Tentang Merantau

MERANTAU

Merantaulah …

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman

Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Merantaulah …

Kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan

Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa

Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang

Kayu gaharu  tak ubahnya seperti kayu biasa Jika di dalam hutan

(Syair Imam Syafi’i)

Saya baca syair Imam Syafi’i yang termaktub di novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi.

Kali pertama membaca, rasanya MAK DHEG! Oalaah, ini tho motivasi yang harus menghunjam dalam jiwa para perantau! Agak sedikit nyesel, karena sepanjang perjalanan sejarah menempuh ilmu di bangku sekolah, mulai TK sampai kuliah, saya habiskan di Surabaya melulu. TK dan SD Islam Kyai Amin, SMPN 17, SMAN 16, (sempat setahun di) ITS, lulus kuliah dari Unair. Semuanya Surabaya.

Padahal, tatkala lulus SMA, sempat tebersit dalam benak untuk kuliah di Bandung. Kenapa? Ya itu tadi. Saya ingin merasakan sensasi jadi anak rantau. Kalau nggak keliru, di UNPAD Bandung, ada jurusan Psikologi, dan ini masuk IPA, bukan IPS. Beda dengan jurusan Psikologi di kampus lain. Saya ngobrol dengan Ibu perihal planning ini. Ibu (seingat saya) datar-datar saja, tidak antusias, tapi juga tidak menunjukkan penolakan.

Di lubuk hati terdalam, sungguh, saya ingin menjadi mahasiswi perantau. Toh, Bandung masih di Pulau Jawa. Jadi, kalau mau mudik ke Surabaya, ongkosnya nggak mahal-mahal amat. Banyak moda transportasi yang bisa jadi pilihan. Selain itu, saya juga punya sanak family di Bandung. Sepupu almarhum Ayah saya, dan berkuliah di Bandung bisa jadi sarana untuk mempererat silaturahim.

Saya tuliskan SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) apabila opsi merantau ke Bandung ini diambil. Lalu…. Saya coba berkontemplasi. Ibu saya adalah single parent. Anaknya hanya dua. Satu laki, satu perempuan. Andaikata saya ke luar kota, siapa yang menemani Ibu di hari-hari senjanya? Yah, kakak saya kan laki. Pasti lebih banyak nongkrong ama teman genk-nya. Kasihan kalau Ibu nggak punya teman bicara.

Apalagi, setelah dihitung-hitung, biaya hidup dan sebagainya tentu tidaklah murah. Ibu berprofesi sebagai guru SMA, dengan penghasilan yang tidak WOW. Uang pensiun Bapak juga tidak banyak. Aaahh, galau kan?

Walhasil, saya ber-istikhoroh dengan sungguh-sungguh, dan….. untuk saat ini, belum saatnya saya merantau. Sabar, Nurul. Sabar.

***

Medio 2007

“Nurul, departemen Media Relations semuanya akan pindah ke Jakarta. Jadi, mulai sekarang, kamu siap-siap ya, untuk mutasi ke Jakarta.”

JRENG! Peluang untuk merantau datang lagi! Kali ini saya sedang mengemban tugas sebagai Media Relations Officer di salah satu perusahaan multinasional. Kantor pusatnya (awalnya) di Surabaya. Tapiii perusahaan ini berafiliasi dengan korporasi di Swiss. Dan kita semua tentu mafhum bahwa Jakarta adalah sentra aneka tindak-tanduk plus keputusan bisnis di Indonesia dan skala internasional.

Aahhh… merantau ke Jakarta. Terdengar indah, karena gimanapun juga, saya mengidamkan untuk dapat label “perantau”. Setiap pegawai yang mutasi di Jakarta akan dapat allowance alias “uang saku” dalam nominal yang lumayan. Bisa untuk sewa apartemen dengan bermodalkan SITUS PROPERTI yang kredibel.

Sungguh…. Saya MAU BANGET!

Kemudian, lagi-lagi saya berkontemplasi. Di tahun 2007 ini, saya punya Sidqi, bayi berumur 8 bulan. Bayi yang amat kerap saya tinggal, demi urusan pekerjaan. Ketika lagi business trip, Sidqi sama Uti (ibu saya) dan ART. Kalau saya pindah ke Jakarta, lantas, siapa yang akan merawat Sidqi selama saya kerja?

Selain itu, suami saya juga berkantor di Madiun, Jawa Timur. Selama ini, kami LDR (Long Dinstace Relationship) dengan jarak yang tak terlampau jauh, karena Surabaya dan Madiun kan sama-sama di Jatim.

Apabila saya menerima tawaran untuk pindah ke Jakarta, itu artinya…. Kami bakal menjadi Longer Distance Relationship? Waduh waduh….

Lagi-lagi saya ber-istikhoroh. Peluang merantau yang sungguh menjanjikan banyak hal. Karir yang meningkat. Gaji, remunerasi, pengalaman kerja, arghh….

Kalau saja….. kalau saja…… tawaran untuk pindah itu singgah Ketika saya masih single, available… barangkali tidak akan serumit ini.

Kali ini istikhoroh saya berujung hal yang amat berat: Saya batal mutasi sekaligus resign dari perusahaan tersebut. Banyaaaak banget yang menyayangkan keputusan ini. Tapi, ya sudahlah. Terkadang hidup memang berjalan tidak sesuai perkiraan kita. Keputusan yang (mungkin) terkesan bodoh, namun boleh jadi, membawa banyak hikmah di dalamnya. Kita tidak tahu… Tidak pernah tahu, pelajaran yang terkandung dalam sebuah opsi yang kita ambil.

Nanti.

Nanti bakal tahu sendiri.

***

Akhir 2016

Ibu mengerang kesakitan. Beliau terus memegang dadanya seraya berucap, “Lailaha illa Anta subhanaka inni kuntu minadhdhalimin

Aku merapalkan aneka surat pendek yang tersimpan di laci ingatan. Sembari mengusap-usap tangan beliau. Tangan yang mulai ditumbuhi keriput…. Tangan yang dulu merawatku, mendidikku, memasakkan menu terbaik untukku, mengajari sholat, ambil wudhu, mengaji, tangan yang selalu bergandengan denganku tatkala menuju Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, tangan yang sigap mengambilkan air zamzam dan mengoleskan ke hidung Ketika aku mimisan…. Tangan yang begitu lembut sekaligus kokoh. Tangan yang menggoreskan pesan,”Saya single parent dan tidak kenal menyerah!”

“Sebentar lagi minum obat ya, Bu?”

Kanker paru ini menerobos benteng pertahanan beliau. Tak ada lagi gurat optimisme yang selama ini terus menguar dari kedua bola matanya. Ibu semakin lemah. Kanker stadium 4 membuat sang Nenek lincah, telah 180 derajat berubah.

Satu hal yang saya syukuri: Saya batal merantau. Tak terbayangkan apa jadinya kalau saya tinggal di kota/negara yang berjauhan dengan Ibunda. Siapa yang menunggu dan menemani beliau dalam sakitnya? Siapa yang membacakan Al-Qur’an untuk ia? Siapa yang menyuapkan makanan dan aneka obat? Siapa yang memanggilkan dokter, suster, yang berkoordinasi dengan Kalgen dan minta hasil tes biopsi dan lain-lainnya?

Ini hikmah yang baru saya sadari belakangan ini. Ya, memang benar, saya kehilangan banyak kesempatan-peluang (dan termasuk UANG) manakala memutuskan untuk tidak merantau. Tapi, saya tidak kehilangan kesempatan untuk menemani Ibu di hari-hari terakhir beliau. Menyisir rambutnya yang memutih, membersihkan kotoran tubuhnya, menggantikan bajunya yang basah, termasuk memandikan beliau tatkala sudah menjadi jenazah.

Dalam hidup, kita memang tidak bisa dapat SEMUA yang kita inginkan. You win some, you lose some.

Advertisement

Author: @nurulrahma

aku bukan bocah biasa. aku luar biasa

39 thoughts on “Tentang Merantau”

  1. Masya Allah smoga dikumpulkan kembali di surgaNya.amiin
    Keputusan yg tepat mbaaa.. waktu nenekku sakit, mamaku bilang, puas mendampingi sampai akhir hayat nenek..

  2. Masya Allah, terharu bacanya. Kesempatan dan uang nggak sebanding dengan membersamai orangtua di hari2 terakhirnya.. jadi inget bapak ibu nun jauh disana. Meski ada adek yg menemani, tapi sering kepikiran juga sama bapak ibu yg udah makin sepuh 😦

  3. Aku dulu ingin merantau ke lain kota. Tapi karena perempuan, terhalang restu deh. Padahal ya mau banyakin pengalaman. Nanti kalau punya anak, mau kusuruh merantau, sekolah, nyari ilmu banyak-banyak

  4. Terkadang impian kita harus dikalahkan dengan sesuatu yang baru kita sadari jauh lebih berharga dari impian tersebut. Kita nggak pernah tahu rahasia dari setiap rencana Tuhan untuk umat-Nya. Mengenang ibunda, tentu ada rasa kehilangan tapi juga hikmah bahwa karena Mbak Nurul ada di saat-saat terakhir beliau.

  5. Sebagai anak yg masih mersnrsu namun anak kedua terakhir dan suami anak terakhir, hal2 seperti ini tuh memang selalu bikin galau ya Mbak.

    Suka bgt sama quote nya, some win some lose, semoga apapun tetap kedapatan berkahnya yaaa Mbak Nurul.

    Ghinarahmatika.com

  6. Merantau memang memberi nilai lebih pada kemandirian dan juga kebebasan kita dalam mengambil keputusan. Banyak benefit yang di dapat dari kita apabila merantau. Hanya saja keadaan memang belum tentu mendukung, dan aku bahagia mbak bisa memilih yang terbaik untuk stay nemani ortu yang membutuhkan mbak 🙂

  7. Merantau emang asik tapi lebih asik lg hidup bersama keluarga yg dicinta, apalagi ibu lg sakit. Kata ortuku, kalo merawat ortu sepenuh hati nantinya akan sukses karena anak yg sukses itu yg berbakti ma ortunya. Salut ma pilihannya kak

  8. MasyaAllah Mb Nurul, bakti pada ortu lebih dipilih daripada merantau, semoga Allah mudahkan hidup Mb Nurul, Aamiin ya Rabb, berlimpah keberkahan

  9. Membaca bag terakgir membuatku menangis. Ya Allah..begitu banyak hikmah dlm setiap kejadian / keputusan yg telah kita ambil. Allah telah menetapkan yg terbaik bagi kita ya mba.. Masya Allah..

  10. Aku dulu sempat kepikiran merantau di Jakarta waktu cari kerja, tapi dikasihnya di Bandung lagi. Haha. Ini pun sebenernya aku pengen banget merantau dan slow living di Bali mbak. Tapi gatau deh ntar gimana, masih pandemi juga. Semua balik lagi sama yang maha mengatur.

  11. you win some, you lose some.
    aih bener banget ini mbak..

    jadi ingat saat pindah ke Lombok dari yang sebelumnya tinggal di Makassar. Senang sekali karena bisa dapat suasana yang masih asri, udara masih segar, minim polusi. Gak macet pula seperti di Makassar.. But, i lose some. Kuliner Makassar yang enakenak dan kegiatankegiatan seru di Makassar 😦

  12. Mba yang sabar ya, Allah pasti mengetahui apa yang kamu rasakan.
    Aku jadi kangen ibuk. aku pengen ngromat beliau juga tapi apalah daya aku harus ikut suami dan ada mertua di rumah juga yang keduanya udah sepuh.

  13. Kaaaaakk Nuruuull…
    Nangis aku bacanya.

    MashaAllah~
    Semoga Allah yang membalas dan kisahnya bisa menjadi pelajaran bagi siapa saja.

    Aku juga dari kecil sampai lulus kuliah deket sama orangtua terus. Alhamdulillah, dapat suami yang sudah domisili Bandung, tapi sama-sama dari Surabaya. Ya Allah….sedih tapi kalau dengar ada keluarga sakit.

    Kaya ini kemarin, dapet foto…adik sakit dan harus di infus.

    Semoga Allah mudahkan lancarkan rejeki anak-anak sholih sholiha.
    Aamiin~

    1. Saat ini…giliran adikku yang dihadapkan pada pilihan, merantau atau tetap di Surabaya.
      Tapi Allah Maha Tahu Segalanya.
      Semoga Allah berikan petunjuk dan jalan yang baik untuknya.

  14. Wah baca ini jadi nyesel deh dulu ga merantau juga pas kuliah. Padahal kalo dipikir pikir, merantau punya banyak manfaat juga untuk perkembangan diri sendiri ya.. Makasi sharingnyanya ya maaak

  15. Saya gak pernah merasakan merantau, huhuh. Padahal ingin banget merantau, merasakan jauh dari keluarga yah, hidup mandiri.

  16. Masya Allah .. terharu banget sampai di sini Mak saya kehilangan banyak kesempatan-peluang (dan termasuk UANG) manakala memutuskan untuk tidak merantau. Tapi, saya tidak kehilangan kesempatan untuk menemani Ibu di hari-hari terakhir beliau.
    Betul banget, tepat keputusan Mak Nurul saat ini. Saya bertemu banyak orang yang sukses di rantau namun kemudian pulang ke SUlawesi untuk orang tua mereka. In syaa Allah berkah.

  17. Dalam hidup ini kita selalu dihadapkan pada pilihanpilihan ya mbak.. Betul sekali, ketika memilih satu hal, maka kita akan kehilangan yang lain. Insya Allah keputusan mbak sudah tepat :)) Memilih tetap berada di sisi orangtua 🙂

  18. Saya termasuk anak yang ngotot nggak mau tinggal di kota kelahiran selulus kuliah. Bahkan sampai kini juga masih berpindah2 kota. Di satu sisi memang ada harga yang harus dibayar, yakni jauh dari orangtua.
    Bersyukurnya, ada saudara kandung yang masih dekat dengan orangtua. Komunikasi juga makin lancar dengan adanya internet (yah, meski tetap beda dengan komunikasi langsung sih). Mak Nurul benar, you win some, you lose some, tinggal bagaimana berdamai dengan itu

  19. Alhamdulillah bisa menemani ibu sampai akhir hayatnya ya mba, berkah terindah
    Dulu saya juga pengen kuliah di bandung tapi orangtua gak ngijinin, selalu ada hikmah, walau menyadarinya lebih seringnya belakangan

  20. Hidup memang kadang penuh dengan dilema. Namun apapun yang menjadi pilihan, semoga itu yang terbaik. Kadang kita harus ikhlas melepaskan satu kesempatan demi pilihan kita yang mungkin jauh dari harapan, namun percayalah dibalik semua itu pasti akan selalu ada rencana yang indah yang kita tak pernah tahu sebelumnya 🙂

  21. Huaa aq malah ga pingin merantau. Sekali nya merantau 2 bulan karena kerja praktik pas kuliah, itupun sebulan sekali pulang trs sakit deh. Merantau kedua kali krn ikut suami yg kerja di Jakarta. Aq sempat kerja juga di Jakarta, padahal seumur2 menghindari Jakarta buat kerja. Tapi ya memang ga ada yg tahu takdir hidup ya

  22. Sebenarnya merantau itu kita akan banyak mendapat pengalaman ya. Tapi kalau berhadapan dengan orangtua, sepertinya money is not everything, money can’t buy time ya. Insyallah keputusan yg diambil saat ini sudah tepat ya. Krn sebisa mungkin jika ada waktu kita sempatkan untuk berbakti kepada orgtua.

  23. Mbak Nurul… Hiks. Siapapun akan merasa berat ya ketika dihadapkan pada dilema besar seperti itu. Tapi aku yakin keputusan mb Nurul tepat. Jangan pernah menyesal ya, Mbak.
    Sidqi dan ibu adalah orang-orang tersayang yang insyaa Allah merupakan sumber keberkahan hidup mb Nurul saat ini.
    Pelukkkk Mbak Nurul ❤️

  24. Itulah pilihan hidup ya mba, apapun pilihan hidup harus disyukuri dan yakin bahwa pilihan kita yang terbaik, mbaknya beruntung banget bisa bersama ibu hingga akhir hayatnya.. sedang aku, pilihan untuk merantau membuat saya tidak berada disisi ibunda saat beliau meninggalkan dunia ini

  25. Sedihh.. keinginan mbak utk merantau sama kaya aku. dann.. gak jadi jugaa.. tapi masih punya cita-cita sihh.. alfatihah untuk ibunyaa.

  26. Sama banget mbak, saya dari tk sampai kuliah di bandung terus… Pas s2 ditawarin pindah ke program double degree di belanda, tapi malah nolak… Masih suka nyesel, tp ya udahlah pasti ada hikmahnya…

  27. Huhu bener ada yang dikorbankan utk dapat sesuatu. Khususnya soal impian pribadi atau keinginan keluarga.
    So far aku suka merantau jauh dr tanah kelahiranku mbak Nurul huhu. Kmrn liat film Natalan bikin merenung juga sih ya…

  28. Dulu ..aku juga merantau di awal tahun 2000 ke Jakarta…pengennya setelah kuliah kerja disana…tapi ibu sakit..dan aku harus merawatnya…
    Insya Allah..Ada hikmah di setiap kejadian..tak ada amal yg sia-sia.

  29. Mba Nurul, keputusan yang di ambil insyaAllah inilah yang terbaik. Aku sejak dulu nggak ada bayang bayangan akan merantau atau apa. Tapi tiba2 harus menjadi pengungsi dan kemudian merantau semakin jauh

  30. InsyaAllah akan ada balasan setimpal dari Allah atas peluang yang terlewat ya Mba. Bisa mengurus orang tua di hari ruanya tuh sungguh gak akan bisa tergantukan lagi. Karena ketika mereka tiada, gak akan datang lagi kesempatan untuk merawat mereka.

  31. Mba..hatiku merembes baca tentang ibu yang kian rapuh. Semoga Allah berkahi dengan kesehatan dan kesembuhan.
    Soal merantau, aku juga sempat terbesit ingin demikian. Tapi entah selalu saja ada keraguan dan beberapa kejadian yang akhirnya mengikis keinginan itu.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: