Habis FOMO, Terbitlah FOPO
Beughh, bahas aneka istilah jaman now tuh kek ngga ada habisnya yeee. Beberapa waktu lalu, kita digempur oleh terminologi FOMO alias Fear of Missing Out. Ehh, sekarang nongol lagi istilah baru, yaitu FOPO. Apa pula ini bahh?
FOPO adalah Fear of Other People’s Opinions. Alias perasaan ketakutan/ cemas terhadap pendapat orang lain. Yang jelas, sama seperti aneka fenomena psikologi lainnya, FOPO juga bisa sangat mengganggu kehidupan, apalagi jika muncul secara terus menerus.

Naahh, buat para PENULIS LEPAS, yuk yuk pantengin artikel ini sampai habis! 🙂 Kita diskusi yaakk, di kolom komen, seputar FOMO, FOPO dan aneka term-term lainnya seputar kondisi psikis jaman now hahahah.
Sekarang, jujur aja deh…. Sejak adanya media sosial, tidak sedikit manusia yang sibuk meng-kurasi postingan untuk menampilkan citra tertentu, kan? Sah sah aja sih. Karena memang hak masing-masing tho untuk “mem-branding” atau melakoni pencitraan. Yang masuk kategori berbahaya itu, manakala kita menampilkan “sosok orang lain” (yang sama sekali bukan gue banget, ceunah!) hanya demi VALIDASI dan ingin memukau pihak lain
Contoh nih, contoh. Ada Ms X dengan gaji UMR Jogja. Dia pengiiinn banget eksis di jagat digital dan dikenal sebagai influencer kelas VVIP, gaya hidup hedon, berkelas, mevvah. Saking mupengnya dengan pencitraan itu, ms X bela-belain HUTANG untuk beli baju, tas, perhiasan, sepatu, plesir ke berbagai destinasi dalam dan luar negeri dengan flight dan hotel yang ciamik, makan harus selalu di resto dan café fancy, dan seterusnya. Ini semua dilakoni lantaran dia HAUS VALIDASI dan pengakuan orang lain bahwa “Gilsss, ms X, lo keren banget seehh. Aku iriiii dengan semua pencapaian dan kebahagiaan dalam hidup kamooohh!”
WARNING, WARNING!
FOPO ini berimbas pada banyak hal. Yang jelas, psikis udah mulai terhuyung-huyung. Selain itu, merusak keharmonisan finansial. Demi terciptanya image karakter yang “perfecto” butuh ngutang berapa? Gak mungkin dong Cuma pinjam seratus?
***
“Pendapat beberapa orang memang penting, dan bisa berdampak signifikan terhadap jalan hidup seseorang,” kata Michael Gervais, psikolog yang ahli dalam hubungan antara pikiran dan kinerja manusia, seperti dikutip dari situs CNBC. “Tapi FOPO, rasa takut terhadap opini orang lain, dapat membatasi potensi Anda dan mencegah Anda melakukan apa yang Anda merasa terpanggil untuk melakukannya,” lanjutnya.
Dampak FOPO Menurut Gervais, FOPO dapat memengaruhi kehidupan seseorang dan membuat orang tersebut menjalani hidup dalam pandangan orang lain. Dalam soal pekerjaan, terlalu kuatnya FOPO bisa membuat kinerja Anda menurun. “Hal ini dapat memperlambat pengambilan keputusan dan menurunkan pengambilan risiko, kreativitas, inovasi dan kolaborasi,” lanjutnya.
Lalu, bagaimana cara mengatasi FOPO? Berikut kiat dari Gervais:
(1). Fokus dengan hal yang dalam kendali Anda. Ingatkan diri bahwa, bagaimanapun, Anda tidak dapat mengontrol pendapat orang lain. Jadi, merupakan hal yang sia-sia jika Anda terlalu berusaha menyenangkan orang lain. Sebaliknya, Anda lebih baik fokus dengan hal-hal yang bisa Anda kendalikan, yakni kehidupan Anda sendiri. Selain itu, penting pula untuk tetap mengendalikan respon Anda atas pendapat orang lain. Meski orang lain dapat memberikan pendapat negatif, penting untuk Anda tetap menjaga emosi.
(2). Kenali prinsip-prinsip hidup Anda. Jika Anda mengenali dan paham prinsip-prinsip hidup dan nilai-nilai diri, maka Anda lebih jernih memandang pendapat orang lain. Anda dapat menilai jika pendapat itu selaras dengan prinsip Anda, ataupun sebaliknya. Kecemasan dan ketakutan umumnya akan mudah muncul jika Anda sendiri tidak memiliki prinsip hidup yang kuat.
***
Di Indonesia, FOPO dibentuk oleh budaya dan pendidikan. Budaya feodalisme dan konformitas yang masih lekat di masyarakat berkontribusi kuat terhadap terbentuknya FOPO pada manusia-manusia Indonesia.
“Budaya feodal misalnya senior mengatur persepsi publik ini. Lalu, soal konformitas, dari kecil anak-anak diajari punya pemikiran selalu sama, jika berbeda sedikit saja akan dibilang aneh karena sudah dibiasakan dengan keseragaman,” terang Novi, Dosen Fakultas Psikologi UGM. Lebih lanjut, Novi menyebutkan karena pendidikan yang ada menyeragamkan semua individu, pada akhirnya menjadikan manusia-manusia Indonesia menjadi lebih mementingkan pendapat atau pikiran orang lain tentang dirinya dibandingkan pendapatnya sendiri akan dirinya.
Ditambah dengan keberadaan media sosial dimana image atau perspektif seseorang dibentuk oleh platrform ini. Misalnya, banyak diskusi dan obrolan terkait parameter kesuksesan bagi anak muda. Anak muda dianggap sukses jika di usia 20-an tahun sudah memiliki penghasilan atau usaha sendiri. Karena wacana di media sosial tersebut orang mulai membandingkan dirinya.
“Akhirnya membandingkan dirinya, sudah usia 30 tahun tetapi belum ada bisnis sendiri dan akhirnya mulai insecure karena hidup tidak sesuai harapan kebanyakan orang,” ucapnya.
Kondisi ini, lanjutnya, terjadi karena seseorang belum memiliki kesadaran akan identitas diri sendiri. Di usia remaja seseorang harus mengenal dirinya, jika diberikan ruang untuk mengenal dirinya maka akan memiliki kesadaran diri terhadap dirinya. Apabila kesadaran diri ini sudah dimiliki maka identitas diri bisa terbentuk baik sehingga tidak akan cemas pendapat orang lain dan tidak takut berbeda.
“Rata-rata orang Indonesa sekarang mengalami FOPO, takut dinilai jelek, salah, dan gagal,” katanya.
Novi menyampaikan jika ketakutan akan pendapat orang lain ini terus berlanjut bisa mengakibatkan gangguan kecemasan sosial. Kondisi tersebut bisa memunculkan dampak negatif bagi kesehatan mental seperti mudah stres apabila mengalami kegagalan. Selain itu juga menjadikan seseorang tidak mengetahui apa yang menjadi keinginan diri karena semua yang dilakukan untuk memenuhi harapan publik. Aduuhhh, padahal boleh jadi seseorang tuh ada bakat untuk jadi penulis BUKU TENTANG PEREMPUAN lohhh. Kan sayang yaaa, kalo terjerat FOPO.
***
Yap, ada sejumlah upaya yang bisa kita lakukan agar kita dan keluarga tidak terjerat FOPO. Kata kuncinya, dimulai dari pendidikan di rumah dan sekolah. Ekosistem pendidikan dibuat agar anak-anak bisa tumbuh dengan percaya diri. Apabila anak-anak memiliki rasa percaya diri yang baik maka akan tumbuh menjadi pribadi yang utuh dan mandiri. Sebaliknya, jika anak tidak memiliki rasa percaya diri yang baik maka sebagian hidupnya dipenuhi emosi negatif seperti malu, cemas, khawatir, tidak ada harapan, dan sebagainya. Kalau punya energi percaya diri yang bagus tidak akan mudah cemas dan tidak terjerat FOMO ataupun FOPO. Karenanya harus dibentuk ekosistem yang menumbuhkan kepercayaan diri dengan memberikan ruang-ruang bagi keunikan setiap manusia. (*)
Yaampun ada ada aja ya singkatan jaman now. Kayak ga ada abisnya 🤣🤣🤣
Tapi emang betul bgt sih, takut akan pandangan org ttg kita tuh sangat menghambat potensi terbaik kita. Semoga generasi anak2 kita kedepannya ga ngalamin deh yaa, secara generasi kita kan udh mulai paham dampaknya.
Tapi memang gak jarang yaa.. orang yang uda dewasa juga ketika sedang “gask sehat mentalnya” pasti ada masa-masa FOPO siih.. dan itu pastinya waktunya OFF sosial media sejenak.
Aku uda di tahap gak terlalu main sosmed kecuali buat kepoin idol keshayanganku, hehehe.. jadi mainannya di zona nyaman aja. Scrolling dikit, nemu yang menarik, love. Butuh komen kalo yang beneran aku ngerasa punya kedekatan secara personal.
Soalnya kalo engga, takut menyakiti.
Wah, saya baru dengar dan baru tau istilah FOPO ini, Mbak. Dan rasanya, sosmed sekarang sedikit banyak mempengaruhi hidup. Kalau belum punya pijakan dan mengenali diri, auto insecure dengan membanding-bandingkan. Terima kasih sudah menuliskan ini, Mbak
Naudzubillah, kasihan juga kalo harus terjangkit fomo dan fopo.
Menjadi yang seimbang-seimbang saja, melakukan sesuatu atau belanja based on function bukan fashion rasanya itu penting sekali.
Tapi tak dipungkiri ini sudah ada di lingkungan sekitar. Semoga kita terjaga dari hal-hal/kebiasaan yang tidak sehat.
Saya pribadi berada di circle ini. Dimana orang -orang merasa cemas dengan pendapat orang lain. Semoga saya bisa beradaptasi dan tidak menjadi bagian dari FOPO ini
Wah iya nih aku juga baru tahu istilah FOPO. Padahal kalau kejadiannya udah lama pernah FOPO cuma saat itu nggak ada istilahnya aja
Waduh ada istilah baru lagi toh, ada-ada aja yah tapi memang sih berkembangnya teknologi mau tidak mau akan mempengaruhi kehidupan sosial dan cara berpikir seseorang, ngak heran kalau sekarang banyak yang mengalami masalah dengan kesehatan mental, mungkin karena ekspetasi yang terlalu tinggi bikin frustasi atau lainnya, entahlah. Aku sekarang pinginnya yang nyaman aja, terlalu ribet ya udah skip peduli urusan orang tapi tidak dengan anak-anakku yang notabene generasi z, makanya aku mulai membuka diri untuk tahu serta menyelami kehidupan anak-anak sekarang.
Cerita mbak Nurul di atas soal teman yang sampai berbohong demi lifestyle itu bener. Waktu SMA, bahkan sebelum medsos booming, saya punya teman yang membuat cerita dia liburan keluar negeri, memamerkan barang-barang mewah. Sedihnya, sebenernya dia gak perlu melakukan hal itu. Dia cuma salah pergaulan aja. Pengin diterima di geng high society. Padahal.banyak temen lain yang bergaul tanpa memandang harta dan lebih apa adanya. Problemnya memang haus validasi dan ketidakpercayaan diri sih ya. Insecurity.
Baru tahu istilah ini, memang ya kehidupan sosial media punya andil besar dalam tingkah laku seseorang. Ngeri banget kalau baca berita juga. Orang pada bersikap aneh. Aneh menurutku kita
Oalah aku baru tahu ada istilah FOPO
Selama ini tahunya FOMO
nice info mbak
Jadi tahu istilah masa kini
Terimakasih atas infonya
Sederhananya ini kita selalu takut dianggap kurang oleh orang lain ya. Bukan pada saat tertentu masa bodo adalah jalan ninja hehhe
Mba, aku kemana aja yah baru tahu istilah FOPO wkwk..betul sekali jika kita itu wajib untuk fokus pada diri sendiri hal ini juga aku dapatkan saat baca buku Dr. Andreas, S.p,KJ jika diri kita yang memang punya kendali jangan biarkan orang lain mengendalikan hidup kita. Kita lebih suka berfikir rumput tetangga lebih hijau tapi kita sendiri yang mengkerdilkan pemikiran sendiri sehingga lupa untuk merawat rumput di halaman sendiri.
Ya ampun istilahnya 🤣🤣. ((FOPO))😁. Popo siroyo 🤣Ok kata kuncinya berarti percaya diri ya mba. Krn jika ini sudah ada dlm diri masing2 orang, ga peduli apapun kata dunia dia fine aja. Krn confident terhadap dirinya.
Aku mungkin dulu seperti itu. Takut dengan anggapan orang lain. Tp semakin naik usia, ngerasa udh capek sih kalo harus nyenengin tiap orang. Ga mungkin bisa. Yg ada kita sendiri yg capek, makan ati, makan perasaan .
Mau kapan bahagianya. Pd akhirnya hrs belajar untuk cuek dan ga peduli kata orang lain. selagi kita tahu kita benar, ya lakuin aja. Bodo amat ama anggapan orang. Toh mereka ga biayain kita juga 😅
Alhamdulillah, saya tidak terlalu memedulikan soal Fomo dan juga sekarang Fopo, Mbak. Dan dari yang saya baca, kuncinya, ada pada diri kita sendiri. Fokus dengan apa yang baik dan penting untuk diri kita sendiri, bukan orang lain. Apalagi soal Fopo. Masih banyak hal-hal penting yang harus kita pikirkan daripada memikirkan omongan orang. Saya menganut anjuran, selama tidak minta makan dan menyusahakan orang lain, maka hempaskan ucapan orang lain hahaha.
aku baru tahu ada istilah ini mbak wkwk kagak abis2 ya istilah zaman sekarang
btw, kayaknya aku masuk kategori FOPO ini deh. tapi nggak sampe akut banget sih. efek medsos ini emang bahaya banget. kita jadi lebih rentan membandingkan diri dengan orang lain. padahal kalo dilihat2 hidup kita juga baik2 aja kok
kuncinya emang fokus sama diri sendiri ya
Ekosistem pendidikan yang baik itu penting banget untuk membentuk cara pikir seseorang, selain pendidikan, ekosistem pergaulan juga punya pengaruh besar.Seperti dari zaman lahir sampai umur udah mendekati setengah abad tak pernah terpengaruh dengan opini orang yang tidak membangun, itu semua karena ekosistem hidup sudah diatur semampunya.
Nah, setuju banget kunciannya harus punya rasa percaya diri yang kuat untuk menghalau FOMO & FOMO. Apalagi di era digitalisasi dan maraknya Flexing di socmed, duhhh kalau langsung Telen mentah-mentah bisa bikin down mba.
Untungnya daku ada di lingkungan blogger dan content creator yang tepat, branding diri tetap apa adanya dan nggak memaksakan sehingga tidak pusing terbelit hutang dan lainnya.
Ternyata cukup mengakar sekali ya kenapa terbit si FOPO, bahkan sedari kecil ternyata kita tuh terbiasa dengan budaya “harus sama”. Makasih lho sudah di kasih banyak pencerahan untuk bisa terhindari dari FOPO.
Kukira FOPO hanya untuk kaum tuatapiternyata anak muda juga kena FOPO. Sedihnya yang sampai FOPO dan panjat sosial di medsos sampai bela2in ngutang bahkan pnjl hanya demi terlihat sebagai crazy rich. Amit2 jangan sampai.
Kalau aku tipe cuek sih I don’t care about other’s people opinion, jadi gak bakalan FOPO.
BTW di foto itu ada Mbak Nunu ya? Pas di Sinjay, jadi pengen bebek wkwkwk.
Seram sih kalau kita sudah terlalu perduli sama pendapat orang lain. Bisa berbahaya sama kondisi finansial. Apalagi kalau sampai ingin terlihat wow di mata publik. Tidak cukup hanya dengan pinjam dulu seratus, kakak. Hehehehe
Kayaknya aku ini mbak mengalami FOPO deh
Soalnya aku paling takut salah ini dan itu di mata orang lain. Bahkan kadang aku mikir gini, “Mbak Nurul ini marah ga sih kalau aku gini, mbak Nurul kecewa gak sih sama kata kataku, mbak Nurul ilfil ga sih sama tingkahku.”Dan kalimat-kalimat senada yang sering kupikirkan hingga sulit tidur padahal ya bisa jadi orang ya BODO AMAT begitu sama aku ya kan…
ada-ada aaja istilahnya, yang bikin enggan buat dihapalin. Et dah, memangnya lagi ujian sekolah perlu ngapalin hehe. Dah lah, jadi diri sendiri aja, gak perlu fopo maupun ribet dengan pendapat orang lain apalagi kalo negatif, ya gak sih kak?
weh, aku baru tahu istilah FOPO ini mbak
banyak juga ya istilah kekinian
dulu aaku juga sering FOPO gini
tapi sseiring waktu, aku cuek bebek
nggak ambil pusing sama omongan orang
Memang sebaiknya menjadi diri sendiri, tidak FOMO maupun FOPO., tidak ikut2an dengan orang lain dan juga ngga usah mempedulikan pendapat orang tentang kita, demi menjaga kewarasan dan kesehatan mental juga. Diperlukan rasa percaya diri dan harus punya prinsip sih kalau menurut saya.
setelah dibaca dan dipikirkan ternyata saya juga pernah mengalami fopo ini dalam dunia sosial media tapi setelah dipikirkan lebih jauh lagi selama kritiknya membangun kan saya terima tapi kok kritiknya udah ngaco Saya udah nggak perlu lagi apa lagi orang yang mengkritik tidak membayar tagihan PLN saya jadi hempaskan saja opini orang tidak penting itu
FOMO, FOPO atau fear yang lain menurutku mereka yang belum selesai dengan dirinya dan belum mengen dirinya, sehingga butuh validasi dari orang lain. Setiap orang mempunyai milestonenya masing-masing. Jadi tidak perlu dibandingkan dengan orang lain bukan jadinya malah overthinking.
terinspirasi tanpa terintimidasi boleh la. Woles aja
iya juga ya, kalau kita percaya diri, kita nggak bakalan goyah dengan mereka yang misalnya “manas-manasi” kita buat ikutan trend. Kadang kan memang pengaruh lingkungan yang bikin kita biar sama dengan orang lain.
lagi-lagi iman memang kudu kuat supaya ga terlalu berpaku sama FOPO atau FOMO
Aku setuju sama raditya dika mbak kalo perihal ini. Jadi nganu, orang tuh sering beranggapan bahwa personal branding adalah apa yang ia tampilkan. Padahal ini gak sepenuhnya benar, karena sejatinya yang paling utama adalah ‘value’ apa yang kita berikan ke orang lain.
Kalau personal branding dibangun diatas sebuah kebohongan, ya pelan pelan pasti semua kebusukan akan terbongkar. Makanya yaa, yang terbaik adalah cukup jadi diri sendiri aja. Ga mestilah sengaja ini itu demi pendapat orang lain. Gak banyak faedahnya juga.
FOMO atau FOPO itu hanya wadah unjuk diri untuk orang yg belum selesai dengan diri sendiri, orang yg masih cari jati diri sehingga butuh banget pengkuan dari orang lain atau haus validasi biar dianggap setara..tapi menyikapi hal ini ya kalau saya heran2 amat karena setiap orang ada kelas nya,..barangkali kelas belajar kehidupan kaum yang masih FOMO dan FOPO baru sampai situ ya maklumin sajaa..
Dalam dunia yang serba digital ini, kita sering banget kebawa arus ingin tampil perfect demi validasi orang lain. Padahal, yang penting kan hidup sesuai dengan prinsip kita sendiri, bukan ngikutin ekspektasi orang lain.
Setuju banget kalau untuk mengatasi FOPO, kita harus mulai dari mengenali diri sendiri dan fokus sama hal-hal yang bisa kita kontrol. Jangan sampai takut dinilai orang dan malah mengabaikan apa yang kita benar-benar inginkan dalam hidup.