Zaman perawan ting ting dulu, saya sempat berkarir sebagai reporter sekaligus presenter di salah satu TV swasta. Tugasnya segabruk, bayarannya seuprit (lah, dia mulai sambat). Pagi-pagi buta, jam 3 pagi gitu, saya kudu berangkat ke studio, untuk siaran LIVE. Mata masih berat, ngantuk banget gais, eh, muka udah kudu siap diserbu dengan aneka dempul dan piranti perlenongan. You know lah, make up untuk siaran itu kan bold banget, jadi subuh-subuh saya udah kudu diteplokin heavy make up.
Kelar siaran, istirahat bentar. Lalu sekitar jam 10, boss udah bertitah, “Nurul, pagi ini kamu liputan demo di depan Gedung Grahadi, yak!”
Karena daku belum siap dipecat reporter yang berdedikasi dan emang hobi liputan bareng teman-teman wartawan, ya sud, auto meluncur ke lokasi. Wahhh, demo sudah berjalan dengan heboh jumeboh. Demonstran berorasi, teriak-teriak membakar semangat sekaligus mengajukan tuntutan ina inu ita itu. Bareng cameraman, saya loncat sana, loncat sini, cari gambar menarik, sekaligus wawancara narasumber. Semua itu dilakoni di tengah panas Surabaya yang super duper menyengaaattt! Tau sendiri kan, Surabaya panasnya cem gimana.