Ada Apa dengan Cintamu, Wahai Ibu?

Tidak banyak air mata yang tumpah. Kendati tersendat, perempuan itu masih tetap sanggup berujar. Pilu membaluri hatinya, tapi ia tak kenal kata rapuh. Apalagi putus asa. Atau, menyalahkan takdir Tuhan. Dalam sebuah tragedi yang amat menyesakkan, berulang-ulang, ia sibuk mengucapkan mantra, ”Sabar… sabar… yang ikhlas… insyaAllah Bapak masuk surga…”

Tangisku pecah.

“Relakan Bapak pergi ya Nak… InsyaAllah Bapak masuk surga, dan ia akan bahagia berada di sana…”

Ibu berucap dengan suara bergetar. Seolah menahan air mata yang nyaris tumpah, Ibu memagari dirinya dengan ketegaran yang mengerikan.

Aku—si anak kecil berusia 10 tahun—tak henti-hentinya tergugu. Menangis dalam jeri.

Bapakku meninggal. Tak lagi bernyawa. Bapakku, tulang punggung keluarga kami, sekarang sudah tidak hidup lagi. Tak ada lagi, manusia ganteng, lucu, sabar, yang akan membawakan seplastik pisang goreng setiap sore. Yang memanggilku dengan bumbu sayang tak terbilang, ”Deeek, iki Bapak nggowo pisang goreng isih anget.” (Dik, ini Bapak membawa pisang goreng masih hangat).

Lalu, aku menghambur ke pelukannya. Bau badan Bapak yang masih terpanggang matahari, itu adalah parfum ternikmat yang aku rasai. Lalu, Ibu ikut nimbrung, sembari membawakan teh manis yang masih mengepul. Kalau kau tanya dimanakah aku berada, maka aku akan menjawab, inilah surga. Sebuah surga yang demikian indah, walaupun sederhana.

Dan, 16 April 1991, dinding surgaku bolong. Ada satu makhluk yang tak lagi berkontribusi dalam semarak surga kami. Lagi-lagi, aku melolong. Aku belum siap. Sungguh, kalau boleh memilih, aku lebih suka aku saja yang mati duluan. Jangan Bapakku. Jangan pria ganteng, baik, lucu itu.

“Bapak… bangun Pak… Aku setelkan lagu kesukaan kita Pak… “ aku—si bocah kelas 4 SD kala itu—membawa sebuah radio tape bermerek Sony, yang siap memutarkan lagu Bimbo. Kesukaan Bapak dan aku, apalagi kalau bukan Aisyah adinda kita. ”Bapak, bangun Pak… kita nyanyi lagi Pak…”

Surgaku kini tak sama lagi.

***

Ibuku bagai batu karang. Sekeras apapun badai yang mengoyak, ia tetap tegar. Kepergian Bapak di usia amat muda—44 tahun—sama sekali tak membuat ia menjadi pribadi yang lunglai. Justru, ibuku tampil sebagai superhero. Pahlawan sejati bagi aku dan abangku.

images

Ibuku tak sempat bersedih. Ia gembok rapat-rapat stok duka dalam dada. Ia coret jauh-jauh kosakata “Mengapa harus suami saya?” Ia menutup pintu kerapuhan, lalu melangkah mantap, demi mewujudkan masa depan bagi kami, kedua buah hatinya.

Maka, kalau ada yang bertanya siapa perempuan terkuat di dunia, tentu aku jawab dengan lantang: Ibuku. Tak pernah kudengar sepenggal keluhan yang terlontar dari bibirnya. Duka-nestapa separah apapun senantiasa ia telan sendirian.

Tak pernah kulihat bias lara di mata indahnya. Mata itu selalu pancarkan inspirasi sekaligus motivasi­­ untuk mau berbuat kebaikan dari hari-ke-hari. Ibu hadir untuk menguatkan jiwa. Ibu hadir membawa sekeping optimisme, berbalur rasa syukur yang tak kenal kata udzur.

”Sabar ya Nak… insyaAllah, setiap peristiwa yang kita alami, sepahit apapun, yakinlah, bahwa Allah PASTI memberikan yang terbaik untuk kita…”

***

Sebagaimana kisah-kisah para Nabi dan wali, yang selalu mendapat cobaan dalam hidup; maka begitulah aku menganalogikan kehidupan Ibu.

Pasca berpulangnya Bapak, hantaman cobaan seolah enggan hengkang. Mulai masalah finansial, yang membuat Ibu harus jumpalitan menambal kekurangan di sana-sini.

Sepulang mengajar—ibuku adalah guru—beliau harus pergi kulakan ke Pasar Turi. Beraneka alat masak pecah belah, sprei, baju, daster selalu ia bawa pulang, untuk kemudian dijual secara kredit ke tetangga.

Wajahnya memang penuh peluh, toh Ibu tak mau berkubang dalam keluh. Dan kau tahu, apa stigma yang melekat pada janda? Walaupun itu janda karena suaminya meninggal? Yang aku tahu, ada beberapa pasang mata yang menghadiahkan tatapan tidak suka. Janda. Ke sana ke mari bawa dagangan. Ada yang membeli karena ingin, ada yang karena kasihan, ada yang lantaran terpaksa.

Yang bikin sebal, beberapa customer Ibu terjerat “kredit macet”. Apa boleh buat, Ibu memang tak piawai berdebat. Dengan senyum simpul, Ibu membiarkan piutangnya berubah jadi sedekah.

Aku—yang memang bakat protes—menganggap apa yang Ibu lakukan sebagai tindakan “aneh” “menggelikan” “tak masuk akal”. Ibu kan jualan, jadi rugi dong kalau begini terus?

“Nggak papa. Allah tak pernah tidur. Pasti kita akan dapat ganti yang lebih baik,” begitu ucap Ibu, sembari mengelus-elus rambutku.

***

Mom_Quotes-Images_LikeLoveQuotes_SMS_Sayings_Messages_ImageQuotes

“Adik mau nggak, kalau punya Bapak lagi?” Seorang tante menanyaiku pada suatu pagi.

Bapak? Bapak tiri, maksudnya? Tidak. Bapakku cuma satu. Bapakku sudah di surga. Aku tidak mau punya Bapak jilid dua.

Sebenarnya, kalau mau, Ibuku sangat bisa menikah lagi. Beliau masih terbilang muda ketika menjanda. Pun, tidak sedikit pria—berstatus bujang ataupun duda—yang naga-naganya memang ingin menjadi bapak sambung. Tapi, ibuku bergeming.

Ada apa dengan cintamu, wahai Ibu?

Terkadang, aku merasa bersalah karena jangan-jangan aku yang membuat Ibu tak mau menikah lagi?

Tapi, rupanya Ibu bisa menjawab risau yang aku rasa. Ia punya satu cinta nan agung, yang ia persembahkan hanya pada bapakku. Maka, ketika bapak berkalang tanah, cinta itu ikut terkubur di sana. Bersemayam dalam jasad yang fana. Barangkali, cinta itu akan kembali menemukan mahkotanya, di surga firdaus. Kelak. Entah kapan.

***

Aku selalu ingat setiap serpihan kalimat yang meluncur dari Ibu. Segumpal kata yang sarat makna. Seutas diksi yang membekas di hati. Setiap melihat sorot matanya, yang begitu tangguh dan berani—kalau tak boleh dibilang nekad—nyaliku langsung bangkit. Tak mau aku jadi pecundang, yang terus merutuki nasib. Tak rela aku jadi perempuan menye-menye, yang gampang terperosok dalam sedih tak berujung. Aku mau TEGAR. Aku ingin BANGKIT.

“Kalau saat ayah meninggal, ibu menangis kencang, barangkali saat ini aku tumbuh menjadi perempuan yang rapuh.”

Suatu sore yang cerah. Seperti biasa, kami minum teh, sambil menikmati jajan pasar. Berdua. Hanya aku dan dia.

“Kenapa begitu?”

“Ya, karena Ibu adalah role model buatku. Ibu itu panutanku, pahlawanku. Waktu itu, aku mau nangis dan protes sama Tuhan. Aku benci banget dengan kenyataan bahwa ayah meninggal. Kenapa ayahku yang begitu baik malah meninggal? Kenapa bukan orang jahat saja yang meninggal duluan? Ayah umurnya kan masih 44? Kenapa aku yang masih sekecil itu malah dibikin nggak punya ayah? Tapi, gara-gara lihat Ibu, aku malu kalau nangis. Wong Ibu nggak nangis, ya sudah, aku juga brenti deh, nangisnya.”

Setengah dipaksa, bibir Ibu mengukir senyum. ”Kamu ini bisaaaa aja!”

Pada akhirnya, aku belajar, bahwa untuk survive dalam menjalani hidup, kita hanya perlu berbekal syukur dalam volume yang tak berhingga. Agar kita punya hati dan kesabaran seluas samudera. Dan itu semua, kupelajari dari ibuku.

Laa Tahzan. Innallaha ma’ana…

Jangan sedih. Sesungguhnya Allah bersama kita.

Mantra itu yang membuat ibu kuat.

Mantra itu yang membuat cinta kami kian rekat.

Mantra itu yang menjadikan hati Ibu begitu luas…. Seluas samudera….

I love you mom. I love you to the moon and back.

 

 

Advertisement

Author: @nurulrahma

aku bukan bocah biasa. aku luar biasa

73 thoughts on “Ada Apa dengan Cintamu, Wahai Ibu?”

  1. Mbakyuuuu. Susah ini ngetiknya sambil nangis. Subhanallaah. salam damel ibune njenengan nggih. Salam hormat dan semoga beliau dan njenengan sekeluarga dikaruniai kesehatan. Sukses kontesnya..

  2. Ibu seorang wanita yg selalu dan akan tampak tegar & kuat dibalik kelembutan hatinya…selalu menjadi panutan utk buah hatinya… salam utk Ibunya ya mbak…Sukses GA-nya

  3. Wanita di balik kelemahannya tersembunyi kekuatannya. Terasa sekali setelah jadi ibu memang kita kuat karena anak2 kita. ga jauh2 ketika suami sakit aja, saya harus jadi orang kuat biar anak2 juga keurus hiks..

  4. ya, ibu memang tokoh yang selalu membuat kita ingin kembali dalam pelukannya walau sudah hidup berjauhan, tapi kemabli pada ibu sesuatu yang selalu memberikan kebahagiaan tersendiri

  5. aku gk kuat mau nerusin mbacanya mbak, drpd mewek di kantor hihihii (ini kerja kok malah bw) #mintaditoyooor :))

    btw selamat menjelang hari Ibu ya mbak Nurul, smoga selalu menjadi Ibu tangguh untuk keluarga aamiin ya Rabb

    semoga yang belum menjadi Ibu, disegerakan (ini lagi malah nitip doa) hihihi aamiin ya Rabb

    1. Kalo lagi stuck ama kerjaan, daku juga hobi BW kok mak. Biar enggak ngantuk, hihi *alesaaan*

      Wah, sama2 mendoakan mak. Daku juga baru punya anak satu. Sidqi pengin punya adik katanya

    1. Mak, aku penasaran deh. mak Leyla Hana itu sama dengan Mak Leyla Imtichanah? Soalnya, kapan hari, waktu beres2 lemari kamar, aku nemu buku tentang ibunda gitu… Salah satu penulisnya mak Leyla Imtichanah.

      Is it you?

  6. Ceritanya begitu mengalir, bisa membawa pembaca menyelami perasaan mbak…begitu pun saya..hiks..hiks…Ibu begitu luar biasa ya mbak, tangguh dan yang terpenting bisa jadi contoh buat anaknya. Juga begitu menginspirasi, salam buat ibunya ya mbak…oh ya salam kenal mbak..:D

  7. mbak Nuruuuul…
    aku terharuuuuu…
    dan mendadak jadi teringat dan kangen dengan Almarhum Mama ku 😦

    Mama ku pun menjadi janda di usia muda, dan harus kerja buat menghidupiku juga..
    so I do understand what you mean deh …

    Salam hormat buat ibunda mbak Nurul yang super tangguh itu yah mbak 🙂

    1. Bibiiii…

      Ikutan GA ini juga yuk.
      Yakin banget deh, almarhumah mamanya Bibi pasti perempuan yang luar biasa punya hati nan menyejukkan.

      Semoga doa2 kita bisa memberikan kavling surga untuk semua orangtua kita, baik yang sudah berpulang, maupun yang masih menemani hidup kita.

    1. Siyaaapp, segera meluncur :))

      Aku kayaknya udah pernah baca postingan yang ini, yang tentang Mamahnya Mak Erry yang harus jd single parent pas muda banget kan ya?

      Tapi aku HARUS baca lagi, sebagai mood-booster pagi ini :))

  8. Salam kenal ya mbak.. subhanallah.. saya specchles bacanya mbak.
    ibu yang sangat luar biasa.. dan saya jadi tambah kangen dengan ibu saya juga.
    titip salam buat ibu ya mbak 🙂

  9. Jadi inget emak di kampung yg dua tahun lalu meninggalkan kami diatas sajadahnya. Sayangnya saya belum bisa menceritakan cinta & kekaguman pada beliau dgn bahasa yg indah spti mbak. Mmg bocah yang luar biasa 🙂

  10. Nuruuuul.. lama ga bersentuhan dg fb dan hp mati, kini aku menemukanmu lg.
    Time flies, people change, but you. You’re still the one. Nurul yg sgt lincah memadu segala vocabs, dr penjuru bahasa, mo bahasa gaul, bahasa religi, bahasa EYD, apa aja km bisa.
    Spt saat kita kuliah dulu, ga berubah, aku selalu mengagumi setiap tulisanmu dan kejutan-kejutan di dalamnya 😀

    Dan pagi ini air mataku menitik berselancar di blogmu utk pertama kalinya. Ibu memang 3 huruf yg selalu membuat kita haru. Untuk segala yg diteladankan pd kita.

    Gudlak tu ur blog. Passion km yg satu ini, aku yakin, sgt banyak membawa manfaat bg umat. IGB di majalah NH aku jg selalu baca hahaaa nurul bingits itu mah..

    Miss u

    1. Anggaaaaa….. :))
      I miss you much much much much mooreeee **diucapin ala Bastian–Tetangga Masa Gitu**

      Kapan hari aku ke SDA. Kamunya gak ada. Aku telpon syusyeeeehhh banget. Kapan yuks ketemuan? Call me anytime yak.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: