Rekan Kantor adalah Keluarga, Yay or Nay?

“Kita ini satu keluarga. Kamu udah saya anggap sebagai ponakan sendiri. Sebagai Om yang baik, sudah pasti, saya memberikan kesempatan kamu untuk maju dan terus berburu pengalaman sebagai Reporter. Asah insting, perbanyak kenalan dan kolega liputan, niscaya kamu akan tumbuh dan berkembang sebagai Reporter Handal!”

Pak Benny—sebut saja begitu—seniorku di kantor. Dilihat dari tongkrongannya, pak Benny udah menginjak usia sekitar 43 tahun. Sementara aku, baru lulus kuliah S1, umur 22 tahun, masih “bau ingus dan iler” alias anak bawang banget. Aku menganggap dunia itu baik. Orang-orang di sekitarku super duper baik, empowering, dan berhati mulia. Pasti mereka dikirim Tuhan untuk “membentuk” diriku, si bocah piyik ini, untuk jadi reporter berita yang mumpuni.

“Nanti ada Liputan demonstrasi di Gedung DPRD. Trus, jangan lupa pantau kenaikan harga sembako, bisa untuk features, o iya bisa sekaligus cari berita seputar lingkungan, dengan narasumber kayak DLH Kab Tanah Laut . Nah, sekitar jam 8 malam, kamu berangkat sama camperson Arie untuk liputan eksekusi terpidana mati, ya. Harus standby di Lapas, jangan sampai kecolongan beritanya.”

Lagi-lagi pak Benny memberikan instruksi. Akupun sibuk mengangguk sembari mencatat apa saja agenda liputan yang harus kugarap. But, wait. Sumpah ini harus aku semua yang ambil liputannya?

“Errr.. ini kok full banget ya, Pak? Saya mulai jalan jam 10 pagi… trus, ntar yang liputan eksekusi, itu mulai nongkrong di Lapas jam 8, kira-kira kelarnya jam berapa ya Pak?”

“Kalau eksekusi nggak bisa diprediksi, bisa jam 12 malam… atau jam 3 pagi. Terserah tim eksekutornya,” pak Benny menukas enteng.

WHAT? Aku menggaruk-garuk kepala yang mulai terasa gatal. “Kenapa nggak kita bagi aja ya pak, agenda liputannya? Pak Benny ambil yang siang sore… saya mulai jam 8 malam itu aja, biar tetap fit dan bisa cover beritanya.”

“Wahahahahahah!” gelegar tawa Pak Benny mengudara. Ia mengacak-acak kerudung di kepalaku, yang langsung kusambut dengan elakan dan body signal, “Aku nggak suka diginin, ya!”

“Nurul… Nurul. Kan tadi saya udah bilang, kita ini keluarga. Saya ini anggap aja jadi om yang sedang membimbing ponakannya untuk maju. Masak kamu nggak mau jadi Reporter Handal? Bisa keren kayak Rosiana Silalahi gitu loh. Kalau mau naik kelas jadi Reporter hebat, ya harus kuat! Jangan khawatir, kamu masih muda, energi kamu masih besar untuk meng-cover tugas liputan seperti ini, okaaayy?”

Seringai pak Benny bagaikan mimpi buruk. Kalimat “Kita ini Keluarga” berdenging terus, menjadi semacam alarm peringatan, bahwa kerja di kantor ini, ga ada lembur, tapi penuh dengan aneka pressure.

Keluarga? Keluarga macam apa, yang membiarkan senior menggencet juniornya? Toxic family?

Sampai detik ini, saya masih belum bisa melupakan peristiwa itu. “Kita ini keluarga” Jargon yang terus didengungkan oleh senior di kantor. Paham banget bahwa sebagai newbie, saya memang harus banyak belajar. Mau terjun ke lapangan, punya dedikasi loyalitas tinggi pada pekerjaan. OK, well noted. Paham banget kalau profesi Reporter memang tak segampang itu. Harus standby liputan, punya kepekaan tinggi, dan walaupun jam kerja nggak jelas, nggak ada ceritanya kami terima uang lembur.

Tadinya saya berharap, bertemu dan bekerja bareng orang-orang yang asyik, penuh empati dan saling mendukung. Nyatanya? Sebagai newbie, saya kerap dijadikan tumbal. Alih-alih diberdayakan, saya malah diperdayai. Dijadikan sarana untuk alibi kemalasan liputan para reporter senior.

Saya mau-mau aja ambil liputan berat, kayak topik eksekusi terpidana mati. Atau wawancara keluarga teroris, misalnya. Meliput tentang isu lingkungan dengan narasumber DLH Kab Tanah Laut juga OK OK aja. Tapi, seyogyanya prinsip keadilan tetap ditegakkan. “Keluarga” yang baik itu mengusung asas fairness. Kalau menugaskan liputan buatku, ya… pak Benny juga dapat porsi yang kurang lebih sama, lah. Jangan berat sebelah. Apalagi pakai dalih “om yang sedang mendidik keponakan”. Blah.

Leave a comment