Lumayan ngeri kalau mengikuti perkembangan berita soal internet belakangan ini. Yang cewek kabur diculik temen facebook-lah, yang stress berat setelah di-bully di twitter-lah, banyaaak. Nyaris seluruh masyarakat Indonesia juga diterpa fenomena “penggalauan”. Tak hanya ABG tanggung, mamah muda sampai eyang tua, juga didera rasa yang sama. Kalau ditanya siapa penyebabnya, langsung main tuding tanpa aling-aling: Internet.
Hmm. Seperti yang sering dibicarakan para pakar dan pengamat IT, internet itu bagaikan pisau. Yeah, sebagaimana pisau, ada sisi, kebaikan plus keburukan. Di tangan chef-chef ganteng Masterchef, pisau bisa mereka pakai untuk meramu, mengkreasikan dan pada akhirnya menghidangkan masakan nan mak nyus. *humphf! Buru-buru lap iler* Tapi, di tangan para penjahat, bromocorah, mafia, dan sebagainya, pisau sangat bisa dijadikan sarana efektif untuk menghabisi nyawa target.
So, internet juga begitu. Ada plus, ada minus. Internet itu hanya hamba. Kita-lah tuannya. Kita yang punya peran sangat signifikan, untuk menentukan apakah si hamba bakal bermanfaat untuk tuan, atau justru tuan yang terperosok dalam adiktif amat sangat, dan pada akhirnya menghambakan si hamba.
Nah. Bagaimana dengan anak-anak kita? Bocah-bocah mungil tanpa dosa, yang dilengkapi software keingintahuan dipadu keluguan? Apa kita bisa memberikan “plus”-nya internet buat hidup anak kita?
Tentu! Hanya saja, sebagai orangtua, kita memang harus ekstra hati-hati (bukan paranoid) supaya anak tidak salah langkah dalam bergaul di dunia mobile internet ini.
Anak saya, Sidqi (6,5 tahun) juga sempat membuat saya keliyengan gara-gara internet. Jadi, awal tahun ini, saya menjuarai salah satu kompetisi ibu-ibu di Jakarta. Salah satu hadiahnya, smartphone Samsung Ace Galaxy. Lantaran selama ini hanya bersahabat akrab dengan Nokia jadul, sudah tentu saya senang bukan main. Hari-hari saya habiskan untuk ngutak-ngatik si smartphone ini. Termasuk install beragam program di Google Playstore. Dan, tentu ini berimbas pada anak saya. Dia mulai request bermacam game. Mulai Angry Bird, BMX Race, Ben 10, macam-macam. Daaan, atas nama cinta, saya loloskan SEMUA permintaan dia.
Tragedi dimulai dari sini.
Euforia smartphone baru membuat anak saya menjelma jadi Sidqi yang sama sekali tidak saya kenal sebelumnya.
Yang paling kentara adalah sapaan Sidqi tatkala saya baru pulang kantor. Dulu, Sidqi selalu berceloteh riang, “Ibuuu… asyiik… ibu udah pulang….”
Nah. Begitu saya punya smartphone, sapaan dia adalah, “Ibu. Hari ini download game apa?”
*glek*
HP langsung berpindah tangan. Dan, saya tak lebih dari sekedar “kurir smartphone yang hanya dinantikan keberadaan HP-nya”. Sungguh hina.
Yang agak telat saya sadari adalah, Sidqi menjadi sangat mudah marah setelah rutin nge-game via smartphone. Oh, no! Buru-buru saya coba cek games yang sudah pernah saya download. Ah, ternyata ini games yang memang adiktif banget! Sekali main, selalu ingin coba, coba dan coba terus! Apalagi, kalau kita meleset dikiiit aja, rasanya nyesel dan pengin marah. Astaghfirullah! Pantesan anak saya jadi gampang naik darah. Wong ternyata, emaknya yang membawa games ‘keras’ ini ke rumah.
Setelah tersadar, saya langsung banting setir. Saya bikin aturan yang tidak populer: Sidqi baru boleh main games kalau dia melakukan “prestasi” tertentu. Misal, sudah sholat full 5 waktu sehari-semalam. Atau, makan sendiri. Atau, mandi sendiri. Atau, sudah menambah hafalan surat pendek. Itupun saya jatah: maksimal 1 jam/hari/prestasi.
Dan, yang tidak kalah penting, saya mulai seleksi games apa saja yang boleh dimainkan anak seumuran dia. Yak, sebelum kasih kesempatan gaming, kita harus tahu apa materi game yang disodorkan.
Apa reaksi dia? Tentu saja awalnya Sidqi protes habis-habisan. Tapi, saya tak kurang akal. Selama asyik nge-game, Sidqi jadi kurang sosialisasi. Waduh. Ini cukup gawat. Saya tidak mau ia tumbuh menjadi anak yang egosentris. Walhasil, saya giring Sidqi buat bergaul dengan anak-anak tetangga di sekitar kompleks rumah kami.
No (too much) game, make friends!
Pfff… ternyata beginilah kerempongan menjadi orangtua di era yang serba mobile-internet. Selalu ada pelajaran yang bisa kita petik. Bahwa mencintai anak, bukan berarti memberikan semua yang ia mau. Justru kitalah, para orangtua yang kudu mensortir, apa saja yang boleh dan tidak boleh dimainkan oleh anak. Percayalah, mungkin agak berat di awal, tapi insyaAllah, selama kita yakin mempersembahkan yang terbaik untuk anak, maka Allah akan mempermudah jalan dan usaha kita.
O iya, saya bersama teman illustrator Melaty bikin majalah anak-anak yang mengedukasi supaya anak kita tidak kecanduan games. Majalah ini bisa dibaca anak-anak se-Indonesia, plus bisa jadi sarana ortu dalam menggulirkan saran buat sang buah hati. (*)
makanya saya sebegai bapak memberi jadwal dan peraturan kalo anak udah pegang notbuk. ini harus jadi perhatian orang tua
Betul Bapak Rusydi. Memang, ortu zaman sekarang tantangannya jauh lebih berat. Terima kasih sudah mampir di rumah virtual saya, Bapak.
ilustrasinya keren amat!
Hihi… itu yang bikin temen saya di kantor. Follow twitternya: @melaty_mia