Musibah Air Asia benar-benar meninggalkan duka mendalam bagi saya dan tetangga satu kompleks. Tetangga kami jadi penumpang di pesawat itu. Masih 31 tahun, namanya Bhima Aly Wicaksana. Putra Pak RT periode lalu. Lelaki yang luar biasa baik, santun, brilian… Dia adik kelas saya di SMA 16, juga di ITS. InsyaAllah, dek Bhima khusnul khotimah. Surga yang begitu indah merindukan sosok engkau, Dek Bhima… Dan, semoga, Pak Dwijanto sekeluarga, seluruh keluarga penumpang diberi ketabahan oleh Allah. Aamiiin.
Ketika berita duka itu menyeruak, beberapa sahabat mengajukan tanya retorik, ”Bagaimana rasanya menjadi penumpang di pesawat yang bakal jatuh? How does it feel, ketika dalam sepersekian detik kemudian, kita bakal berada dalam suasana katastropik, dimana si burung besi itu tak lagi melesat di angkasa, dan justru mengantarkan ke pintu sakaratul maut?”
Maka, izinkan saya berbagi jawabannya.
***
Saya pernah berada dalam kondisi itu. Ketika hujan turun begitu derasnya. Petir menyambar-nyambar. Kaca jendela pesawat yang saya tumpangi, menggoreskan cahaya yang menyilaukan netra. Berkali-kali pesawat oleng. Limbung. Kapten pesawat me-warning penumpang, agar tetap berada di kursi dan fasten our seat belt.
Masya Allah…petir kembali menyambar. Sebersit takut kembali muncul. Bukankah petir yang berenergi luar biasa, sangat bisa meluluhlantakkan bodi pesawat? Tidakkah si burung besi ini terlampau ringkih melawan gelegar petir, hujan deras yang tak kunjung tuntas, dan.. bagaimana kalau…. ini adalah episode terakhir kehidupan saya?
“Para penumpang yang terhormat, baru saja kita menabrak awan, cuaca sangat buruk di luar, kami mohon Anda tetap berada di kursi dan kencangkan sabuk pengaman Anda…”
Aneka doa saya langitkan. Ya Allah… Saya yakin… hujan adalah sebaik-baik momen penyampai doa… Allahumma shayyiban nafi’aa.. beri kami hujan yang bermanfaat, ya Allah…
“Para penumpang yang terhormat, karena Banda Adi Sutjipto Jogja sedang ditutup akibat cuaca sangat buruk, kami menginformasikan bahwa pesawat akan berputar-putar di angkasa, sambil menunggu bandara dibuka kembali. Terima kasih.”
MasyaAllah… Kenapa ini?
“Para penumpang yang terhormat, karena kondisi bandara belum dibuka, dan mengingat keterbatasan persediaan avtur pesawat, maka kami memutuskan kembali ke Bandara Juanda, Surabaya. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.”
Allah… Allah… Engkau-lah satu-satunya tempat bergantung. Di tengah cuaca yang begitu sulit, aku percaya, bahwa inilah jalan untuk semakin mendekat pada Engkau….
Pesawat yang harusnya menuju Jogja, terpaksa kembali dan mendarat di Juanda, Surabaya. Pengisian avtur dilakukan. Penumpang masih tetap berada dalam pesawat. Sebagian nekat menyalakan HP. Menghubungi sanak keluarga mereka.
“Iyo! Pesawate balik maneh! Ya’opo iki?” (iya, pesawatnya kembali lagi. Gimana nih?)
Saya sempat diliputi kebimbangan. Besok jam 9 pagi, saya harus meng-handle media briefing di sebuah hotel di Jogja. Saya tak bisa lari dari tanggungjawab. Tapi, bagaimana kalau, kondisi Jogja masih se-mengerikan tadi? Bagaimana kalau airport Jogja masih ditutup, dan lagi-lagi pilot mengambil keputusan untuk go back to Surabaya? Bagaimana kalau, avturnya habis di tengah angkasa?
Astaghfirullah… Ingin rasanya menyalakan HP, menelepon ibunda, minta saran beliau. Tapi, saya masih ada di pesawat. Saya tak mau jadi penumpang yang tak bertanggungjawab, walaupun pesawat masih parkir dan isi avtur.
Bismillah… Di tengah hujan rintik yang mengguyur Surabaya, saya berupaya kumpulkan keberanian… Bahwa hidup dan mati adalah rahasia prerogatif Allah… Separah apapun kondisi cuaca, kalau belum waktunya saya berpulang, maka insyaAllah saya masih tetap diperjalankan Allah, sebagai khalifah di muka bumi ini. Saya harus tawakkal sejak awal.
“Para penumpang yang terhormat, kita akan berangkat kembali menuju Jogja. Kami mohon untuk menonaktifkan HP dan kencangkan sabuk pengaman…”
Hujan masih mengguyur Surabaya. Rintiknya perlahan menetes di kaca jendela. Burung besi bersiap take off. Aroma kengerian menguar dari kabin pesawat.
Cuaca di sekitar Jogja belum juga bersahabat. Petir masih menyambar-nyambar. Air tumpah ruah, mengguyur semesta. Laa hawla wa laa quwwata illa billah…
Heiii, hujan seolah mengirimkan sindiran telak di ulu hati, Kemana saja kau selama ini, wahai Nurul? Apakah doa-doa itu hanya kau rapalkan manakala hujan turun dengan begitu derasnya? Apakah kau baru ingat Tuhan, tatkala maut hanya berjarak sepersekian detik dari hidupmu?
Hati saya bergerimis. Saya ikhlas, ya Allah… Sungguh, saya ikhlas… kalaupun malam ini saya harus berpulang, izinkan saya tetap menggenggam iman dalam dada.. Izinkan saya melafalkan Laa ilaaha illallah.. sebagai pertanda bahwa saya adalah hamba Engkau.. Saya ikhlas…
“Para penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandara Adi Sutjipto Jogja, mohon kencangkan sabuk pengaman Anda..”
Pilot melakukan manuver dengan begitu nekad. Kendati jarak pandang amat terbatas, pesawat ini mulai terbang rendah, dan gredeeggg… gredegggg… gredegggg… roda pesawat menyentuh landasan bandara… Subhanallah… Maha Suci Engkau, ya Allah….
Saya menangis. Larut dalam haru yang amat sangat. Allah masih memberi saya kesempatan, untuk memperpanjang tarikan nafas.
Bagaimana rasanya, masih diberi kesempatan hidup?
Maka, alangkah berdosanya saya, bila menyia-nyiakan waktu, kesempatan dan segala apa yang telah Allah berikan. Alangkah bebalnya saya, apabila justru berleha-leha, larut dalam hedonisme sesaat, dan abai terhadap segala titah yang Allah gariskan.
Saya terkapar dalam istighfar.
Dalam perjalanan menuju hotel, sopir taksi berkali-kali berujar hamdalah. ”Angin puting beliung di Jogja ini ngeri banget lho Mbak. Baliho-baliho pada ambruk. Pohon-pohon entah udah berapa yang tumbang. Alhamdulillah Mbak, kuoso-ne Gusti Pangeran nggih…”
Saya mengangguk lirih. HP saya berdering nyaring.
”Assalamualaikum, Ibu? Alhamdulillah, sudah landing di Jogja. Iya, hujannya deres banget.”
“Kok dari tadi aku telpon HP nggak aktif?” Ada nada khawatir di suara Ibu.
“Iya Ibu, tadi memang sempat balik di Juanda. Maaf nggak sempat ngabarin. Nggak berani nyalain HP. Doakan aja Ibu.”
“Ibu lihat di TV, angin puting beliung di Jogja waduuh, ngeri banget lho Nduk..”
“Iya, Ibu. Doakan aja, ini aku udah di taksi. Aku cari makan di hotel aja. Takut.”
“Iyo, ati-ati yo Nduk. Sholat tahajud jangan lupa. Besok pulang tho? Yo wis, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
***
Maka, sekali lagi, dengan duka yang merubung, izinkan saya berbagi kontemplasi. Tidak semua orang seberuntung saya dan Anda, yang tengah membaca blog ini. Tidak semua mendapat jatah “kontrak hidup” yang lebih lama, daripada saudara-saudara kita yang tengah berpulang.
Tentu bukan tanpa alasan, Allah menaruh kita sebagai barisan hamba-Nya yang masih bernyawa. Tentu, Dia—Sang Pemberi Amanah—menugasi kita rangkaian kebajikan yang harus senantiasa kita tebar. 2015 segera hadir, kawan. Beberapa menit lagi. Tundukkan hati kita. Biarkan kesyahduan gerimis mengirimkan sebait pesan, bahwa amanat Allah adalah sebuah keniscayaan yang harus kita tunaikan.
Hidup itu seperti kumpulan entitas dalam hujan. Terkadang masalah hadir dalam skala “gerimis”, tampak ringan, tapi tetap bikin badan kita basah. Acapkali, problema hidup menggelegar laksana halilintar. Hadapilah. Tentu dengan iman dan jiwa yang tegar. Kalaupun “kilat kehidupan” memecah bahagia, ketika “hujan masalah” datang bertubi-tubi, percayalah… bahwa Allah tak akan memberi kita cobaan, di luar kemampuan kita.
Tersenyumlah.
Optimislah, di atas rata-rata.
Karena setelah hujan, badai, petir, kilat, halilintar.. kita akan sambut pelangi yang cantik menginspirasi.(*)
”Tulisan ini diikutsertakan dalam A Story of Cantigi’s First Giveaway”