“Mau buku apa Nduk?” Pakde Abdul Cholik mengajukan tanya. Ia memberiku kesempatan untuk memilih satu judul buku–terserah apa dan siapa penulisnya–karena aku sudah muncul jadi model dadakan di blog beliau.
“Mmm, saya lagi penasaran sama novel RINDU Tere Liye, Pakde.”
“Oke, siap, segera aku kirim.”
***
Pakde memang blogger tauladan. Selang sehari (atau 2 hari ya?) setelah perbincangan via FB, novel RINDU terpampang pasrah di kamarku. Butuh berhari-hari untuk membaca novel yang tebal sangat ini (sekitar 500-an halaman kalo tidak salah). Dan, aku sudah menyerah di halaman 200-an. Novel ini SANGAT LAMBAT! Ternyata, Tere Liye tak “seganas” status-status FB-nya.
RINDU adalah novel yang super-duper-normatif, karakter yang amat sangat normal, tidak meledak-ledak, dan sama sekali tak membangkitkan rasa penasaran, ataupun rasa kepengin balik halaman berikutnya, lagi, lagi dan lagi.
CUKUP. Sudah waktunya menyimpan novel ini di lemari buku.
Saya masih menyimpannya, karena ini kado dari Pakde Abdul Cholik. Kalau saya beli sendiri, mungkin novel ini sudah saya hibahkan entah ke panti asuhan atau ke reading corner manalah, entah. Yang jelas, saya super-duper kecewa dan il-feel banget sama goresan pena Tere Liye. ENOUGH!
***
Hingga kemudian, saya dan beberapa teman main ke Toga Mas di daerah Diponegoro. FYI, Toko buku ini berada di sebuah rumah kuno dengan desain yang yaaah, vintage alias jadul banget. Banyak Rasanya ‘tenang’ dan ‘melenakan’ berada di sini.
Aku terus berjalan ke lorong di paling belakang. Ada deretan NOVEL INDONESIA  yang menyita atensi. Salah satunya, novel by Tere Liye.
“ENOUGH!” Satu bagian otakku menjerit begitu nyaring, “Apa kamu masih belum kapok dengan novel RINDU yang ternyata menjemukan itu?”
Aku timang-timang lagi novel ini. Beli…. nggak… Beli…. nggak….
“HAHH??? Masih mau kasih kesempatan buat Tere Liye? Kamu kan kecewa banget dengan novel RINDU??”
Beli…. nggak….. beli…. nggak…..
Sementara itu… Satu bagian hati yang lain, seolah menepuk bahuku perlahan, âKasih dia kesempatan. Beri Tere Liye kesempatan untuk memuaskan dahaga literasimu.â
OKAY! Lebih baik aku menyesal telah membeli sebuah buku, ketimbang menyesal karena tidak jadi membelinya. BUNGKUS!
***
Dan, ternyata, aku bersyukur, telah mengambil keputusan yang tepat. Buku ini, sesuai judulnya, meletupkan berjuta rasa dalam jiwa. Aneka rentetan cerita yang begitu bernas, berbalut diksi nan sarkas, plus logika pikir dan opini yang âtidak biasaâ, semuanya memberikan candu yang luar biasa mengasyikkan!

Setelah dari Toga Mas Diponegoro, aku dan beberapa teman menyusuri kawasan Surabaya Lama. Teman-temanku lagi ada sesi pemotretan di sana.
Sementara mereka asyik foto-fotan, aku tetap  khusyuk menekuri halaman demi halaman di âBerjuta Rasanyaâ. Mereka makan mie ayam, aku masih membaca. Sesekali tergelak. Terjedot, tertungging-tungging. Well, ini aneh. Kok bisa, aku mengabaikan aneka kuliner, demi sebuah buku? Hahahaha.
Resmi sudah, aku terpikat dengan jalinan cerita yang disuguhkan seorang Tere Liye.
Pantass…. Pantass….. Dia pantas mendapat predikat itu! Penulis Mega Best Seller!
Walaupun aku sempat kecewa berat dengan novel RINDU, tapi heii… itu kan masalah selera? Mungkin, aku tidak suka jenis novel yang âmenye-menyeâ (menurutku) tapi ada banyak manusia di muka bumi ini yang justru larut dalam kisah beralur lambat serupa RINDU.
Beri dia kesempatan untuk membuktikan bahwa Tere Liye memang penulis handal.
***
Sang Maha Pemilik Semesta mengizinkan agar seisi dunia berkonspirasi mendukung apa yang kita inginkan dengan sungguh-sungguh. Aaaah, rupanya di kantor, ada seorang karyawati yang punya SELURUH NOVEL TERE LIYE dalam formasi LENGKAP KAP KAP! Semuanya dia punya! (kecuali yang seri anak-mamak)
Wohooooo….! Ini asyik! Saya hanya perlu jatuh cinta, tapi tak perlu berkorban mengeluarkan uang sepeser pun, wahahhaah #KetawaNgirit
âPinjem dong, Robbi….â
Btw, Robbi ini cewek yak. Masih bujang #kode
Kau tahu, tak ada yang lebih menyenangkan, ketimbang mengetahui bahwa ada teman sekantor yang ternyata punya âkegilaanâ yang sama dengan dirimu.
Tentu saja, Robbi senang. Dia juga punya teman âsenasib sepenanggunganâ sama-sama bernasib jatuh cinta dengan karya-karya Tere Liye. Dia mengangsurkan novel âDaun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin.â Aku lahap dalam rentang (sekitar) 5 hari.
Kemudian, Robbi datang dengan novel yang banyak di-review sahabat blogger. Tak lain dan tak bukan…. NEGERI PARA BEDEBAH!

Goshhh! Baru nyampe halaman ketiga, aku sudah dibuat terpana dengan aneka diksi nyinyir, tajam, lancip, tajam setajam silet dan siap bikin terkaing-kaing (ya ampun, aku lagi suka kata âkaing-kaingâ ini)
Novel ini BENERAN BEDEBAH! Bikin gemes, penasaran, kepo akut dan seolah, aku rela MENGHENTIKAN SEMUA KESENANGAN HIDUP demi baca ini novel! Iya loh. Aku kan seneng banget tidur, makan, FB-an dan twitter-an yak. KENIKMATAN SEMUA ITU SIRNA SEKETIKA, tergantikan dengan novel yang BEDEBAH sangat ini!
(ketika aku ngomong Bedebah, bukan berarti lagi misuh yah)
And you know what, novel setebal 400-an halaman itu sudah aku tandaskan hanya dalam waktu tiga hari saja! Ini adalah rekor tercethaaaar dalam sejarah seorang @nurulrahma sebagai penikmat karya fiksi. Errrr, tepatnya, sebagai penikmat peristiwa non-fiksi yang dikemas dalam fiksi.
***
Oke, inti dari postingan yang panjaaaaang ini apa?
Kata kuncinya adalah: BERIKAN KESEMPATAN KEDUA, KETIGA, KEEMPAT, DAN SETERUSNYA untuk seseorang yang (menurut kita) sudah bikin kita kecewa.
Tere Liye tentu saja mengecewakan diriku di âRINDUâ. Aku udah âmati rasaâ dan males ngikutin novel-novel dia. Tapiii… ada âsuara lainâ yang membuatku mencoba âkasih kesempatanâ pada dia.
Aku lihat Tere Liye dari sisi lain. Bahwa ia bisa menjadi penggores kisah yang demikian riang, cheerful, dinamis, cepat.
Aku mulai sadar, bahwa aku bisa kok kasih dia kesempatan. Begitulah. Ternyata, aku dibuat terpukau, dengan âNEGERI PARA BEDEBAHâ yang begitu dramatis, gesit, penuh petualangan, presisi, dan…PECAAAAAH!
Gitu juga dalam hidup, temans.
Adaaaaa aja, manusia yang bikin kita (baca: aku) kecewa. Ada. Pasti ada. Tapi, kalau aku terus-menerus ngelihat dari satu sisi saja…. Kalau aku tak kasih dia kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya…. kalau aku gagal move on dan terus terbelit pada rasa pahit yang tak kunjung ngibrit (hey, it rhymes!)…. yaaaa… betapa naifnya diriku :)))
Beri dia kesempatan.
Maafkan.
Hati kita lapang
Pikiran tenang
Jiwa semakin riang
Dan, bukan mustahil, kita malah terpukau, dengan segala sisi baik manusia itu, yang barangkali selama ini tak tampak oleh indra perasa kita… lantaran nyala nurani yang jauh dari terang. (*)