“Ayo ke Bojonegoro, yuk!”
Suatu ketika, sahabat saya mengajak mbolang ke Bojonegoro. Alasannya? Mertua doi berasal dari sono. Tepatnya di kecamatan Balen, Bojonegoro.
Humpfft. Sebagai anak kota *tsaaah* saya rada-rada underestimate sama Bojonegoro. “Emang, ada apaan sih, di sana? Kagak ada mal kan?”
Temen saya ngikik. “Ya ampuuun mbak, kalo cuman mall, di Surabaya kan udah banyak. Kita cari sesuatu yang lain dong, di Bojonegoro. Oke?”
Hmmm, to be honest, saya sama sekali enggak pasang ekspektasi terlalu tinggi. Palingan, Bojongoro ini gak lebih dari sekedar kota para pensiunan. Tenang. Sepi. Nyaris tak ada detak kehidupan di atas jam 12 malam.
“Weittsss! Jangan ngeremehin Bojonegoro loh! Sekarang, Bojonegoro rame banget! Apalagi, sekarang di sono ada hotel Aston loh! Level internasional!”
Et dah. Gilingan! Kalau hotel sekelas Aston aja rela nangkring di Bojonegoro, berarti… kota ini “sesuatuuuu”…!
***
Kami berangkat bertiga dengan mobil dari Surabaya. Lewat tol Surabaya–Gresik–Tuban, kami menempuh perjalanan sekitar 3 jam. Perut udah meronta minta diisi. Dan, karena saya masih kesambet gengsi, “Eikeh kan anak kota”, saya minta ditunjukin resto yang paling happening dan representatif di Bojonegoro.
“Ada! Namanya Warung Apung Rahmawati…”
“Wah. Persis namaku tuh. Namaku kan Nurul Rahmawati. Ayok, cuzz ke sana…!”
Tadinya saya mikir, nih warung ya ala-ala warung tegal gitu. Sederhana dan ala kadarnya. Ternyataaaaa….
Slrrrrpppp…!! *buru-buru lap iler**
Hehehe… mapp yaa, poto-potonya emang ‘”menggoda iman” banget. Pada intinya, kota Bojonegoro ini sama sekali enggak layak diremehkan. Restoran yang cozy, dengan view yang subhanallah banget aja, mereka punya loh. Daaan, harganya enggak bisa dibilang murce, sodara-sodara. Silakan cek langsung di twitter-nya yaaa…
Apalagi kalau kita lihat akselerasi pembangunan di kota Angling Dharmo ini. Widih. Bakal terkiwir-kiwir! Daaaan, saya makin terpukau dengan adanya Batik Bojonegoro. Hohoho. Salah satu pemain yang lumayan eksis di batik Bojonegoro ini adalah, adik kelas saya di Unair. Namanya, Arifin Nachnudin.
Naluri bisnis doi kian terasah setelah ia hijrah ke Bojonegoro awal tahun 2010. Bapak berputra 3 ini mulai mengendus potensi usaha yang amat gurih dalam industri batik. ”Waktu itu, masih belum banyak yang bermain di bisnis batik Bojonegoro. Bismillah, saya memberanikan diri untuk terjun di dunia usaha batik ini,” ucap Arifin.
Dengan segenap hati, Arifin menjalankan roda bisnis ini. Ia mulai dengan memperluas wawasan seputar filosofi beragam motif batik. Rupanya, tiap motif menyimpan histori dan filosofi yang amat menarik. Penuh semangat, Arifin berkisah seputar motif batik yang diproduksi di workshop sekaligus gerai tempat ia berjualan.
Ada 9 (sembilan) Motif Batik Jonegoroan. Di antaranya, Sata Ganda Wangi. Soal filosofi motif batik, Arifin siap menjelaskan pada para pengunjung gerainya. ”Dalam Bahasa Jawa, Sata artinya tembakau, Ganda adalah aroma, Wangi bermakna harum. Sejak dahulu, tembakau menjadi komoditas utama para petani Bojonegoro. Jenis tanahnya yang cocok untuk tanaman ini mengasilkan aroma khas/ harum yang berbeda dari daerah lain. Diharapkan, nama Bojonegoro menjadi harum dan terkenal lewat tembakau sebagai salah satu potensinya,” ucap Arifin.
Motif lain, seperti Pari Sumilak, Parang Dahana Mungal, Jagung Miji Emas, Mliwis Mukti, Gatra Rinonce, Rancak Thengul, Parang Lembu Sekar Rinambat dan Sekar Jati juga punya cerita masing-masing. Supaya pengunjung kian terpikat dengan batik khas Bojonegoro, Arifin rajin mengedukasi lewat pemaparan makna tiap motif. Setiap ada event pameran kerjasama dengan Dewan Kerajinan DaDekranasda, Arifin tak lupa ikut serta. Termasuk saat ada exhibition “Canting Indonesia” di Singapura. Arifin bersama produk batiknya ikut berpameran di sana. ”Tujuannya supaya kita lebih memperkenalkan produk kebanggaan Indonesia di mata dunia. Saya ambil banyak pelajaran dari event tersebut. Tentu, kami harus lebih banyak melakukan improvement di bidang packaging (kemasan) dan kualitas produk,” lanjutnya.
Konsumen Arifin tersebar di Bojonegoro, Surabaya, Jakarta plus sejumlah kota besar lainnya di Indonesia. Untuk bisa menyasar berbagai kalangan, Arifin memproduksi batik dengan harga bervariasi. ”Ada batik yang harganya mulai Rp. 50- 60 ribu per potong. Bahkan, ada yang sampai 500 ribu. Biasanya tergantung bahan kain yang dipakai dan motifnya,” imbuh alumnus Unair Surabaya ini.
Dalam mengembangkan usahanya, Arifin didukung karyawan tetap sebanyak 10 orang. Mereka ada yang menggambar, membatik, mencuci hingga penjualan. Ia juga kerap memberikan pelatihan membatik pada warga setempat. Arifin percaya, bahwa istiqomah berbagi ilmu dan berbagi rezeki adalah kunci untuk meraih kemudahan dan keberkahan dalam roda bisnisnya.
Kalau ingin tahu lebih banyak, bisa mampir ke: Griya Batik Jonegoroan, alamatnya di Jl Teuku Umar 12 Bojonegoro.
Pokoke, Bojonegoro pancen matooohh!