Disclaimer: Tulisan ini sudah mengendap di laptop sekitar setahun lalu. Waktu itu, umur Sidqi, anak saya masih 6 tahun, dan sudah saya “paksa” untuk masuk ke SD swasta yang berjarak sekitar 700 meter dari rumah kami. Maksud hati pengin anak ‘lebih unggul’ karena sudah kelas 1 SD di umur yang amat muda. Lumayan Pede-lah dengan kemampuan kognitif Sidqi. Apa daya, ternyata, kondisi sekolah plus banyak hal lain justru membuat anak saya terjerembab dalam “depresi” dan berubah jadi sosok yang sama sekali nggak saya kenal 😦 Saya posting di sini. Semoga kita bisa ambil sedikit pelajaran. Bahwa, lebih cepat belum tentu lebih baik 🙂
Demi Buah Hati: Sudahkah Rela Berpayah-Payah?

Sudah beberapa hari belakangan ini, Sidqi, anak saya mogok sekolah. Tiap kali ditanya alasannya, Sidqi tidak punya jawaban yang memuaskan.
“Pokoknya aku ndak mau sekolah.”
“Kenapa? Apa temen-temenmu nakal?”
“Bosan. Aku capek sekolah. Aku lebih suka di rumah. Pokoknya, aku nggak mau sekolah.”
Ingin rasanya menjadi orangtua “semi-Hitler” yang langsung berteriak lantang,
”Ayooo sekolaaahhh! Kalo gak sekolah, mau jadi apa kamu, hah?!?!?”
Tapi, sekuat tenaga saya coba menahan amarah. Sabaar…. Sabaarrr…..
Anehnya, meski membolos beberapa hari, pihak sekolah tidak memberikan semacam “teguran” kepada kami. Tadinya saya berharap minimal wali kelasnya yang berkunjung ke rumah. Atau, paling tidak, menelepon dan menanyakan kabar Salman. Sama sekali tidak.
“Wong sekolah gratis, yo wis, jangan punya ekspektasi apapun,” suami saya sempat berujar demikian.
Ya. Beginilah akibat dari paradigma orangtua yang punya “awareness tinggi” dalam hal “financial-planning” (bahasa yang mudah dicerna: orangtua yang super-irit cenderung pelit). Dari sekian banyak sekolah Islam yang ada di kota ini, kami justru menjatuhkan pilihan pada sekolah X. Ya alasannya itu tadi. Karena Gratis.
Akibatnya bisa ditebak. Kalau ada idiom “Gratis kok njaluk slamet?” (Gratis kok minta selamat?) maka itulah yang kini tengah kami hadapi.
Saya putar otak menghadapi kemelut ini.
Apakah saya mau menegakkan disiplin, dengan “memaksa” anak sekolah? Muncul kekhawatiran, kalau-kalau nantinya Sidqi justru “trauma sekolah” dan benar-benar sama sekali tidak mau berhubungan dengan segala sesuatu yang bernama sekolah.
Yang lebih parah lagi, bisa-bisa saya diciduk Komisi Perlindungan Anak, gara-gara berbuat KDRT—Kekerasan dalam Rumah Tangga pada anak.
Tapiii, kalau saya terlalu lunak, dan tetap membiarkan Sidqi berasyik-masyuk dengan bolos-membolos? Hhhh… mau dibawa kemana hidup dia nantinya?
Dan, apa kata keluarga besar kami?
Apa kata adik ipar saya yang menggondol gelar PhD dari sebuah universitas ternama di London, Inggris?
Apa kata omnya Sidqi yang kini jadi dosen di ITB?
Apa kata tantenya Sidqi yang cum laude dari Fakultas Kedokteran di Unair dan kini lagi ambil spesialis di UI?
Oh, seluruh keluarga besar kami adalah para manusia brilian. Suami saya juga menggondol gelar Master dari ITS.
Apa kata mereka, kalau ada satu bocah di dinasti ini yang ogah sekolah? Oh, APA KATA DUNIA??

Ini sudah menginjak hari ke-15 Sidqi membolos. Belum ada jurus cespleng yang bisa saya terapkan agar Sidqi mau kembali ke sekolah.
”Dek, kamu tahu kan kalau sekolah itu untuk masa depan dan kepentingan adik?”
“Ndak. Sekolah itu untuk kepentingan Ibu! Bukan kepentinganku!”
Jleb! Mak jleb jleb!
Mungkin Sidqi benar.
Akulah yang berambisi menyekolahkan dia.
Akulah yang punya keinginan besar untuk menjadikan Sidqi seorang yang punya gelar akademis berderet-deret.
Akulah yang punya kepentingan itu.
Akulah yang merasa malu kalau anakku tidak sepintar sepupu-sepupunya yang lain.
Akulah yang punya kepentingan untuk mendapatkan “kalungan medali” sebagai “ibu yang sukses mendidik anaknya sehingga melahirkan sosok yang amat-sangat brilian di dunia sains dan mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia.”
Akuilah…. Akuilah kalau aku yang ‘gila pujian’… Ingin memantaskan diri di hadapan manusia… Punya segudang ambisi agar muncul sebagai wanita hebat yang mampu menyeimbangkan antara karir dan keluarga. Preeettt! Kerdil sekali pikiran saya!
Ya Allah…
Terkadang saya begitu bersemangat mengejar pengakuan manusia… Tapi, saya lupa, kalau sesungguhnya, “sertifikat” dari Allah justru yang amat penting dan malah tak pernah kuhiraukan… Astaghfirullah, ampuni hamba ya Allah….
Sesaat, saya tenggelam dalam istighfar yang panjang…. Astaghfirullah hal ‘adzim…..
***

Pelan tapi pasti, saya mencoba menerima kondisi ini. Saya berdamai dengan situasi. Oke. Anak saya ogah pergi ke sekolah formal. Di satu sisi, ini memang masalah. Kendati demikian, toh masih banyak hal baik yang bisa saya temukan dalam diri Sidqi. Ia masih mau ngobrol dengan saya. Ia masih mau menulis. Ia masih mau bergaul dengan anak-anak kecil di kompleks rumah. Ya sudahlah. Mungkin inilah cara Allah supaya saya mau menundukkan hati, dan kembali bermunajat kepada-Nya. Kadang-kadang, Allah memang menunjukkan kasih sayang-Nya dengan mengirimkan “sedikit” cobaan dalam hidup kita.
Ketika anak kita tengah “bermasalah”, jangan buru-buru menuding dia sebagai “si biang onar”. Atau melabeli dia dengan ucapan yang sama sekali nggak enak didengar, “Kamu itu bisanya cuma ngrepotin papa-mama….”
Ternyata anak kita, meskipun tampak sebagai sosok yang “tidak tahu apa-apa”, mereka punya daya rekam yang sungguh kuat. Tiap kalimat yang meluncur dari bibir kita, akan menancap di otak mereka. Kalimat buruk yang menggores sukma, tentu akan sangat mudah diingat. Apalagi, bila kalimat itu meluncur dari bibir sang ibunda, “Dasar anak nakal! Nggak tahu diri!!” Detik itu juga, harga diri si anak akan runtuh, hancur berkeping-keping.
Yang jelas, setiap orangtua punya kewajiban untuk mendidik buah hati mereka berdasarkan Fitrah Ilahiah atau sifat bawaan dari Sang Pencipta. Mereka lahir laksana secarik kertas putih. Lingkunganlah yang kemudian memberinya warna, termasuk dalam hal ini pola asuh orang tua.
Untuk lebih bersyukur atas segala kondisi anak, marilah kita senantiasa Menyadari Semua Anak adalah Bintang. Semua anak PASTI hebat.
Allah, Sang Pencipta yang Maha Sempurna tidak pernah menciptakan produk gagal. Seorang anak yang dalam kaca mata fisik atau mental kerap kita labeli sebagai “si cacat” justru adalah “sebuah bintang” yang bisa menyinari lingkungannya.
Karena itulah, kita harus menjadi “Guru Terbaik bagi Anak”. Bukan berarti kita harus berstatus sebagai Profesor Anu, atau Doktor Fulanah, atau harus menyandang gelar yang panjangnya laksana gerbong Kereta Api. Bukan itu!
Coba kita lihat sejarah Imam Syafii dan Imam Ahmad. Ibunda beliau-beliau itu bukanlah sosok perempuan dengan kecerdasan di atas rata-rata. Sama sekali tidak! Yang mereka miliki adalah, ketulusan menjadi ibu, penerimaan tanpa syarat, cita-cita yang demikian agung dan memuliakan, serta kesediaan dan kesabaran untuk berpayah-payah dalam mendidik dan membesarkan anaknya.
Betapa banyak orang-orang sukses justru lahir dari ibu-ibu lugu. Carl Frederich Gauss yang berjuluk “The Princess of Matematics” lahir dari orangtua tak berpendidikan. Ibunya bahkan buta huruf.
Apakah Anda pernah membaca buku “EMAKNYA DAOED YOESOEF?” Mata kita pun akan segera terbuka bahwa Menteri Pendidikan pertama Indonesia yang luar biasa itu ternyata adalah anak dari seorang emak yang buta huruf, orang kampung biasa seperti orang kampung kebanyakan. Yang berbeda adalah, Emaknya punya jiwa dan doa yang tak pernah putus untuk kebaikan anaknya! Subhanallah….
Coba berdirilah di depan cermin. Tanyakan pada diri Anda. “Sudahkah aku punya keikhlasan dan rela berpayah-payah untuk mendidik buah hati?” Jawablah dengan jujur. Jangan sampai, pepatah “Buruk Muka, Cermin Dibelah” terjadi pada diri kita.(*)