Alhamdulillah, tulisan ini jadi salah satu pemenang hiburan di Kontes Sadar Hati
Suami saya itu penggila filosofi Jawa. Demen banget doi berkutat dengan literatur kuno, lalu menceritakannya ke cah lanang saya dengan segenap jiwa. Mulai kisah Kebo Kanigoro, Raden Wijaya, Gajah Mada, macam-macam. Tak lupa, doi menyisipkan kalimat-kalimat bijak yang jadi “nyawa” cerita.
“Jadi, tole,” ujar suami, suatu hari. Yap-sekedar info suami saya memanggil Sidqi dengan sebutan “tole”. Kadang “tole ganteng”. Atau “tole bagus”.

“Bapak sekarang mau cerita soal syair dari Ki Ronggowarsito. Begini katanya, ‘Anemoni jaman edan, ewuh oyo ing pambudi. Melu edan ora tahan, tan melu tan kepanduman.’ Kamu tahu artinya?”
Sidqi menggeleng. Sambil mengunyah lemper. Kalau lagi dengar dongeng khas Jawa, maka saya berupaya ciptakan ambience dengan menghidangkan makanan khas pulau kebanggaan kami. Say yuk dadah bubbye dulu deh, dengan french fries, burger atau spaghetti.
“Artinya adalah, menghadapi zaman gila, sulit untuk bersikap. Ikut gila tidak tahan, tidak ikut gila tidak kebagian.”
“Lho? Berarti kita semua jadi orang gila, pak?”
“Bukan. Maksudnya zaman gila itu, semua orang jadi sibuk menghalalkan semua cara untuk dapat uang. Atau dapat kekuasaan. Semua jadi ikut-ikutan bersikap cinta dunia dan nggak peduli halal atau haram.”
Aku tersenyum dari dapur. Sambil ngulek bumbu tempe goreng. Nanti siang, kami akan makan mendoan. Hmm, mak nyus…
“Zaman gila itu kapan Pak?”
“Yo sekarang ini. Makanya, Ki Ronggowarsito itu sering disebut sebagai futurolog dari Jawa. Karena dia seolah-olah bisa meramalkan apa yang terjadi di masa depan.”
“Hmm…” Sidqi mengangguk-angguk. Lemper pertama sudah habis. Kini dia berkutat dengan nagasari.
“Tapi, syair Ronggowarsito masih ada lanjutannya. Begini, ‘Begjo begjoning wong kang edan, luwih begjo wong kang eling lan waspado’ Artinya, sebahagia- bahagianya orang gila tentu lebih bahagia orang yang selalu ingat dan waspada.”
“Ingat dosa ya pak?”
“Bener! Jangan sampai karena kita ingin kaya, lalu kita serakah dan malah bikin orang lain sengsara!”
“Wah, kayak orang korupsi itu ya Pak? Kalau dosanya banyak, mereka bisa masuk neraka!”
“Tole bagus memang pinter!”
***
Nggak sulit kan, cari contoh kasus yang menggambarkan syair di atas. Banyak. Banget. Kalau mau contoh koruptor, yaaaa…. pantengin aja lah, para tahanan dan target operations-nya KPK. Kalau dirunut ke dunia hingar bingar selebritis, ulalaaaa… silakan dipilih deh.
Ketika manusia sudah kebingungan mau mencari sarana untuk membahagiakan diri, tidak jarang ia malah tersesat dalam labirin syahwat duniawi yang justru amat sangat membingungkan. Oke, sekarang saya ogah ngomongin selebritis ah. Udah terlalu mainstream. Saya mau membahas diri saya sendiri aja *tsaah*
Iya, jadi ceritanya begini. Setelah lulus dari kampus salah satu PTN di Surabaya, sebut saja namanya Unair, saya diterima bekerja di TV swasta ternama republik ini. Di divisi news alias pemberitaan. Tugasnya? Berburu berita lah. Mosok berburu hatimu… #eaaaa
Sebelum terjun langsung ke lapangan, saya mengikuti semacam diklat jurnalistik. Pematerinya macam-macam, orang TOP banget yang bercokol di dunia broadcasting. Kita diajarin untuk liputan, wawancara, live report, teknik kamera, de el el. Termasuk, soal adab plus etika jurnalis, yakni DILARANG menerima amplop. Eh, kalau amplopnya aja sih, nggak masalah. Tapi, isinya itu loh, yang sering mencederai nurani.
Singkat cerita, saya sudah lulus dari pelatihan. Lalu mulai liputan beraneka ragam berita di Surabaya. Satu tim liputan terdiri dari saya (reporter), kameraman dan driver. Salah satu narasumber kami adalah pejabat sebuah institusi penegak keadilan. No mention, gapapa kan ya?
Intinya, si pejabat itu bilang, kalau kasus X di institusi itu sudah beres. Lalu, kami sibuk foto-foto, syut, nanya ini-itu, dan… pulang ke kantor. Untuk bikin paket berita. Eh, lah dalah, pas mau masuk ke mobil, saya dicegat sama salah satu staf, trus disodorin amplop. Tebel banget.
“Apa ini pak?” sok naif bin imut banget ye, gue… Padahal, yakin banget lah, kalo amplop ini bukan berisi brosur.
“Ini, titipan dari Bapak….”
“Oh. Duit ya Pak? Waduh, maaf, saya enggak boleh terima ginian…”
“Gapapa, bawa aja mbak…”
“Enggak pak, maaf…”
“Bawa aja…”
“Jangan pak…”
Saya terlibat aksi terima-tolak-terima-tolak selama entah berapa menit. Disaksikan oleh kamerawan dan driver, plus beberapa orang yang kebetulan juga bercokol di tempat parkir. Muka-muka mereka antara, “Dasar, anak baru! Sok suci!” atau…”Udahlah, bego! Terima aja, napa? Gak bakal ada yang tahu ini!”
Saya—si anak baru yang “sok suci” bin idealis itu, dengan asertif skala wahid menolak amplop.
***
Fffuiiih, lega. Eits, apa yang terjadi kemudian?
Entah ini hanya perasaan saya saja, atau, emang, para sopir kantor kok ogah ya kalau liputan sama saya?
Kameraman juga gitu. Yang paling “klik” dan “setia” banget cuman seorang dua orang. Yang lain—apalagi para senior—selalu punya alasan untuk “jangan liputan sama Nurul deh”.
Hhh. Yo wis. Gapapa. Saya rela kok, dijauhin banyak orang, nggak diajak temenan sama kolega kantor. Asal, masih ada kekuatan dalam hati (dan mulut) untuk menolak semua rayuan dan “uang tebal” dari para narasumber. Bisik-bisik dari temen, banyak yang bilang kalo “uang rilis” atau “uang 86” itu, jumlahnya sangat wow buat kalangan media TV. Sekedar info aja, waktu itu, gaji saya sebagai newbie berkisar di angka 2 juta sebulan. Sementara, dalam 1 kali liputan, “uang rilis” itu senilai 500 ribu sampai 1,5 juta. Bayangkan! Satu liputan saja! Dengan asumsi, selama sebulan, kita bisa dapat 10 kali “uang rilis” masing-masing 1,5 juta, maka satu tim bisa mengantongi 10 x 1,5 juta = 15 juta. Dibagi rata bertiga, maka kita bisa dapat 5 juta per bulan!
No wonder, saya “dibenci” dan jadi “public enemy” gitu. Gapapa. Aku rapopo. Gak masalah kalau kita dibenci seluruh manusia se-planet bumi, asalkan Gusti Allah rela dan ridho dengan apa yang kita lakukan. Inggih tho?
“Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati – Bahasa Daerah Harus Diminati”. Klik di sini untuk info lengkapnya ya. Ikutan juga yuk, yuuuk…..
Jamane jaman edan… 😀
Ho’oh mas. Edan banget nget.
Salut deh Mbak, susah loh bisa memiliki sikap seperti itu, berani karena benar ya 🙂
Semacam itu lah yaa. Tiap org punya ujiannya masing2
salut buat emak, bisa bertahan diantara hisapan amplop tebal :D,
angkat topi buat bapak yang mau menularkan filosopi Jowo pada cah bagusnya.
sukses buat GA-nya.
Wow, Mak Salma lengkap bin komprehensif banget nih. Semua dapat comment, hihihi. Tengkiuuu ya mak.
aku ya pernah mbak ngalamin, biasanya kalo abis ikut liputan proker di kementrian…bilangnya buat naik taksi. hehehe
Waduh, kalo di Jkt emang godaannya wow-wow-wow banget mbaa….
ahhhs eru banget kan itu banyak cerita2 Jawa 🙂 posting dong hehe
errrr…. *ngrayu sidqi biar dia aja yang posting*
iyess mak,akurapopo juga. biarpun punya banyak musuh yg penting niat menjalankan perintahNYA 🙂
Tosss dulu aahhhh
Tole ganteeeeeng, ceritaiin dong kisah Kebo Kanigoro ituuuu? *kedipkedip sama Sidqi*
Iiih, ada tante Orin unyuuu… bentar ya ntee… sidqi mau bilang Bapak dulu… Copyright-nya ada pada beliau, hihi
Waah….tahan godaan karena punya prinsip ya mak…Siip deeh..lanjutkan..
Baiklah… Ayo ikut GA-nya juga mak Nunung
*ngangguk2 selama membaca post ini. Bagus nih, mo dong baca2 lagi soal kisah pujangga jawa jaman dulu. Well done mba dah bisa nolak. Aku paling sebel klo orang bilang ‘sok suci’ , bukannya sok suci tapi tau perbedaan yang baik dan yang benar. Juga malu sama bangsa masa depan, dimana indonesia sudah tidak korupsi lagi.
Eitshhh, tengkiuuuu tengkiuuu udah mampir dan komen di blog super-sederhana ini. Iya, ternyata pujangga Jawa itu keren2, hanya saja jarang dikemas dengan nuansa kekinian. Makanya, anak muda sering males baca2 filosofi Jawa.
adikku sama kakakku juga suka banget cerita2 jawa gitu. gatau jadinya aku gak nyambung kalo mereka ribut.
btw soal tdk menerima imbalan apapun itu di berbagai macam profesi kudu bener2 punya kemauan n benteng diri yg kuat
Sepakat ama Aqied. Eh, kamu ikutan GA ini juga dong. Pasti cihuy banget deh, kalo kamu yg bikin.
Gpp mak, jangan bikin hati ruwet dengan hal2 seperti itu. Insya Allah rejeki kepenak akan datang sebagai gantinya.
Aamiiin… Aamiiin… memang menata hati yang lumayan sulit ya mak. Padahal, rezeki kita mah udah ada kadar dan takarannya sendiri2
mbak Nurul ini nggak cuma bukan bocah biasa deh, tapi juga bukan reporter biasa………yg namanya kerja iku jare guruku paribasane “nggaweo dipan sing apik yo mengko longane rak teko dewe” :-)…salam kenal
Inggih pak… Maturnuwun,… sebenernya banyak “bukan reporter biasa” yang level godaannya jauuuuh di atas saya. Kalo saya sih, “amplop”nya kan belum tebel2 amat, jadi gak terlalu galau lah, buat nolak. Heheh. Yang bikin gamang itu, sikap temen2 lain yang (sepertinya) ogah2an satu tim ama saya. Itu sih.
Sementara, kalo jurnalis/produser/pimred walah dalah, godaannya gak cuma amplop. Tapi, bisa-bisa disodorin kunci mobil (plus mobilnya, tentu saja), apartemen, atau pulau pribadi, mungkin???
Nah, kalo di posisi itu, enggak yakin deh, apakah iman saya masih sekuat itu. Hehehhe…
Hebat Mak, insya Allah setiap rejeki yg di dapatkan berkah yaa, Amiiin..
jadi ingat kerjaan suami saya (sbg marketing pembiayaan), aksi terima-tolak-terima-tolak itu sangat sering terjadi.
Semoga kemantapan hati kita utk selalu mendapatkan rejeki yg “bersih” diridhai Allah Swt. Amiiin (lagi) 😀
Sukses utk GA-nya ya maak..
Amin, amiiin ya robbal alamin… Ikutan GA ini juga kan mak?
Subhanallah.. tulisan ini keren deh (juga tulisan2 yg lain, saya tadi baca beberapa), memperkaya hati. Trmkasih 🙂
Wih, m(b)ak Dina penulis buku handal favoritkuuuuu…
Makasih loh mbak, udah singgah di marii… Aku banyak terinspirasi dari buku dan blog mbak 🙂
Bukan Reporter Biasa…. tulisannya keren-keren. 🙂 (y) (y)
Aih, ma’acih. Salam kenal ya.
Tenang aja mb Nurul, rejeki itu tak akan tertukar. Mensyukuri yg kita punya dan mensyukuri yg tdk ingin kita miliki adalah kenikmatan tersendiri. Tul?
Tuuuuuuuuullll banget nget ngeeettt 🙂
Alhamdulillah… makasiiii yaaa :)) Yang ikut GA ini keren kabeh, mas… Bersyukur nama saya ada di jajaran pemenang *terharu*