Supaya Tidak Tumbuh dengan Luka Batin

Ada satu fakta pahit yang jarang dibicarakan: banyak orang dewasa tumbuh dengan luka karena tidak pernah diajarkan cara mencintai dirinya sejak kecil. Mereka pandai berprestasi, disiplin, bahkan sopan di depan orang lain, tapi diam-diam benci pada dirinya sendiri. Menurut American Psychological Association, tingkat depresi pada remaja meningkat signifikan karena rendahnya self-love yang ditanamkan sejak masa anak-anak. Artinya, mencintai diri bukanlah ajaran “nanti setelah besar”, tapi fondasi penting yang harus dibentuk sejak dini.

Seorang anak yang belajar mencintai dirinya akan tumbuh lebih tangguh menghadapi kegagalan, lebih berani mengekspresikan diri, dan lebih tenang ketika masuk ke dalam lingkungan sosial yang keras. Di rumah, hal ini bisa kita lihat sederhana: anak yang salah menggambar tidak merasa harus menyobek kertasnya, tapi malah berkata, “Aku bisa coba lagi.” Sebaliknya, anak yang tidak pernah diajarkan self-love bisa langsung merasa dirinya bodoh hanya karena salah mengerjakan satu soal matematika. Dari sini, jelas bahwa mendidik anak mencintai dirinya adalah investasi psikologis paling mahal yang orang tua bisa berikan.

1. Ajarkan penerimaan diri sejak dini

Menurut Carl Rogers dalam On Becoming a Person, konsep unconditional positive regard adalah kunci utama seseorang bisa berkembang sehat. Anak yang merasa diterima tanpa syarat oleh orang tuanya akan memiliki dasar kuat untuk menghargai dirinya. Dalam praktik sehari-hari, ini tampak sederhana: saat anak pulang dengan nilai rendah, orang tua tidak langsung memarahinya, melainkan mendengarkan ceritanya lebih dulu.

Jika anak terbiasa menerima cinta hanya ketika berprestasi, maka ia akan tumbuh dengan pola pikir bahwa dirinya berharga hanya saat berhasil. Ini berbahaya, karena setiap kali gagal ia merasa dirinya tak layak. Ketika anak sejak dini mendapat pesan bahwa ia dicintai apa adanya, ia belajar bahwa kegagalan bukanlah akhir, melainkan bagian dari proses hidup.

Kita bisa mulai dengan ucapan yang menegaskan penerimaan diri. Misalnya, ketika anak berkata “Aku jelek karena gambarku tidak bagus”, orang tua bisa merespons “Gambarmu mungkin belum sesuai harapan, tapi kamu tetap hebat karena berusaha.” Dengan cara ini, anak belajar mencintai dirinya di tengah keterbatasan, bukan hanya saat dalam kemenangan.

2. Tanamkan kebiasaan berbicara positif

Shad Helmstetter dalam What to Say When You Talk to Yourself menegaskan bahwa kata-kata yang diulang dalam pikiran akan membentuk keyakinan dan perilaku. Anak yang terbiasa mengulang kalimat positif tentang dirinya cenderung lebih percaya diri dibandingkan anak yang dipenuhi kritik internal.

Sayangnya, banyak orang tua secara tidak sadar mengajarkan “self-talk negatif” dengan kalimat sederhana seperti “Kamu memang ceroboh” atau “Kamu selalu malas.” Kalimat-kalimat ini akhirnya menempel dan menjadi identitas anak. Anak yang terlalu sering mendengar hal itu akhirnya percaya bahwa dirinya memang tidak bisa berubah.

Sebaliknya, jika orang tua mengarahkan anak untuk mengubah ucapannya, seperti dari “Aku bodoh” menjadi “Aku sedang belajar,” maka perlahan anak membangun hubungan sehat dengan dirinya. Mengajak anak bercermin dan menyebutkan tiga hal yang ia sukai tentang dirinya setiap hari bisa menjadi latihan kecil tapi berdampak besar.

3. Ajarkan anak menghargai tubuhnya

Louise Hay dalam You Can Heal Your Life menekankan bahwa mencintai diri sendiri juga berarti berdamai dengan tubuh. Anak-anak perlu belajar bahwa tubuh mereka layak dihormati, bukan hanya dinilai dari penampilan.

Contoh sederhana bisa kita lihat saat anak menolak makan sayur. Alih-alih memaksa dengan ancaman, orang tua bisa menjelaskan bahwa tubuh butuh nutrisi agar kuat bermain, berlari, dan tumbuh tinggi. Dengan begitu, anak tidak melihat makanan sehat sebagai “hukuman,” melainkan bentuk cinta kepada tubuhnya.

Selain itu, anak juga perlu diajarkan menghargai tubuhnya dari sentuhan dan batasan pribadi. Misalnya, ketika ia tidak nyaman dipeluk orang lain, orang tua perlu mendukung hak anak untuk berkata “tidak.” Hal ini bukan sekadar soal keamanan, tetapi juga tentang bagaimana anak belajar bahwa tubuhnya pantas dihormati, dan itu bagian dari self-love.

4. Izinkan anak mengekspresikan emosi

John Gottman dalam Raising an Emotionally Intelligent Child menjelaskan bahwa anak yang diizinkan mengekspresikan emosinya akan tumbuh dengan kesehatan mental lebih baik. Mengajarkan anak mencintai diri tidak lepas dari melatihnya menerima emosinya sendiri.

Sayangnya, banyak budaya menganggap anak yang menangis adalah lemah. Anak laki-laki sering ditegur “jangan cengeng,” padahal menangis adalah mekanisme alami meredakan stres. Jika sejak kecil emosi ditekan, anak akan tumbuh dengan perasaan bahwa dirinya salah karena merasakan sesuatu.

Sebaliknya, ketika orang tua mendengarkan emosi anak tanpa menghakimi, anak belajar bahwa dirinya sah untuk merasa sedih, marah, atau kecewa. Misalnya, saat anak kehilangan mainan, orang tua bisa berkata, “Aku tahu kamu sedih karena mainanmu hilang. Itu wajar.” Dari sini, anak akan merasa lebih berdamai dengan dirinya. Orang tua juga sangat boleh mendokumentasikan terkait hal ini di Blog Gaya Hidup

5. Dorong anak untuk merayakan usaha, bukan hanya hasil

Carol Dweck dalam Mindset: The New Psychology of Success menegaskan pentingnya growth mindset dalam mendidik anak. Anak yang diajarkan bahwa usaha lebih penting daripada hasil akan lebih mudah mencintai dirinya bahkan saat gagal. Orang dewasa juga kerap gagal dalam hal mengatur finansial, karena itu penting banget untuk baca Blog tentang Keuangan dan mempraktikkan dengan baik.

Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini terlihat saat anak ikut lomba menggambar. Jika orang tua hanya berkata “Kamu juara pertama, hebat sekali,” anak belajar mencintai dirinya hanya ketika berhasil. Namun, jika orang tua berkata “Aku bangga kamu sudah berusaha menyelesaikan gambar itu dengan tekun,” anak akan belajar bahwa dirinya berharga terlepas dari hasil akhir.

Dengan begitu, anak tumbuh lebih tahan banting menghadapi kegagalan. Mereka tidak menganggap kesalahan sebagai bukti dirinya tidak layak, melainkan sebagai peluang untuk belajar. Pola pikir ini adalah pondasi kuat dari self-love.

6. Ciptakan ruang aman untuk eksplorasi

Peter Gray dalam Free to Learn menunjukkan bahwa anak membutuhkan kebebasan untuk mencoba, salah, dan mengeksplorasi dunianya. Tanpa ruang aman, anak akan tumbuh dengan rasa takut berlebihan dan sulit mencintai dirinya secara utuh.

Contoh sehari-hari adalah ketika anak ingin mencampur berbagai warna cat di rumah. Banyak orang tua melarang karena takut kotor. Padahal, dari eksperimen kecil itu anak belajar bahwa ia bisa menciptakan sesuatu yang unik, meskipun tidak selalu indah. Ini adalah bentuk penerimaan terhadap dirinya sendiri.

Dengan memberi ruang aman, anak merasa bahwa dirinya pantas bereksperimen tanpa takut dihakimi. Justru dari ruang itulah anak belajar mengenali potensi, bakat, sekaligus batas dirinya. Semua itu bagian penting dari mencintai diri.

7. Ajarkan anak untuk bersyukur, juga berterima kasih pada dirinya sendiri

Robert Emmons dalam Thanks! How Practicing Gratitude Can Make You Happier membuktikan bahwa rasa syukur meningkatkan kebahagiaan dan kesehatan mental. Mengajarkan anak untuk bersyukur pada dirinya adalah cara sederhana menumbuhkan self-love.

Bersyukur bukan hanya soal makanan atau hadiah, tetapi juga soal usaha diri. Anak bisa diajak mengatakan “Terima kasih kakiku, sudah kuat berlari hari ini” atau “Aku senang aku berani bicara di kelas.” Hal ini membentuk pola pikir bahwa dirinya layak dihargai bahkan dalam hal-hal kecil.

Ketika anak terbiasa bersyukur pada dirinya, ia tumbuh dengan sikap yang lebih hangat pada kekurangan dan kelebihannya. Ia belajar bahwa cinta pada diri sendiri bukanlah kesombongan, melainkan pengakuan bahwa dirinya pantas dihargai.

Mencintai diri adalah bekal utama anak menghadapi dunia yang penuh kritik dan standar palsu. Jika sejak kecil anak sudah kuat dengan fondasi ini, ia akan lebih sulit dijatuhkan oleh penilaian orang lain. Gimana menurut teman-teman, sudahkah kita cukup mengajarkan anak-anak kita cara mencintai dirinya?(*)

19 comments

  1. dulu pas di Malaysia, aku kan tinggal dengan orang China ya mba. Kebetulan dia ada cucu perempuan, yg mana tiap siang dititipin Ama orangtuanya Ama si nenek ini. Cucunya sih baik pinter. Tp pas sore pas ibunya datang, biasa mulai belajar tuh. Dan mulaaaai deh, Kata2 serem keluar. Ibunya galak banget.

    Aku yg tadi ya ga ngerti bahasa mandarin, jadi paham bahasa makian nya 🤣🤣. Gara2 si ibu kalo ngajarin anaknya pake maki2. Duuuh ngeriiii sumpah. Makanya aku ga heran, kebanyakan, walau ga semua, anak2 orang China yg di SG dan Malaysia, dididik keras banget. Mereka memang jadi pinter, tp juga self love nya kurang.bagi mereka sukses itu artinya juara 1. Juara 2 aja mungkin dianggab gagal.

    aku ga mau sih anak2ku begitu . Takutnya nanti mereka lebih mentingin hasil drpd effort mencapai itu

  2. Jadi semakin refleksi ke diri sendiri..sejauh ini bagaimana perlakuanku dengan anak2 yang ada di sekelilingku meskipun kita tidak 24 jam bersama namun aku merasa jika aku bisa memberi feedback positif ke mereka harapannya mereka bisa menerima hal baik tersebut dan bisa meningkatkan rasa percaya diri mereka..masih proses belajar memperbaiki sikap dan tutur kata dihadapan anak2 ini 🙂

  3. bener sih. Keluarga itu membentuk cara pandang kita terhadap diri sendiri. Mengajari self love. Jadi saat kena badai di luar rumah, kita nggak hancur-hancur amat. Masih punya ruang untuk bangkit lagi karena tahu ada tempat aman untuk pulang.

  4. Soal berbicara positif nih, keknya emak2 masih gampang2 suseh keknya haha. Kadang tu krn emak maunya cepet, anaknya selow =))

    Tapi btw imho zaman sekarang nih keknya banyak ortu hasil didikan sebelumnya yang kemudian belajar lalu mengusahakan hal2 baik buat anak2nya ya. Kalau bisa jangan kyk mereka dulu gitu misal dengan berusaha mengisi tangki cinta, jadi gak cuma kasi materi tetapi berusaha hadir, selalu mengapresiasi anak dll. Apalagi zaman now gitulah, banyak akses ke influencer psikolog anak hingga ke influencer parenting.

    Kyknya sih nanti gen z, gen alpha, dan gen2 di bawahnya soal ini lebih baik, moga2 yaa.

    Btw kyknya perlu disambung mbak tulisannya, mengenai gimana caranya untuk menyembuhkan luka batin buat orang dewasa yang udah terlanjur terluka hehe.

  5. Dari enam cara yang tertulis, semuanya tepat dan aku setuju. Namun aku lebih menyoroti tentang menghargai tubuh dan emosi.

    Dua hal itu menurutku lebih penting untuk diajarkan. Menyadari tubuh sebagai wadah, alat, kendaraan jiwa. Perlu menghormati, merawat, termasuk bagaimana makan dan tidur serta membersihkannya. Lalu emosi, penting sekali untuk diberi ruang karena hal itu wujud dari nafas jiwa.

    Sehingga anak-anak atau kita semua tidak mudah dan tumbuh dalam luka batin, mulai dari kesadaran akan pentingnya bagaimana menghormati tubuh dan jiwa.

  6. Peran orang tua Memang wajib sekali dalam semua proses tumbuh kembang anak. Termasuk memberi anak pemahaman mencintai diri sendiri. Namun kadang orang tua sendiri yang menjatuhkan anak. Contohnya bapak saya. Dia selalu mengatakan saya ini anak jelek diantara bersaudara hahahah. Akhirnya saya pernah merasa kok saya begini tidak kayak anak lain. Untuk saya belajar menulis cerita yang menempa saya belajar menerima kegagalan saat tulisan ditolak lalu berusaha terus kirim. Akhirnya pas dimuat, menumbuhkan rasa percaya diri saya. Oh.. saya mampu dan punya kelebihan juga.

  7. Aku ngerasain banget sulit menyampaikan emosi dan ekspresi karena ngga terbiasa dr kecil dikasih kesempatan untuk itu. Sehingga frustrasi sendiri, jadi aneh… beruntung bisa menulis jadi sebagian besar emosi bisa rilis berupa tulisan.

    Masih belajar banyak juga untuk ngajarin anak hal ini.

  8. Setuju banget kalau self-love itu harus diajarin dari kecil, soalnya banyak orang dewasa yang akhirnya susah berdamai sama dirinya sendiri karena nggak pernah dapet bekal itu.

    Aku paling relate sama bagian “hargai usaha, bukan cuma hasil.” Soalnya kadang kita kebawa pola pikir harus selalu juara, padahal yang penting proses belajarnya.

  9. Setuju banget kalau self-love itu harus diajarin dari kecil, soalnya banyak orang dewasa yang akhirnya susah berdamai sama dirinya sendiri karena nggak pernah dapet bekal itu.

    Aku paling relate sama bagian “hargai usaha, bukan cuma hasil.” Soalnya kadang kita kebawa pola pikir harus selalu juara, padahal yang penting proses belajarnya.

  10. Betul banget mba, sepakat untuk menanamkan pada anak agar dapat mencintai diri sendiri dengan dicontohkan secara langsung oleh tindakan dan respon orangtua. Terutama memvalidasi emosi yang timbul. Jujurly aku didikan VOC banget dari bapake kadang suka bingung mengekspresikan perasaan hahahaa. Tapi gapapa setiap ortu pasti nggak sempurna ada kurang-kurangnya.

    Tugasku semisal nanti dikaruniai anak, memang harus belajar buat mengisi tangki cinta anak secara benar dan tidak mudah menghakimi saat anak mengalami kegagalan. Intinya agar anak mampu menghargai proses dan nggak mudah down saat terjun ke dunia nyata. Yup dunia penuh dengan standar palsu yang menyilaukan mata.

  11. menanamkan supaya bisa belajar menerima kekalahan, kemenangan dan mensyukuri atas segala yang didapat sejak kecil itu salah satu upaya yang saya lakukan juga demi bisa menjadikan anak dengan segala karakter baik dalam tingkah lakunya, tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin ya

  12. Penting banget ya ternyata ngajarin anak buat cinta sama dirinya sendiri dari kecil. Juga untuk sportif juga menghargai setiap langkah yang telah diambil… dengan fondasi ini bakalan bikin mereka kuat hadapin dunia. Jadi pengen coba terapkan ke anak juga nih. Ilmu parenting yang pentingggg

  13. pola asuh anak di keluarga penting banget ya dan juga lingkungan menurutku. Kadang kalau orang gede ngomong, anak-anak bisa aja mencontek atau meniru, entah dari omongan atau tindakan.

    apalagi memupuk self love sedari kecil, kudu diperhatikan juga nih sama orang tua. seperti yang mba Nurul bilang, kalau orang tua memarahi anak setelah mereka lomba, pasti si anak akan berpikir kalau dia nggak bermanfaat.

  14. Bulan lalu, ikut acara tentang inner child ini dan rata-rata peserta para ibu muda mengalaminya karena pola asuh ortu kita yang kurang apresiasi dan kurang membimbing anak self love.. ah semoga kita jadi ortu lebih baik ya..

  15. Ternyata hal-hal seperti menghargai diri sendiri akan memberikan afirmasi positif dan semangat baru yang tumbuh di dalam diri. Kalau pakai standart orang lain teruuss… bakalan capek juga ngejernya yaa..

    Aku selalu bilang sama anak-anak kalau usaha itu perlu, doa nomer satu.Di setiap usahamu, bukan kemampuanmu yang menentukan hasilnya, namun Allaah-lah satu-satunya yang memberikan takdir mau gimana akhirnya nanti.

    Jadi, kalo uda usaha masih gagal, ya Qodarullaah…Kalau berhasil, Biidznillaah…

    Tetap sayang sama diri sendiri dan hargai setiap momen yang ada di dalam hidup.

  16. susah memang mendidik anak tanpa membuat mereka merasakan luka batin

    apalagi kalau orang tuanya masih belum berdamai dengan kondisinya, orang tuanya masih banyak merasakan luka batin

    memang parenting is challenging ya mbak

Leave a reply to Fanny Nila Cancel reply