Gegara tulisan yang dimuat di Jawa Pos go viral banget, ada rezeki yang mengetuk dari pintu lain.
Yup, salah satu tim redaksi LiputanIslam dot com menawari saya untuk berkirim opini. Temanya boleh apa saja, asal senada dengan kebijakan redaksi *haish*
Ya iya deh, mana ada sih, media yang netral? **ambil kemenyan, bakar UU pers**
Pada intinya, kalau teman-teman pengin kirim tulisan, silakan kirim ke: redaksi@liputanislam.com
Panjang tulisan: 700 – 850 kata.
Contoh tulisan saya bisa dicek di sini
Berikut naskah aslinya:
Surat Terbuka untuk Pak Anies Baswedan
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Halo, Pak Anies! Senang rasanya begitu tahu bahwa seorang Anies Baswedan ditunjuk Jokowi menjadi Menteri Pendidikan Dasar, Menengah, dan Kebudayaan di republik ini. Dari dulu, saya ngefans sama Pak Anies. Sejak program Indonesia Mengajar yang Bapak inisiasi itu, saya yakin betul, bahwa kita harus mengubah paradigma tentang edukasi. Pinjam istilahnya Jokowi, memang harus ada revolusi mental. Mentalnya siapa? Tentu mental semua orang yang terlibat di dunia pendidikan.
Karena itu, manakala baca kutipan Pak Anies yang beredar di berbagai media online, saya lega sekaligus penuh asa. Bapak bilang begini, “Yang harus direvolusi mental adalah pendidiknya. Bukan anak yang menjadi fokus, tapi gurunya. Saya melihat dalam konteks pendidikan, jangan lihat anak-anak kita sebagai botol yang harus diisi sehingga harus diisi materi sebanyak-banyaknya.”
Wah, benar sekali itu Pak. Saya lihat sendiri, betapa anak saya—masih kelas 2 SD—gempor tatkala berhadapan dengan materi dan tugas-tugas sekolah. Belum selesai polemik seputar perkalian (ingat 4×6 atau 6×4 kan Pak?), anak saya dijejali dengan seabrek tuntutan yang lain. Menghafalkan perkalian angka 1 sampai 9, menghafalkan pembagian, mencerna logika pembagian dengan kalimat yang saya sendiri juga tidak paham, belum lagi tugas-tugas seputar keterampilan yang butuh upaya tidak sederhana. Bayangkan, pak Anies. Masih kelas 2 SD! Apalagi, anak saya kerap disengat rasa takut bin was-was saban ke sekolah. Kenapa? Gurunya galak. Duh. Atau, jangan-jangan, para guru menjadi lebih galak lantaran stres dengan beragam tuntutan Kurikulum 2013? Ah, entahlah. Yang jelas, saya saja sebagai orang tua murid ikut kelimpungan menghadapi semua materi yang tersaji di buku paket anak saya.
O iya. Bicara soal buku tema, sampai detik ini, saya belum bisa merasakan dampak positif dari kurikulum 2013. Saya tahu, niat awalnya brilian. Ingin mengholistikkan semua materi pelajaran dalam satu tema, supaya anak-anak lebih memahami satu aspek (sesuai tema) secara komprehensif. Misalnya, ketika belajar tentang “Keluargaku”. Siswa sekaligus berlatih Bahasa Indonesia (dengan menyebutkan nama-nama anggota keluarga), Matematika (menghitung jumlah anggota keluarga), Kesenian (menyanyi lagu tentang keluarga) dan seterusnya. Bahkan apabila “metode holistik” ini diaplikasikan secara tepat, anak-anak akan terlatih untuk mengoptimalkan ilmu yang ia punya.
Namun, sayang sekali, Pak Anies. Terkadang niat brilian semata, kerap menemui distorsi dan gatot alias gagal total di level eksekusi. Tidak banyak guru yang bisa menjiwai “ruh” Kurikulum 2013, kalaupun memang K-13 ini punya “ruh”. Yang saya tahu, dari berbagai berita plus curhat para guru, Kurikulum 2013 ini terlampau prematur dan terkesan dipaksakan. Para guru belum tuntas mengikuti pelatihan, eh, ternyata anak didik sudah dijejali beragam materi yang gurunya saja tidak paham. Terbayang amburadulnya kan?
Karena itu, saya sepakat dengan kalimat Pak Anies, bahwa proses belajar anak-anak tidak bisa disamakan dengan berlari sprint. Proses belajar anak-anak kita laksana lari marathon yang stabil dan berkelanjutan. (Tempo.co 11 November). Tak perlulah menjejali anak dengan materi yang segabruk. Justru, yang paling penting anak harus merasa belajar (termasuk bersekolah) adalah kegiatan yang asyik, seru, menyenangkan dan membuat mereka “kecanduan”. Termasuk PR bagi jajaran kementerian Pak Anies, bagaimana membuat sekolah menjadi laboratorium hidup dan kehidupan bagi generasi muda. Supaya mereka tidak hanya berorientasi mengejar nilai. Tapi, para siswa itu belajar untuk menjadi calon pemimpin bangsa yang berkarakter kuat. Punya jiwa kepemimpinan yang hebat, mandiri, berdaya juang, berempati, sekaligus tahu dan paham akan tujuan hidup mereka.
Kita sama-sama tahu Pak Anies, sungguh luar biasa tantangan yang menghadang anak-anak kita. Mereka dihadapkan pada zaman yang serba relatif. Benar atau salah, relatif. Penting atau tidak, relatif. Baik atau buruk, relatif. Anak-anak kita, setiap saat senantiasa berada pada perangkap syahwat duniawi yang mengerikan. Patut disayangkan apabila hidup mereka terombang-ambing tak tentu arah, karena sedari awal mereka tidak tahu untuk apa mereka hidup? Karena di rumah maupun di sekolah, mereka tidak pernah mendapatkan transfer “bekal hidup” secara memadai. Sehingga yang ada di benak mereka adalah, yang penting saya belajar yang baik, kerja yang baik, dapat uang yang banyak, saya bisa hidup kaya dan bahagia, that’s it! Maka, pendidikan kita hanyalah melahirkan insan-insan yang egosentris. Yang merasa bahwa dirinyalah sebagai center of universe, serta tidak mau tahu dengan ketimpangan hidup serta penderitaan sesama.
Dan, sungguh, saya luar biasa khawatir Pak. Karena anak-anak calon pemimpin bangsa ini sedang mengalami krisis teladan. Nyaris sulit kita temukan satu sosok yang bisa menjadi benchmark bagi mereka. Kalaupun ada orang-orang hebat itu, maka keberadaannya seolah tenggelam dengan berbagai berita busuk yang beterbangan di sekitar kita. Seputar perebutan kekuasaan, tentang isu-isu yang berkelindan dan (sekali lagi) serba relatif kebenarannya. Kepala saya nyaris meledak, saking berhamburannya berbagai gosip, selentingan, serta kontes adu kekuasaan yang tak kenal episode tamat. Duh.
Dan, tawa ria anak saya ketika bermain bareng sahabat-sahabatnya di depan kompleks rumah, adalah “obat penenang” bagi saya. Bahagia rasanya manakala menyaksikan mereka lebur dalam kehangatan permainan “sungguhan”. Main sepeda, sepakbola, petak umpet secara “nyata”. Karena, dalam beberapa momen, anak-anak saya terjebak pada permainan masa kini yang hanya bermodal sentuh-geser saja. Oh. Sangat tidak humanis. Sangat tidak natural. Karena itulah, Pak Anies, mungkin materi “permainan tradisional sederhana” bisa dimasukkan sebagai materi pemanasan sebelum anak-anak masuk ke dalam kelas. Dengan main gobaksodor sekitar 10 menit misalnya, anak-anak sudah diliputi keceriaan, belajar kerjasama dalam tim, strategi untuk menang tanpa harus membuat pihak lain sakit hati. Nah, ketika suasana hati sudah berbunga-bunga, maka mereka lebih siap menerima pelajaran.
Saya tahu Pak Anies sibuk. Sangat sibuk. Semoga surat ini bisa Bapak baca sebagai salah satu bahan diskusi ketika Bapak menggodok pola pendidikan terbaik bagi kandidat pemimpin masa depan.
Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Aku salah satu guru privat yang akhir2 ini sering menerima keluhan anak2 didikku,,mereka tidak paham materi,,entah gurunya yg tidak pandai menyampaikan,,atau memang materinya yg terlalu rumit untuk dipelajari,,tetapi kemudian anak diminta untuk mempelajari pelajaran yang cakupannya sangat luas,,bahasa indonesia bertemu dg biologi, teks observasi bertemu dg pembagian hewan,,vertebrata, invertebrata, jg genus dsb.nya,,padahal mereka duduk di kelas bahasa,,poin teks observasi saja mereka belum bisa menangkap,,terlebih harus belajar ttg klasifikasi makhluk hidup,,sangat jauuh,,
Semoga pendidikan di negeri ini bisa lebih baik,,lebih tepat sasaran,,terutama budi pekerti dan karakter anak2 bisa lebih terbentuk,,
Efeknya besar juga ya, Mbak.,, Bila tulisan bisa dimuat di media nasional… 🙂
keren mak, selamat ya. anakku juga kls 2 SD..
Kerreeeenn 😉
selamat lagi ya mak Nurul. Juga mengenai moral ya mak, harus juga ditekankan pada anak2. Belum lama ini saya membaca berita ttg anak SMP yg dieprkosa teman SMA nya. Haduuuuh…. miris banget, anak seumur ituuuu….. bagaimana pendidikan agamanya, bagaimana moralnya??? ngelus2 dada saya maak….. Semoga anak2 bangsa kita akan lebih baik lagi dari keseluruhannya ya…
selamat lagi ya mak Nurul. Juga mengenai moral ya mak, harus juga ditekankan pada anak2. Belum lama ini saya membaca berita ttg anak SMP yg dieprkosa teman SMA nya. Haduuuuh…. miris banget, anak seumur ituuuu….. bagaimana pendidikan agamanya, bagaimana moralnya??? ngelus2 dada saya maak….. Semoga anak2 bangsa kita akan lebih baik lagi dari keseluruhannya ya…
supeeeer sekali, maaak…
moga keturana ‘pinter’ :p
maksudnya ketularan, mak. hehe
kapan yaaa bs kopdar sama emak yg satu ini? enggg…kapaaaan? #liatjadwal #lemes
Hebat euy mak Nurul … semoga surat ini benar2 nyampe ke Mas Mentri ya..
so far si aku belum terlalu ada kendala dengan kurikulum 2013 anakku masih kelas 1, jadi materinya masih sederhana banget, entah gimana kalo udah naik kelas nanti dan bener banget jangan cuma kurikulumnya yg di otak atik …gurunya jugaperlu banget ditingkatkan kompetensinya. Kurikulum bagus kalo yang menyampaikan ga bisa … useless
keren, produktif banget wah bisa ditiru coba kirim opini
Mak Nurul, aku juga salah satu yang ngefans berat sama Pak Anies, dari dulu banget, apalagi dg inisiasi Indonesia Mengajar nya itu. Wew, suka banget deh dengan ide dan gebrakan2nya. Semoga surat ini go nasional dan bisa mendapat response langsung dari beliau yaaa. 🙂
What a very great letter, Mak! Eh, slmt yaaa, udh dimuat [lagi] di koran. Dikau keren sekali, euy!
Idola ket jaman muda, pernah duduk di sebangku taman kampus sama Beliau pas aku ngantri formulir UMPTN dan Beliaunya udah jadi Ketua Senat UGM….#melamuningetjamandulu…hihihihi
sy caya pak anies bsa merubah revolusi mental secara perlahan dan pasti ,,,
mantap dan luar biasa.. 🙂
aku juga lega ketika beliau yg ditunjuk jadi Mendik , harapan kita besar banget padanya
tulisan dan pendapatmu apik banget mak
mak,,,keren banget,,,,,aku pengen juga mak,,makasih ya mak info dan ilmunya,,,
anak saya kelas 1 sd, mak dan merasakan puyengnya, ya saya kok suka ikut puyeng pas baca buku paketnya, dalam hati ni pelajaran kelas satu gini amat bahasanya, apa meraka ngerti/paham maksudnya, baca aja baru belajar …
Cieeee emaaak, makin berjaya nih di media.Gayaaaa!!! Proud of you!
aku salah satu fan ama pak anies
me too, mak 🙂
Ga pernah bosan baca tulisan mak yang satu ini.
Semoga surat ini bisa sampai ke Pak Anies dan memperbaiki kualitas pendidikan negeri ini mbakyu.
Terus terang, daku juga bingung Dan, mau di-gimana-in lagi ya, bocil2 kita di sekolah. Karena emang, dunia pendidikan juga nge-blur ama politik, bisnis, dll-nya. jadi yaaa… daku rada2 semi-apatis juga siiy
mo nangis deh bacanya maak..moga didengarkan oleh pak anies hiks
Lah. Kenapa nangis, mak Dew?
Ehhh, ma’aciiih ya udah BW ke blog aku.
Sehari BW ke 10 blog yak? Hihi. Daku udah ‘ubrak-abrik’ blog dikau sepagi tadi.
Tapi blum ninggalin jejak, Mak.
Wahh! jadi kepengen nyoba kirim kesana…:) Tembus g yaa??
Kiriim aja maaak…
Kalo opini, seleksinya gak gitu ketat sih Mak.
Yang rada berat itu, rubrik analisis.
Eh iya, ternyata opini gak ada fee-nyaa… Hihihi. Kalau rubrik analisis baru ada fee-nya mak.