Rokok Harus Mahal, Solusi agar Masyarakat Miskin tidak Kecanduan Rokok

Di antrean Perpanjangan SIM hari ini

Baju lusuh, berpadu dengan rambut gondrong yang dikuncir seadanya. Bolak-balik, Bapak berusia separuh baya itu menghisap rokoknya, dengan penuh penjiwaan.

“Bapak Santoso!”

Petugas SIM Keliling memanggil namanya. Buru-buru rokok yang tinggal seuprit itu ia matikan. Lalu beranjak ke meja petugas.

“Bapak pekerjaannya apa?”

“Swasta, Pak. Saya sopir angkot.”

 

***

Suatu sore, di rumah saya

Ada famili, yang berprofesi sebagai sopir ojek online, dia memasang raut muka melas. Pinjam uang 50 ribu saja.

“Buat apa?”

“Beli bensin.  Uang dari ngojek nggak cukup.”

“Kok bisa nggak cukup?”

“Iya, sekarang aturannya makin ketat. Makanya, komisi sering nggak cair.”

“Buat beli bensin, ngakunya nggak ada uang. Tapi kok, buat beli rokok malah ada duitnya ya? Kok bisa?”

***

Aku nggak habis pikir dengan kalangan (sorry to say) menengah ke bawah yang kudeskripsikan di atas.

Mereka ini masuk kategori miskin. Pendapatannya sama sekali tidak wow. Bukannya mengalokasikan rupiah untuk kebutuhan yang primer, para dhuafa ini justru “membakar” duitnya dengan beli rokok.

Rokok ini memang selalu menyulut dilemma. Siapapun setuju dengan aneka akibat negative yang ditimbulkan rokok, sampai di bungkus rokok pun tertera kalimat yang menohok “ROKOK MEMBUNUHMU”

Tapi entah mengapa produk ini semakin diblejeti aneka sisi negatifnya, orang-orang seakan tak mau ambil pusing.

Apa solusi yang paling cespleng untuk mengatasi hal ini?

Bagaimana mengatasi anak-anak yang kian addicted terhadap rokok?

Bagaimana mengupayakan agar rokok tidak membuat kaum dhuafa ketagihan dan justru menggerogoti finansial mereka?

Apakah industri rokok di bumi pertiwi memang harus dibumihanguskan?

***

Saya sempat mengikuti Talk Show serial #RokokHarusMahal Ruang Publik KBR. Perbincangan ini juga bisa disimak lewat 100 radio jaringan KBR.  

Ada Beberapa poin menarik terkait rokok, yang di-share oleh narasumber.

 ROKOK HARUS MAHAL-All

Serial Rokok Harus Mahal diselenggarakan untuk mengingatkan harga rokok yang murah membuat konsumsi rokok makin tak terkendali, termasuk pada anak-anak dan keluarga miskin.

Tema diskusi kali  ini  Lindungi Anak Indonesia, Rokok Harus Mahal”. Tema ini sekaligus untuk memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli.

Adapun Narasumbernya adalah:

  1. Dr Santi Martini,dr. M Kes– Wakil Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
  2. Lisda Sundari— Ketua Yayasan Lentera Anak Indonesia
  3. Dr Sophiati Sutjahjani, M Kes —Ketua Majelis Kesehatan Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur

 

Yang kita harus tahu kenapa rokok harus mahal, karena yang kita lihat itu anak – anak bisa menjangkau rokok , karena harganya dengan uang saku mereka, gak cuma SD bahkan TK pun mungkin ya kalau dikasih uang 2 ribu pergi ke warung di dekat sekolahan bisa beli rokok. Nah itulah yang terjadi kenapa kemudian rokok di kalangan anak-anak semakin banyak dan juga semakin muda. Kayaknya mbak Lisda punya catatan panjang soal itu ini, boleh langsung diceritakan mbak?

 

Menurut Lisda Sundari, ”Kondisi anak-anak di Indonesia adalah anak yang belum cukup terlindungi sebenarnya dari hukum, untuk supaya mereka sebenarnya dilindungi dari dampak atau konsumsi rokok. Yayasan Lentera Anak melihat bahwa, salah satu yang menyebabkan prevalansi perokok anak makin meningkat. Karena, keterjangkauan anak-anak terhadap rokok itu sangat leluasa. Kalau kita berbicara keterjangkauan kita berbicara soal keberadaannya, maksudnya ketersediaan rokoknya, kedua harganya yang murah, dan ketiga, kemudahan untuk membelinya. Jadi, siapapun anak-anak di Indonesia itu tidak ada halangan untuk mereka membeli rokok. Kalau datang ke warung punya 2 ribu, dia bisa langsung membeli karena para pedagang pun tidak melarang anak-anak untuk membeli rokok.

 

Berbicara soal harga, ada juga yang masalah iklan yang leluasa, termasuk juga adanya role model yang merokok di sembarang tempat.

Tapi salah satu yang menjadi pemicu, yang menjadi salah satu penyebab, kenapa prevalansi merokok terus meningkat, karena rokok itu mudah dijangkau oleh anak-anak. Kalau misalnya, ada contoh yang mereka lihat, orangtua, Paman atau guru yang merokok, tapi kalau mereka tidak bisa menjangkau rokok, tidak bisa membeli, tidak dijual untuk anak-anak, itu akan sangat menghalangi mereka untuk bisa menjangkaunya, tapi situasi di Indonesia itu sebaliknya. Anak-anak bisa, tersedia sangat banyak, ada miliaran batang, rokok yang diproduksi oleh perusahaan rokok. Kemudian harganya murah, karena mereka bisa membeli dengan harga seribu sampai 2 ribu, bahkan survei yang dilakukan oleh Lentera Anak pada tahun lalu, Industri rokok mempromosikan rokok dengan menyebutkan harganya per batangan. Seribu per batang, atau misalnya 12 ribu per 12 batang. Jadi promosinya sudah promosi harga batangan. Jadi gini, kalau misalnya kita belanja ke suatu tempat, terus kita kesana dengan harganya yang dicantunkan  dengan tempat yang tidak mencantumkan harganya, bisasanya dorongan untuk membeli itu yang ada harganya, karena dia bisa langsung ngukur berapa kantongny, gitu. Itu situasi di Indonesia.