Oleh: @nurulrahma
“Ibu, aku mau nyumbang.” Baru saja kami berdua masuk pintu supermarket, eh, Sidqi, anak saya, sudah menunjuk kotak sedekah yang bertengger di dekat tempat penitipan barang.
“Itu Bu, aku minta uangnya, mau infaq.”
Aku membuka dompet. Menghitung uang yang ada di dalamnya. Harus beli minyak goreng, susu yang harganya ‘enggak sopan’ mahalnya, beras, mie, sabun cuci… Haduh. cuma ada 1 lembar seratus ribuan, 1 lembar 50 ribuan, plus 5 lembar 2 ribuan di dompet. Mana cukup?
“Lain kali aja ya Dek, nyumbangnya… kita kan sering ke sini…”
“Kasihan, Bu. Kotak sumbangnya masih sedikit uangnya. Nanti temen-temen yatim nggak bisa makan dan sekolah, gimana?”
Ugh. Aku tertohok sekaligus terpojok. Pagi-pagi sudah dapat ‘siraman rohani’ dari ‘dai cilik’ bersuara sumbang yang hobi menyumbang.
“Ya udah. Ini kamu cemplungin ke sana.” Aku angsurkan selembar 2-ribuan.
Sidqi memandangku heran. ”Kok cuma segini Bu? Yang 50 ribuan, boleh?”
Arrrghhh, ni bocah! Udah tau kita mau belanja bulanan, kok ya malah minta duit yang lebih gede?
“Dek, kita ini mau belanja. Udah nyumbangnya segitu aja. Eman-eman duitnya. Nanti kan ada orang lain yang bakal ngisi tuh kotak,” saya berusaha mengelak.
“Loh, kata Bunda di sekolah, kalau nyumbangnya lebih banyak, pahalanya lebih gede. Lagian, Ibu kan nanti bisa ambil uang di ATM. Ibu bawa ATM kan?”
Arrggghhh (lagi). Benar-benar pukulan telak dari seorang bocah 5 tahun. Tak mau berdebat panjang lebar—apalagi para pramuniaga asyik ngikik melihat debat kami berdua—saya buru-buru keluarkan duit 50 ribu. ”Nih, masukin!”
***
Bicara soal habit bersedekah, saya mengaku kalah dengan anak saya. Sejak kecil, Sidqi memang menunjukkan antusiasme luar biasa untuk beramal. Di sekolah, saya sering dapat laporan dari Bunda—guru dia—di TK. ”Mama, kemarin Sidqi kasih saya susu kotak. Katanya buat anaknya Bunda,” begitu kata Bunda Ira suatu ketika.
”Mama, maturnuwun, kemarin Sidqi bagiin kerupuk dan kue buat saya,” ungkap Bunda Faiz lain hari. Atau, ungkapan senada datang dari teman sekelasnya.
“Sidqi kasih minuman kotak buat aku kemarin,” kata Labib, yang gemar main dengan dia.
Di satu sisi, saya senang dengan habit anak saya. Tapi, di sisi lain, naluri manusia saya yang memegang falsafah “Hemat Pangkal Kaya” menunjukkan protes. Gawat nih, kalau Sidqi ‘terlalu baik’ bisa-bisa berakibat ‘tidak baik’ karena bakal menguras dompet ibunya…
Ah, ternyata, begitulah setan menggoda saya. ”Dan setan menakutimu dengan kemiskinan…[QS Al-Baqoroh]
Begitulah, sifat eman begitu menyergap dan menguasai relung kalbu saya. Eman (diucapkan seperti nama seorang pelawak) dalam bahasa Jawa berarti rasa berat hati, sayang, dan tidak ikhlas melepaskan. Seperti ungkapan “Eman-eman kalau uangnya harus disumbangkan”. Itu berarti “Sayang sekali kalau uangnya harus disumbangkan”. Eman itu rasa sayang yang menggandoli ketika harus berpisah dengan sesuatu.
Eman menunjukkan sikap takut kehilangan, keterikatan, dan tidak rela memberikan. Penyakit yang menghantui amal sedekah dan perbuatan baik lainnya. Rasa eman juga menjadi diagnosa utama tentang penyakit sejuta umat manusia: terlalu cinta kepada dunia.
Amal sedekah, qurban dan aneka ibadah dalam agama menjadi salah satu bentuk ujian tentang seberapa besar rasa cinta kita. Karena cinta perlu pembuktian. Lewat ujian dalam sebuah pengorbanan. Dari situ dapat dilihat kualitas cinta yang sesungguhnya. Karena cinta sejati selalu berwujud pengorbanan. Seperti cinta seorang Ibu yang rela berkorban nyawa demi bayi yang dilahirkannya.
Begitu juga dengan cinta kita kepada Allah. Juga butuh pembuktian. Tidak cukup kita hanya mengatakan, ”Saya orang Islam yang mencintai Allah…” Tapi, pas diajak menuju amal kebaikan, kita buru-buru mengatakan, “Lain kali aja yaa… Saya sudah nyumbang lewat lembaga anu, lembaga itu…”
Pertanyaannya adalah, ‘lain kali’-nya itu kapan? Lalu, kalau sudah nyumbang lewat aneka lembaga, sudah seberapa besarkah porsi donasi dan kontribusi kita? Eman ini memang hanya bisa dikalahkan oleh iman.
Iman, artinya sebuah kepercayaan. Rasa percaya bahwa Allah itu memang ada. Percaya kalau rezeki itu Allah yang Maha Mengatur. Percaya bahwa di tiap rezeki yang dititipkan Allah untuk kita, ada porsi saudara-saudara kita yang kurang beruntung, yang memang harus rutin kita keluarkan. Percaya pada janji Allah bahwa kebaikan kita akan dibalas hingga 700 kali lipat. Percaya bahwa kita nggak akan jatuh miskin hanya gara-gara hobi bersedekah. Dan kenyataannya, hingga detik ini, tidak ada satu orangpun yang mendadak bangkrut karena gemar beramal. Dengan berbekal iman, maka rasa eman itu akan sirna. Berganti perasaan lega luar biasa dan bahagia tiada tara. Karena iman kita berhasil mengalahkan eman.
Bersedekah memang erat kaitannya dengan masalah iman. Tidak cukup hanya dibahas dalam tataran kajian, tapi iman ini harus berwujud dalam tindakan. Sama seperti kisah Nabi Ibrahim. Tanpa rasa eman, ia harus merelakan anak yang begitu dicintainya. Iman Ibrahim telah mengalahkan eman. Begitu pula dengan putranya, Ismail. Tanpa rasa eman, didorong semangat iman, rela memberikan nyawanya sendiri sebelum digantikan oleh domba. Tak ada perasaan eman-eman, karena sudah terlanjur cinta pada Allah dan beriman pada-Nya.
“Ibuuuu…. Aku mau nyumbang…”
Kali ini, suara Sidqi tak lagi terdengar sumbang, Ia sudah menularkan virus ‘hobi nyumbang’ padaku.
“Mau nyumbang kemana lagi Dek?”
“Ini. Ada kotak sedekah anak sholeh. Tadi barusan dikasih sama mas Iswanto dari Nurul Hayat. Boleh ya Bu? Nanti nama Sidqi ada di kuitansi lucu. Boleh ya Bu?”
Mata Sidqi berbinar lebar. Kubayangkan, betapa ia kian semangat menebarkan virus-virus gemar bersedekah pada teman mainnya. ”Nanti aku bilang mas Dafi, Dek Iza, Mbak Dini, Mas Awal, Mas Rizki, Mbak Ayun, Mbak Vira, Mbak Sita… Aku bilang biar mereka semua pada ikut nyumbang ya Bu.”
Tuh kan, barusan saya bilang apa.(***)