Susi dan Tuhan Sembilan Senti

Alhamdulillah, tulisan ini diapresiasi sbg Juara di GA Keina Tralala
Klik di sini untuk info lengkapnya ya. Makasi Keina! *hugs*

Tak pernah aku dilanda dilema sedemikian parahnya. Otakku kusut masai. Entah, sepertinya ia sedang tak ingin diganggu dengan beragam seliweran ide-ide liar yang tak mau mengenal kata ‘menyerah’.

Serius?? Kau mau keluar begitu saja?? Dari profesi yang digilai banyak orang ini??”

“Ohhh…. ayolaaah… Apa iya kau akan meletakkan karir yang sudah kau bangun sedemikian rupa?? Banyak orang berebut untuk bisa berada di posisi ini. Dan kau? Mau menyerah begitu saja??”

Kuraba lagi surat yang ada di tangan. Lamat-lamat, bibirku membaca untaian kata di sana. Sekali lagi, ragu menyergap. Mau maju? Atau, dibatalkan saja?

“Tidak mudah cari kerjaan yang menjanjikan gelimang duit! Apalagi kau sekarang sudah punya anak. Memangnya mau kerja dimana?”

“Apa kau yakin, bakal dapat kerjaan yang prospektif seperti ini? Ingat gajimu! Ingat remunerasi, fasilitas dan kesempatan traveling gratis! Ingat itu semua!”

Tidak. Keputusan sudah bulat. Bismillah. Pantang goyah dalam melangkah. Kusampaikan secarik kertas di tanganku, pada mbak Leony—sebut saja begitu—atasanku di kantor.

Surat resign.

***

Ini adalah resign terberat yang harus aku lalui. Sebuah karir yang menjanjikan, harus aku sudahi. Banyak hal yang jadi faktor penyebab. Salah satunya, karena tuntutan pekerjaan yang seolah tak kenal jeda. Bahkan, Sabtu-Minggu—yang seharusnya jadi hari libur—kerap dirampas oleh berbagai event marketing yang begitu digdaya.

Tentu, amat manusiawi ketika aku merasa senang dengan gelimang rupiah.

Tentu, amat bisa dimaklumi manakala ada kebanggaan yang meluap, ketika seseorang bertanya, “Kau kerja dimana sekarang?” Dan, dengan nada jumawa, aku menjawab,”Di perusahaan multinasional, yang kantor pusatnya di Eropa.”

Wow. Beberapa pasang mata akan mendelik kagum. Beberapa yang lain membisikkan kalimat penuh semangat, ”Gajinya gede tuh.”

Yaa, not bad lah. Untuk ukuran Surabaya, gaji yang saya dapatkan—saat itu—memang kerap memantikkan rasa superior dalam dada.

Tapi, pada suatu masa, aku terhimpit kenyataan pahit. Selain karena alasan keluarga, ada satu hal yang tak bisa membuat aku berkelit. Apa itu? Well, suka tidak suka, saya harus akui, bahwa saya bekerja di sebuah korporasi yang memproduksi “racun massal”. Tuhan sembilan senti. Begitu Taufiq Ismail pernah bersajak sekaligus menyindir nyinyir. Apa boleh buat, sedari awal teken kontrak dengan HRD perusahaan raksasa ini, aku mafhum benar bahwa inilah resiko yang harus dihadapi.

Bahwa aku terlibat dalam sebuah konspirasi menjejalkan jutaan batang racun, yang konon menghasilkan nikmat tiada tara, dus membuat pemakainya selalu ingin, ingin, nyandu, dan sama sekali tak bisa move on.

Hingga, sebuah fatwa muncul dari MUI, lembaga yang (secara pribadi) aku segani. Bahwa, si tuhan sembilan senti itu haram.

Dan, aku laksana terjengkang. Tersetrum oleh ribuan megawatt listrik, yang membuat otakku tak lagi padu. Haram? Kalau aku bekerja di sebuah korporasi yang memproduksi “barang haram” apa itu artinya uang yang aku terima adalah “uang haram”?

Aku terkapar dalam istighfar. Sebuah keputusan frontal harus diambil. Segera. Secara revolusioner.

***

Dan, kemudian, aku memutuskan untuk ber-hasta la vista pada itu semua. Selamat tinggal kantor yang megah. Selamat tinggal fancy job, media briefing, media conference, media tour… Selamat tinggal rekan-rekan public relations… rekan-rekan wartawan… Sudah saatnya aku memilih untuk tidak terjebak pada perangkap syahwat duniawi semata.

Saat itulah, saya merasa LULUS. Lulus dari sebuah ujian hidup. Ujian yang membenturkan sebuah kenyataan bahwa, ya memang, saya butuh uang. Saya butuh percikan rupiah untuk bertahan hidup. Tapi, saya butuh uang secukupnya, bukan sepuasnya.

Mungkin saya memang butuh rasa untuk tetap bekerja. Tapi, tidak harus berada di sebuah industri yang tertawa riang di atas penderitaan jutaan korban tuhan sembilan senti.

Saya merasa, saat itu, saya sudah LULUS.

Tapi, kelulusan itu terasa tak lagi paripurna. Manakala, hari ini, sebuah potret perempuan yang tengah menjadi trending topic di twitter, membuat “LULUS” saya ternoda.

menteri-susi-pudjiastuti-perokok-bertato-tak-lulus-sma-mTGqalwD6O

Ah, ibu.

Kalau saja, Ibu selalu bertahan sebagai orang swasta, sebagai pengusaha sukses, sebagai CEO sebuah maskapai perintis, maka aku nggak ambil pusing dengan semua hal yang ibu lakukan.

Tapi, ibu tengah menjalani amanah menjadi MENTERI. Menteri adalah ulil amri, pemimpin di antara kami, jutaan rakyat Indonesia.

Sungguh, saya tak ingin berada pada barisan nyinyir, yang sibuk mengomentari hal-hal buruk pada diri Ibu. Tapi, satu hal yang sungguh bikin dada saya teriris perih.

Sia-sia kami menjelaskan bahaya rokok bla bla bla, kalau pada akhirnya, anak-anak kami akan berkomentar, “Lha, itu bu Menteri klebas-klebus rokokan?”

Dan, ketika kampanye bahaya rokok senantiasa kami jejalkan pada anak, lantas dengan retoriknya mereka akan menukas, ”Bu Susi funky banget tuh. Pasti karena dia ngrokok. Gayanya asyik.”

Aah, Ibu.

Bagaimana saya bisa mensyukuri “kelulusan” saya, kalau kemudian Ibu membuat teladan yang tak elok seperti ini? Bisakah Ibu mencoba sedikiiiit saja, untuk bersikap lebih elegan, tak perlu sampai pencitraan berlebihan, asalkan Ibu tak menjadi ‘anti-mainstream role model’ untuk anak muda republik ini? Bisa kan, Ibu? (*)

“Tulisan ini diikutsertakan Keina Tralala First Birthday Giveaway”

keina-tralala-fisrt-birthday-giveaway

Advertisement

Author: @nurulrahma

aku bukan bocah biasa. aku luar biasa

60 thoughts on “Susi dan Tuhan Sembilan Senti”

  1. Manstab duhhh mewakili perasaansaya juga mak. Kadang klo melihat seseorang itu bagus dan baik pas ngeliat merokok rasanya agak gimana gitu. Keputusannya sangat keren mak nurul. Kau berhasil melawan godaan hehe

  2. Banyak yang menyayangkan klebas-klebusnya Bu Susi di depan wartawan, dan timeline pun jadi rame lagi ‘mending ngerokok daripada korupsi’, ya lebih bagus lagi kalau ga melakukan keduanya 😀 yang menyayangkan sikap bu menteri lantas dianggap ga mendukung presiden (masih ada sisa ‘heboh’ jaman pilpres). Kalau buat saya pribadi ya bukan tentang siapa presiden yang milih atau apa ia laki2 atau perempuan, tapi saya dulu diam2 jengkel kalau ada guru mengajar sambil merokok, kalau mmuridnya yang begitu pasti diskors hehehe. Jadi ya setuju dengan mbak, semoga anak2 muda yg lihat si ibu ga lantas menganggap ‘bu menteri ngerokok, cool deh’. Duh semoga si ibu baca kalau banyak yang keberatan hehehe

  3. Alhamdulillah, 2tahun lalu melakukan hal yang sama mbak. Sejak hubby berhenti merokok atas desakan anak-anak, langkah selanjutnya adalah Toko berhenti berjualan rokok, sebelumnya sejak awal Toko berdiri tidak berjualan Miras, entah ada hubungannya atau tidak Toko kami baik-baik saja, omset makin melejit, dan langkah selanjutnya membatasi berjualan produk mamin hanya yang menggunakan label SHI, hanya Ridho Allah semata tujuan kami, hidup makin tenang jika rezeki barokah yang hadir dalam keluarga kami..^___^ *saya sengaja tidak membahas bu Susi, tapi tentang keberkahan rezeki..hehehe*

  4. Artikelnya bagus banget, Mak.. keputusan untuk berhenti dari perusahaan itu kereennn..
    soal bu Susi saya ikut mendoakan saja deh, semoga beliaunya akan berubah sedikit demi sedikit, biar bisa jadi panutan rakyatnya 🙂

  5. Semoga artikel-artikel seperti ini bisa menjadi pengingat bagi Bu Susi biar ke depan gak ngerokok di depan publik lagi, atau malah bisa berhenti merokok sekalian. Nice article 😀

  6. sebetulnya saya gak tau mau komen apa saat di satu sisi melihat ibu menteri ini punya perilaku yang tidak pantas ditiru yaitu merokok
    tapi, di sisi lain dia sudah banyak memberikan segudang manfaat kepada sekitarnya, terutama Indonesia (habis baca perannya saat tsunami Aceh). Diam2 saya jadi kagum, sangat kagum malah karena kebermanfaatannya itu. Manusia paling baik adalah yang paling bermanfaat kan?

    tapi itu tadi, kekaguman saya seperti ternoda saat mengetahui ada kekurangan dalam dirinya dengan merokok. Yah, nobody’s perfect sih emang, tapi kalau dia bisa memberi manfaat lebih lagi dengan menjadi contoh orang yang berhenti merokok, saya jadi super salut. 😀

    1. Tentang jiwa “malaikat” yang bersemayam dalam kalbu beliau, ga perlu ragu soal itu Mak. Siapapun tentu angkat topi, salut. Tapi ya itu tadi. Yang ter-capture (dan sangat gampang ditiru) adalah perilaku beliau yang tampak, yaitu merokok di area publik. Remaja itu kan lebih doyan niru yang tampak. Merokok itu contagious. Sementara, melakukan aksi kemanusiaan (apalagi di lokasi bencana) belum tentu langsung menginjeksikan semangat “Gue pengin niru bu menteri yang luar biasa baik itu deh…”

  7. Minimal jangan merokok di depan umum lah yaa kalo terus-terusan beralibi merokok itu hak asasi masing2 orang. miris lihatnya. Ini masih Indonesia dg adat ketimuran kan, ya? 😦

  8. miris liatnya…ah..ibu.., kenapa jadi bikin para emak2 ini makin galau dg sikap mu di depan public.. 😦
    salut sama keputusanmu maaak…aku yakin itu galau nya luar biasa sebelum akhirnya memantapkan diri… 🙂

  9. Tulisan keren. Sikap keren. Keputusan keren. Dan ah …. rokok. Memang menjadi berbeda ketika seseorang ada di posisi itu. Gutlak kontesnya ya Mak mau ngecek link asalnya aaah *whoosh*

  10. Tuhan 9 CM, sempat gak nyambung. Tapi….jleb, super cara dirimu membuat istilahnya.

    Sepakat semuanya Mbak, salut dan apresiasi setinggi-tingginya atas segala kebaikan, prestasi dan kiprah kemanusiaan. Semoga semua itu tdk jadi hal yg sia-sia oleh Tuhan 9 Cm.

    DAn semalam juga, saya sempat menerima Jawaban retoris terkait merokok-nya beliau di area publik setelah beliau diangkat jadi ulil amri negeri ini, ” sah-sah saja merokok di depan publik, drpd pakai jilbab tapi kelakuannya gak bener”. Dan yg memberi komentar tersebut usia dewasa, gimana opini anak/remaja cobak? (balik nanyak)

    1. Aaak, mbak Ririiii… tuhan sembilan senti ini puisinya Taufiq Ismail mbak. Bukan bikinan saya. Silakan di-googling.

      Sekarang ghawzul fikr (perang pemikiran) memang luar biasa dahsyat mak. Jadi, siapapun bisa komen tentang apapun.

      IMHO, tugas kita para emak adalah menyuarakan hal yang (menurut kita) baik dan benar. Tentu dibingkai cara yang santun.
      Hayuk, nulis opini juga maak… Kirim ke: opini@jawapos.co.id

  11. Mantab bu tulisannya, istilah kerennya gue baget gitu lohh. Saya begitu tidak terima manakala banyak yg menanggapi dg mengatakan, mending merokok danber-blabla daripada pake jilbab tapi korupsi. Astaghfirullah

    1. Selamat datang di abad ghawzul fikr.
      Tugas kita menyampaikan nasihat yang baik, dgn cara yang baik. Masalah akan diterima, atau dituding sbg kaum nyinyir, well itu udah di luar urusan kita :))

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: