Lampu bioskop sudah menyala. Lirik lagu “Sumpah Mati” Nidji berdentang memenuhi rongga telinga. Sudah jam 12 malam. Aku dan Sidqi masih terkungkung di bangunan ini, mengenang romansa kasih tak sampai yang memilukan. Ya, baru saja kami menonton film “Tenggelamnya Kapan Van der Wijk”.
Masih terngiang quote bernada pilu, sekaligus kemarahan yang terurai dari mulut Zainuddin, sang tokoh utama.
Maaf? Kau regas, segenap pucuk pengharapanku kau patahkan, kau minta maaf? Lupakah kau? Siapakah diantara kita yang kejam? Bukankah kau berjanji, seketika saya diusir dari ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, orang hina dina, tidak tulen Minangkabau. Ketika itu kau antar aku si simpang jalan. Kau berjanji akan menunggu kedatanganku , meskipun akan berapa lamanya. Tetapi kemudian kau beroleh ganti yang lebih gagah, kaya raya, berbangsa, beradat, berlembaga berketurunan. Kau kawin dengan dia, kau sendiri memberi keterangan bahwa perkawinan itu bukan paksaan orang lain, tapi pilihan kau sendiri. Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati!
Wow. Saya masih membayangkan betapa hebatnya latihan vokal yang dilakoni Herjunot Ali, si pemeran Zainuddin. Dalam satu tarikan nafas, dia mengucapkan kalimat penuh murka nan membabi-buta. Mengiris. Mengguratkan luka nan pedih. Kalau kata anak sekarang, sakitnya tuuuh… di sini…

Anak saya rupanya belum terjerat kantuk. Di dalam mobil, ia berceloteh, “Bu, kenapa kok Hayati memilih untuk nikah sama Aziz?”
Hmm. Ini dia resiko mengajak anak di bawah umur nonton film cinta yang sarat adegan penggalauan. Baiklah. Sebagai ibu yang (mencoba) shalihah, saya coba menjelaskan sebisa saya.
”Kan om-tantenya pada nyuruh dia nikah ama Aziz. Soalnya, waktu itu, Aziz adalah orang kaya, berasal dari keluarga terpandang, duitnya banyak. Gaulnya aja ama orang-orang Belanda.”
Sidqi manggut-manggut. ”Walaupun pada akhirnya, Aziz (Reza Rahardian) yang bangkrut, lalu bunuh diri. Malah Zainuddin yang tadinya miskin bisa jadi sukses ya Bu…”

Eureka…! He’s got the point! Ternyata cah lanang saya sudah bisa menjalin sebuah logika konstruktif, pasca menyaksikan sebuah karya sinema. Kepalang basah, saya injeksikan saja seputar financial education buat anak.
“Betul. Jadi, walaupun Aziz itu kaya raya, kalau dia tidak bisa mengelola keuangan dengan baik, pada akhirnya hidup dia menderita. Hartanya habis, karena dipakai judi, berfoya-foya, dan dia malah numpang hidup di rumah Zainuddin. Sebaliknya, kalau orang mau bekerja keras, berusaha semaksimal mungkin, yang tadinya miskin malah bisa meningkatkan derajat. Tentu Zainuddin bisa sekaya dan semakmur itu, karena dia bisa mengatur duit dengan baik. Jangan lupa, dia juga SELALU berbuat baik sama orang lain kan? Termasuk kasih modal ke anak muda yang mau menikah tapi nggak punya duit. Zainuddin juga mengizinkan Aziz dan Hayati untuk tinggal di rumahnya. Hebat kan?”
***
Lewat film “Tenggelamnya Kapan Van der Wijk” ini, Sidqi belajar 3 (tiga) hal. Yaitu: sastra, cinta, dan (mengelola) harta.

Selamat datang di era kapitalisme. Dimana letak kemuliaan dan kehormatan seseorang kerap disandingkan dengan seberapa “kaya” dan seberapa banyak “harta” dia. Kita kerap mendongak, memandang dengan tatapan penuh kagum, manakala saksikan seorang manusia yang menyetir mobil Lamborghini. Atau, artis bermodal endel yang menenteng tas Hermes kemana-mana.
Tapi, di sisi lain, kita menatap sinis pada pengusaha bersahaja, yang hanya berpakaian sederhana. Padahal omzet usahanya gila-gilaan. Well, well, well. Hati-hati dengan itu semua. Apalagi, kalau kita ingin ajarkan kebijakan finansial untuk anak. Karena ada satu prinsip yang harus selalu kita pegang teguh: Children See, Children Do.
Biarpun kita berbusa-busa menjelaskan soal pentingnya mengatur duit, dll, kalau ternyata emak-bapaknya punya gaya hidup yang alakazam hura-hura syalala, ya wassalam.
Anak kita PASTI bakal mencontoh plek-ketiplek gaya hedonis yang ditularkan orangtuanya.
Karena itu, saban menularkan prinsip financial planning for kids, saya berusaha sekuat tenaga untuk menjadi emak yang “cerdas finansial”. Caranya?
Emak kudu mau belajar-belajar-dan belajar. Sejak tahun 2003 (saya masih prewin kinyis-kinyis *info penting*) saya hobi banget berburu ilmu tentang financial planning. Bagaimana cara mengatur kondisi finansial kita supaya tak amburadul. Bagaimana supaya kita bisa survive di belantara dunia yang kian “wow-sangar” ini. Dan, bagaimana kita menularkan kemampuan mengelola keuangan untuk anak-anak kita.
Selain itu, saya juga rutin follow twitter dan blog seputar financial planning. Termasuk blog ini. Banyak sekali masukan, ilmu, wawasan yang dibagikan. O iya, tahun 2013 lalu, saya juga sempat gabung di komunitas Duta Parenting. Salah satu materi yang kami dapatkan adalah mengenai family financial planning.
***
Bagaimana Mengajarkan Masalah Finansial pada Anak?
Ada 4 (hal) prinsip yang kudu dipegang anak-anak, manakala udah bicara soal uang.
Yang pertama, adalah EARNING alias cara mendapatkan uang. Anak harus banget belajar, bahwa uang itu enggak datang mak bedunduk dari langit. Harus diraih dengan upaya, kerja keras dan cerdas. Gak ada yang gratis di muka bumi ini. There is NO free lunch, NO free breakfast, NO free dinner, terusin dewe ya, hehehe.
Karena itulah, tatkala kali pertama saya mengajak Sidqi ke ATM untuk ambil duit, eh, dia menyangka kalau saya lagi “beli duit”. Saking senengnya dengan adegan duit “muncrat” dari ATM, Sidqi bolak-balik ngajak saya untuk ke sana. “Kiddo, duit ini adalah hasil kerja Ibu selama ini. Ibu ambil duit secukupnya, untuk modal kita belanja bulanan.”
Masalah EARNING ini bisa kita ajarkan dengan cara mengajak anak jalan-jalan ke berbagai spot. Lihat itu! Ada tukang sapu jalanan, mereka bekerja, berpeluh keringat untuk memberi makan keluarga.

Lihat itu! Tukang loper koran, masih kecil-kecil, mereka bekerja demi sesuap nasi.
Lihat itu! Sopir bus! Lihat itu, para pekerja di pabrik! Lihat itu, guru… Lihat itu, pengemudi dokar… Lihat itu, pawang satwa…. Lihat itu, tukang parkir… Lihat itu, bakul di pasar… Lihat itu, tante Syahrini…. *krik*
Salah satu jalan mengajari Sidqi agar tahu how to earn money adalah, saya minta dia mengumpulkan barang bekas di rumah. Lalu, ketika ada tukang rombeng lewat, “Lihat itu…. tukang rombeng!” Sidqi pun beraksi. Melakukan transaksi dengan pak tukang rombeng itu. Mayan, dapat duit 50 ribu, hasil berburu sampah 🙂
Yang kedua, GIVING
Pay your God first!
Sudah punya duit, tapi masih pelit? *berima* Shame on him/her! Justru kalau ingin hidup penuh keberkahan, maka anak-anak kita harus dijejali semangat untuk rajin, gemar, dan bahagia untuk bersedekah. Ini adalah orientasi hidup mendasar yang harus selalu dicanangkan bagi anak. Bagaimana kita memandang materi yang kita cari dan kita punyai? Untuk apa semua harta yang kita miliki? Yap, anak harus tahu, bahwa di sebagian harta yang ia punya, ada hak fakir miskin, ada donasi kemanusiaan yang harus selalu ia tunaikan.
Saya mendaftarkan Sidqi di klub donatur cilik. Setiap bulan, ia komitmen menyisihkan uang untuk nantinya disedekahkan. Satu quote Imam Al-Qayyim yang saya kutip di sini, “Sesungguhnya sedekah memiliki khasiat yang menakjubkan dalam menangkal bahaya. Maka dari itu, dengan sedekah, sungguh Allah menahan bagi penderma berbagai macam bahaya. Hal ini sudah diketahui seluruh penduduk bumi. Mereka telah memahami kebaikan yang luar biasa dari sedekah, karena mereka telah mencobanya!”
Oke, kita beranjak ke poin ke-3 SAVING
Kenapa sih kudu saving? Ini yang wajib banget dijelaskan ke anak-anak kita, dengan bahasa yang sederhana. Gampangnya, saya comot slogan tante Ligwina Hananto. “Tujuan lo apa?” Jadi, ketika kita mengajak anak untuk saving, maka kita kudu menjelaskan soal “tujuan lo saving buat apa?”
Apakah mau beli mainan Transformers? Atau, mau makan enak di resto yang dia suka? Atau, mau nambah koleksi lego? Atau, mau beli buku Ensiklopedia? Atau, mau sekolah di tempat favorit dia? Macam-macam kan?
Nah. Di sini peran saving. Jelaskan juga, sebagai manusia, kita kudu mempersiapkan asuransi. Provider asuransi emang jumlahnya segabruk. Beneran bikin galau kan, mau ikut yang mana.
Yang jelas, pilih aja perusahaan yang terpercaya. Ya kayak Sun Life itu. Kan udah berdiri sejak 1995. Produk dan program yang ditawarkan super-duper komplit. Mulai dari produk-produk proteksi dan pengelolaan kekayaan, termasuk asuransi jiwa, pendidikan, kesehatan, dan perencanaan hari tua.
Per 30 Juni 2013 , tingkat Risk Based Capital (RBC) Sun Life Financial Indonesia adalah 379 persen (konvensional dan syariah) – jauh melampaui ketentuan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah yakni 120 persen, dengan aset Rp 5,31 triliun! Wow banget kan? Saat ini Sun Life menyediakan berbagai produk inovatif melalui lebih dari 61 kantor pemasaran di 32 kota di Indonesia.
Sun Life adalah bagian dari Sun Life Financial, salah satu organisasi keuangan terkemuka di dunia. Didirikan pada 1865 dan berkantor pusat di Toronto, Kanada, Sun Life Financial beroperasi di berbagai pasar kunci di seluruh dunia.
Weleh, weleh… kalau udah kredibel seperti ini, ga mungkin bisa pindah ke lain hati kan?
SPENDING
Nah, masalah how to spend your money wisely adalah problema klasik yang harus dihadapi para orangtua. Bagaimana mengajarkan agar anak kita punya kesadaran, tanggungjawab dan paham bener untuk apa duit dibelanjakan. Terdengar klise sih, tapi saya tetap berpegang teguh pada kalimat “Mau beli ini, karena BUTUH atau karena INGIN?” Yes, kiddo. Percayalah, bahwa MAYORITAS hal di dunia ini adalah sesuatu yang kita INGINKAN, tapi sama sekali tidak kita BUTUHKAN.
Semua orang BUTUH tas. Tapi, apakah harus tas Hermes?
Semua orang BUTUH makan. Tapi, apakah kudu ke resto mihil yang bikin dompet keselek?
Semua orang BUTUH traveling. Tapi, apakah harus dengan pesawat kelas 1, hotel bintang lima, dan fasilitas premium lainnya?
Memang bukan perkara gampang mewariskan masalah financial education ini ke anak-anak. Tapi, bukan berarti kita boleh mengabaikan tho?
Sebagai penutup, saya sajikan kutipan dahsyat dari Pakde Warren Buffet, orang terkaya nomor 2 di jagat raya. Have fun with money, kids!