan sistem belajar mengajar juga sami mawon, masih tereksekusi secara top-down dan ortodoks. Judulnya saja, kurikulum 2013, merangsang nalar dan membangun karakter. Tapi, guru-gurunya—yang sudah ikut pelatihan kurikulum—masih bermental old-school, mengandalkan bentakan, mata yang melotot tajam, plus tak bisa menghargai anak didik.
Oh, maafkan curhat saya yang terlampau panjang. Saya tentu tidak rela anak-anak kita terdogma dalam sistem yang buruk, dan kita justru melahirkan Habibi-Habibi yang takut untuk mengembangkan nalar dan keilmuan. Ngomong-ngomong, saya yakin orangtua Habibi tentu ingin putranya kelak akan sebrilian Prof BJ Habibie. Dan, saya haqqul yaqin, Habibie tak akan menjadi profesor hebat, apabila Matematikanya dulu hanya diberi skor 20 oleh sang guru.(*)