Ironi Zonder Sanitasi di Daerah Kaya Gas dan Minyak Bumi (Sebuah Refleksi Hari Toilet/Jamban Sedunia)
Apa Resolusi 2018 Anda? Ingin pindah ke Meikarta? Mau jalan-jalan keliling dunia? Punya deposito dan reksadana yang nominalnya bikin menganga?
Huuum, begitulah kita urban people memaknai hidup dan kehidupan. Semua asa dilesatkan setinggi bintang. Kita bekerja dengan sekuat tenaga, menjalin networking sepenuh jiwa, melakukan banyak hal, demi gemilang pencapaian duniawi yang terkadang bikin orang lain kagum, atau malah dengki bin iri.
Tidak mengapa. Terus kejarlah mimpi-mimpi duniawi itu, kisanak! Selama masih dalam koridor kebaikan dan tidak menyakiti hati yang lain, tidak ada yang salah dengan pergulatan dan perjuangan kita dalam merajut asa dan menggapai mimpi.
Hanya saja….. terkadang, kita butuh jeda. Kita butuh menekan tombol ‘pause’. Sebentar saja. Tinggalkan gemuruh duniawi yang membuat kita kerap terjerat dalam pusaran tak kunjung usai. Lalu, tengoklah sebentar…. Saudara-saudara kita yang masuk kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Lihatlah sejenak… Betapa ‘deposito’ ‘reksadana’ ‘apartemen’ dan entitas modern lainnya, sama sekali tak pernah singgah di benak mereka.
Jangankan invest apartemen mewah, jamban saja mereka tidak punya!
Hah? Hari gini?? Masih ada orang yang tak punya jamban/ WC/ toilet/ kamar mandi yang proper di rumah?
***
BOJONEGORO. Apa yang ada di benak Anda ketika saya sebut “Bojonegoro”? Buat warga Jawa Timur dan sekitarnya, tentu yang muncul adalah sebuah bayangan akan kawasan tajir-melintir, lantaran Bojonegoro dikenal sebagai kawasan pertambangan gas dan minyak bumi. Begitu juga yang saya bayangkan, manakala diundang teman-teman dari water.org untuk mengeksplorasi kawasan Bojonegoro.
Namun, bayangan saya akan dunia pertambangan yang panas (plus mengalirkan rupiah secara deras) ambyar seketika…. Manakala tim water.org mengajak kami untuk blusukan ke sejumlah desa terpencil. Yap… masih ada di kawasan Bojonegoro, namun untuk mencapai ke desa ini, kami harus ku lari ke hutan…. Kemudian teriakku……
Benar-benar blusukan ke hutan, literally! Mobil yang mengantarkan kami harus berhenti di titik tertentu, dan yeah…. Kami kudu jalan menyusuri pematang sawah dan jalanan desa yang masih belum diaspal. Sampailah kami di Dusun Balong, Desa Turi, Kecamatan Tambakrejo.
Di sebuah rumah nan sederhana, berkumpullah sekitar 25 perempuan. Mereka menyimak pemaparan yang disampaikan fasilitator dari KOMIDA (Koperasi Mitra Dhuafa). Sebelumnya, para ibu yang tampak bersahaja itu membaca ikrar bersama, saling melaporkan kondisi finansial masing-masing, sekaligus berdiskusi tentang hal yang menjadi cita-cita dan obsesi Bersama.
Cita-cita apakah itu?
Investasi apartemen di Meikarta?
Mendaftarkan anak di sekolah prestisius?
Ikut program ngetrip keliling Eropa?
TIDAK, saudara-saudara!
Cita-cita mereka adalah….. PUNYA WC/JAMBAN milik sendiri di rumah masing-masing.
Sebuah keinginan yang amat sederhana. Yang barangkali tak pernah singgah di benak urban people. Di dusun ini, ada 32 KK (kepala keluarga), dan belum ada yang punya jamban dengan septictank yang memenuhi standar. Lantas, di mana mereka ‘menunaikan hajat’?
“Ya…. Warga biasanya BAB di cumpleng atau jumbleng, jamban tradisional yang nggak ada septictank-nya. Atau, warga juga biasa buang hajat di hutan,” ujar Reni, salah satu warga yang kami temui.
Ini sudah 2017, my meeen! Dan ternyata, masih banyaaaak warga yang harus berkutat dengan isu “Bagaimana buang air secara baik dan benar, ketika tidak ada toilet layak di rumah kami”. Wadaw!
Reni seolah bisa membaca kegusaran kami. Lalu, ia menukas, “Saya dulu juga nggak punya jamban. Kemudian, anak pertama saya mau nikah. Keluarga calon besan datang ke rumah, dan ketika mau ke belakang, kami pun kebingungan. Lha gimana, kita biasa buang air di hutan atau di jumbleng,” tuturnya.
Yap! Pertanyaan “WC-nya mana?” yang dilontarkan sang besan, membuat Reni dan suaminya memasang tekad dalam dada: KAMI HARUS PUNYA WC SENDIRI!
Rasa malu itulah yang mendorong Reni untuk bikin WC yang layak. Akan tetapi, lagi-lagi mereka harus terantuk batu sandungan berikutnya: Bikin WC plus septictank tentu butuh biaya yang besar. DANANYA DARI MANA?
***
Di sinilah, Lembaga keuangan mikro menunjukkan kontribusi secara signifikan. Urgensi sanitasi dan pengadaan toilet adalah sebuah hal yang menjadi isu krusial di masyarakat desa. Hanya saja, warga masih harus berkutat dengan pertanyaan standar “Dananya dari mana?” dan seterusnya. Kalaupun mereka mau mengajukan hutang ke bank, sudah jelas, mana ada bank yang mau memberikan pinjaman ke warga dhuafa? Jaminannya apa? Dan…. Hutang untuk pengadaan WC rumah? Are you kidding me? Gitu kalik pikiran yang bersemayam di para bankers.
Pak Sugeng, Direktur Eksekutif KOMIDA (Koperasi Mitra Dhuafa) paham betul mengenai hal ini. Sesuai namanya, mitra dhuafa, Komida pun siap jadi mitra yang memberikan solusi alternative buat warga dhuafa, untuk bikin sanitasi (WC dan kamar mandi) yang mumpuni.
“Kami sediakan pinjaman, warga bisa mencicil sesuai tenor yang ringan bagi mereka. Akses sanitasi bisa mereka dapatkan dengan cicilan yang terjangkau,” lanjut Pak Sugeng.
Untuk standar sanitasinya, bagaimana? Water.org memainkan peran dengan ciamik binti paripurna. Sebagai non-government-organization yang menitikberatkan pada isu lingkungan, sanitasi dan ketersediaan air bersih, Water.org terus mengedukasi masyarakat seputar pentingnya sanitasi yang layak.
Manager Advokasi Water.org Musfarayani mengungkapkan, selama ini persoalan buang air besar sembarangan (BABs) masih belum dipandang sebagai isu strategis dan prioritas. Apalagi Lembaga keuangan besar seperti bank, tidak berpihak kepada masyarakat kecil. Karena itu, Water.org berkolaborasi dengan KOMIDA, dengan menghadirkan program pengadaan sanitasi dan jamban bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
“Kami memiliki program water credit, atau pinjaman untuk kebutuhan akses air bersih serta sanitasi atau jamban. Yang terdaftar sebagai anggota KOMIDA adalah para perempuan, karena biasanya kaum hawa lebih disiplin untuk urusan keuangan. KOMIDA juga mengadopsi sistem Grameen Bank sehingga ada kumpulan komunitas Ibu-ibu yang sama-sama menerima manfaat dari pinjaman KOMIDA” ujar Fay, Musfarayani.
***
Setelah datang dan berinteraksi langsung dengan warga marginal di Bojonegoro, teman-teman di Water.org dan KOMIDA, saya merasa “tertampar”. Betapa selama ini saya kerap menganggap urusan air dan toilet sebagai sesuatu yang remeh. Take it for granted. Padahal, toilet punya peran dan fungsi yang amat signifikan bagi kehidupan kita.
Kamar kecil, WC, toilet, kloset, kakus, jamban – banyak sekali nama yang diberikan untuk toilet – objek yang barangkali tampak sangat biasa.
Padahal, lebih dari sepertiga populasi dunia tidak memiliki akses kepada jamban yang sangat sederhana dan masalah ini semakin memburuk. Analisis statistik yang diselenggarakan saat ini, memprediksi populasi dunia akan mencapai 11 miliar pada tahun 2100. Dari mencegah penyakit hingga mendorong pendidikan, berikut lima cara toilet mengubah dunia:
- Menjaga Kesehatan Masyarakat
Pembuangan kotoran manusia yang tidak benar menyebabkan penyakit yang parah. Jika masyarakat tidak mempunyai toilet, ternyata mereka buang air besar di tempat terbuka, seringkali di dekat tempat dimana mereka tinggal atau di sungai-sungai yang memasok kebutuhan minum dan mandi. Seperti contohnya sebanyak 290.000 galon (1.1 juta liter) limbah masuk kedalam Sungai Gangga di India setiap menitnya, menurut World Health Organization (WHO).
Air yang terkontaminasi menyebabkan turunan penyakit diare seperti kolera, yang menimpa banyak orang secara kronis. Tahun 2012, hujan yang sangat deras di Sierra Leone dan Guinea menyebabkan limbah dari jamban meluap dan menyebabkan wabah kolera mematikan yang membunuh 392 orang dan menyebabkan lebih dari 25.000 orang terserang wabah tersebut, menurut berita setempat.
Penyakit yang disebabkan oleh kontaminasi tinja juga menyebabkan gizi buruk, berat badan pasca kelahiran yang rendah, kemampuan otak terganggu, dan kekerdilan. Sanitasi yang buruk berkontribusi pada dua dari tiga penyebab utama kematian yang dapat dicegah pada balita.
- Mencegah Kebutaan
Penyakit Trachoma, penyebab utama kebutaan , disebarluaskan oleh lalat yang yang berkembang biak secara eksklusif pada kotoran manusia. Penyakit ini disebabkan oleh Chlamydia trachomatis, bakteri yang juga menyebabkan penyakit menular seksual Chlamidia. Lalat serta kontak dengan kotoran mata dari orang yang terinfeksi dapat menularkan penyakit tersebut.
Trachoma mempengaruhi sekitar 21,4 juta orang, menurut World Health Organization. Akibat penyakit ini, 2,2 juta orang terganggu penglihatannya dan 1,2 juta orang buta.
- Menjaga keamanan wanita
Di tempat-tempat tanpa toilet, wanita harus berjalan jauh untuk sekedar buang air, hal tersebut menyebabkan para wanita rentan terhadap resiko kekerasan seksual. Untuk menghindari bahaya, banyak wanita menggunakan “toilet terbang”- pada dasarnya adalah kantong plastik yang mereka simpan di rumah. “Toilet terbang”merupakan tempat berkembang biak bagi mikroba jahat, seperti bakteri yang bertanggung jawab bagi penyakit yang dapat menyebabkan kebutaan yaitu trachoma.
- Menunjang kehadiran di sekolah
Berbicara mengenai isu-isu toilet masih merupakan hal yang tabu di banyak tempat, terutama untuk perempuan. Anak perempuan banyak yang enggan untuk masuk sekolah jika sekolah mereka tidak mempunyai fasilitas toilet yang memadai, hal tersebut membatasi akses anak perempuan terhadap pendidikan.
Namun, solusi masalah tidak selalu mudah. Contohnya, beberapa pekerja lembaga swadaya masyarakat menyarankan untuk memasang blok toilet umum. Masalahnya, ketika blok toilet umum tersebut dibangun di Bhopal, India, yang banyak memakai toilet itu lebih banyak laki-laki daripada perempuan, temuan ini bagian dari studi yang diadakan November 2008.
- Menghemat energi
Air limbah dari toilet mengandung sekitar 10 kali jumlah energi,dalam bentuk biokimia, yang memerlukan pengolahan lebih lanjut. Para ilmuwan dan insinyur sedang mengembangkan cara pengolahan air limbah untuk menghemat energi dan memakai kembali hasil olahan air minum.
Yang jelas, toilet jauh lebih dari sekedar tempat menyimpan limbah. Inilah sebuah bentuk majunya peradaban. Sebuah metode yang bisa kita dukung dan sokong Bersama, agar Indonesia bisa menjadi negara maju dengan sanitasi yang memadai!
Indonesiaku…..ternyata masih banyak saudara kita yg belum beruntung ya 😦
Well said, mba Nurul. Sejak saat itu saya jadi makin sayang sama WC di rumah dan di kantor #eeh
Ahh toilet ini emang penting bgt ya
Ngomongin jamban/toilet, mau gak mau keinget sama India kan aku jadinya. Terasa banget kalo di sana banyak orang yang kesulitan akses sanitasi. Aku mau ceritain hal-hal agak “serem” di sini jadi gak enak haha, ntar mbak mual.
Kalau buat aku yang hidup di perkotaan, gak habis pikir kalo ada rumah yang gak ada toiletnya. Tapi faktanya emang begitu adanya ya mbak.
duh aku blom berminat pindah ke meikarta, susah kali nyari kang sayur ato mbok jamu ;(
di daerah padat perkampungan pinggir sungai macam kota jakarta ini juga masih ada orang2 yg blm punya jamban, btw nganu ternyata bukan hanya rangga cinta aja yg suka lari ke hutan, ini jeung reni mau buang air pun di hutan, alhamdulillah ya thanks to besan
Seriiusan di jatim mbak nurul?
Kagetttt… Hebat euy ada yg tergerak membantu
Waktu di Lampung kemaren sempat ngerasain nginep di rumah warga yang kamar mandinya dari bambu setinggi dada, kalo mau mandi kudu nimba sumur dulu. Trus jambannya model jumbleng yang juga dari bambu. Jadi kami kalo mau mandi atau ke toilet bela2in subuh ato malem sekalian. Biar ga ada yg ngintip..
Yang seperti ini emang harus jadi perhatian ya mbak..
Wih asyiknya diundang oleh water.org. Saya juga mau mbak.. 😀 atau water.org datang saja ke desa saya di Bali, disini kami masih ada yg belum punya jamban dan septic tank. Masih ada warga yang pakai wc helikopter, bikin bedeng di atas anak sungai buat MCK. Atau buang hajat di kebon. Kami juga butuh edukasi 🙂
Pak kelian dinas (semacam ketua RT) sih udah selalu mengingatkan warganya dalam rapat PKK agar yang belum punya jamban segera membuat jamban, tapi mungkin mereka juga butuh biaya karena pekerjaan disini rata-rata sama: petani.
Eh mba Intan Bali daerah mana ya?
Would you mind kirim data2 lengkap ttg wilayah Bali yg dimaksud itu ke email nurulnih@gmail.com
Nanti aku fwd ke tim water.org. tengkyuuu
Saya di Bali daerah Tabanan. Tapi dari data pak Kepala dinas, dari 70 kk hanya 2 kk aja yang belum punya jamban. Dan di sekolah paud dan TK disini, sekolah punya 2 toilet namun tidak berfungsi karena keran airnya mati. Anak-anak TK biasa kencing di selokan dan BAB di pinggir kali.
Ternyata masih ada yaaaa yg blm bunya jamban 😦
Jadi keinget dulu rumah buleknya ibuku yg di Pacitan pun gak ada jambannya. Jadi kami kalau pas nginep di sana, pas mau BAB numpang ke tetangganya gtu. Alhamdulillah pas aku dah agak besaran mereka bangun kamar mandi yg lbh “manusiwi” hehe.
Lhooo, kamu ya punya sodara di Pacitan tho?? Bulekku di Pacitan desa Bangunsari dusun Jambu. Nama eyang kakungku Abdul Shomad
Aku masih menemukan ini di beberapa desa yang aku kunjungi saat traveling ke suatu daerah. Dan entah kenapa, sinyal buat BAB selalu menghilang ketika aku berada di tempat-tempat yang minim fasilitas WC 😀 Sinyal itu baru muncul setelah ketemu rumah makan yang aku singgahi, yang ada WC nya. WC manusiawi sangat perlu. Apa gunanya rumah beton tegak kuat dengan perabotan lengkap di dalamnya kalau tidak punya WC 🙂