[Fiksi] Bimbang (part 8)

BIMBANG (part 8)

Follow me on twitter: @nurulrahma

Edisi sebelumnya: Sebuah fakta dari masa silam mengandaskan semuanya. Raditya, ternyata saudara sepersusuan Salma. “Hal-hal dari hubungan persusuan diharamkan sebagaimana hal-hal tersebut diharamkan dari hubungan nasab.” (HR. Bukhari: 2645). Itu artinya, mereka berdua diharamkan melangsungkan pernikahan. Apakah kebimbangan Salma telah usai?

Siapapun akan menduga bahwa apa yang aku alami laksana kisah-kisah di sinetron picisan. Nyaris menikah, segalanya sudah siap. Hanya menghitung hari, detik demi detik… Kemudian, plassss…. Semua bangunan rencana itu roboh. Hanyut, diterpa sebuah ‘badai’ bernama ‘investigasi Tante Brin’. Yang hasilnya sungguh, benar-benar di luar dugaan kami. Bahkan, ibuku juga tak ‘mengendus’ keanehan pada Raditya dan keluarga. Semua tampak normal. Semua kelihatan begitu wajar.

”Radit… Radityaa….” ibu berujar lirih. Beliau baru saja siuman. Kata pertama yang terucap? ”Raditya”. Bagusss… Posisi ‘si anak susu’ mengancam ‘si anak kandung’ dalam relung hati Ibu.

Raditya mendekat ke arah Ibunda. “Minum air hangat dulu, Ibu…”

“Raditya, ka…ka…mu di mana Nak?”

“Saya di sini, Ibu…”

Pemandangan di depan mata sungguh, membuat hati kian mencelos. Raditya, setelah memberikan segelas air hangat, ia sibuk memijat-mijat kaki (mantan) calon ibu mertuanya. Tak lupa ia membaluri minyak kayu putih ke tengkuk dan hidung Ibu.

Ibu meraih kepala Raditya. Mengelus-elus rambutnya perlahan. Dikumpulkannya serpihan tegar yang telah remuk berkeping-keping. ”Maafkan Ibu Elly ya Nak… Maaf…”

“Tidak apa-apa, Ibu… Radit yang minta maaf….” mata Radit tak se-elang biasanya. “Elang” itu kini tergelepar lemah, menorehkan kepingan air mata yang mengalir begitu saja.

“Seandainya Ibu bisa membalik waktu ya Nak… Ibu memilih pergi ke supermarket di Singapura dan beli susu formula aja… Supaya Ibu nggak perlu nyusuin kamu, supaya kamu nggak jadi senasab dengan Salma, supayaaa….”

Astaghfirullah, sayang….” Ayah memotong, ”Janganlah kita mengatakan ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah ‘Ini telah ditentukan oleh Allah, dan Allah akan melakukan apa yang Ia kehendaki’. Ini sabda Rasul, karena kata ‘seandainya’ akan membuka pintu perbuatan setan…”

Ibu mengangguk lemah. Bersyukur, Ayah sangat bisa paham dengan kondisi emosional Ibu yang demikian bergejolak. Di sudut hati yang paling dalam, beliau tentu masih berharap, aku tetap menjalin ikatan pernikahan dengan Raditya, yang ternyata sepersusuan denganku.

“Walaupun tak bisa menikah dengan Salma, kamu tetap anakku ya Nak… Kamu tetap anakku… Tetaplah menjadi Radit yang sholih, yang berazzam kuat, yang membanggakan Islam, dan menjadi penyejuk mata untuk kita semua. Untuk ibu kandungmu, juga untuk ibu susumu ya Nak…”

Si “elang” semakin tertusuk. Dadanya terguncang hebat, seiring derasnya air mata yang tak kunjung surut. ”Insya Allah, Ibu… Insya Allah… Sampai kapanpun, Ibu Elly, Ayah Ganjar, Salma dan semuanya, adalah keluarga saya… Insya Allah, rasa cinta di antara kita, akan kita bawa terus sampai kampung akherat…”

Kami terkungkung rasa haru yang demikian mencekam. Bahkan, tante Brin—si ratu hore bin heboh jumeboh itu—bolak-balik mengusapkan tisu ke hidung mancungnya yang sarat akan kombinasi lendir dan air mata.

Aku tercenung. Di titik ini, tidak ada pilihan lain, selain berpasrah dengan segala takdir Allah. Haqqul yaqin, “surprise “ dari Allah akan terus mengisi lingkaran kehidupan. Sungguh, ini semua di luar dugaan. Ketika aku tergiring untuk begitu mantap bersanding dan memulai kehidupan baru bersama Radit, tetiba, kami semua “dipaksa” untuk mengamini fragmen masa lalu, yang sama sekali tak pernah terbayangkan sebelumnya. Nasib ‘kalah’ oleh nasab.

***

Ribuan undangan menanti untuk dikirimkan. Beberapa sudah kami—aku dan Raditya—antarkan. Apa boleh buat, kami harus bertanggungjawab untuk meralat undangan. Bahwa, pernikahan ini tidak pernah ada. Belum lagi, pembatalan catering, sewa gedung, wedding organizer, sewa busana, sewa perias… aargggh… kepalaku nyaris pecah….

“Maafkan saya, Salma. Sungguh, saya tidak bermaksud untuk….”

“Ssshhh! Sudahlah… Nggak papa… Sekarang kita bagi-bagi tugas untuk meralat undangan yang udah kadung tersebar yak. Di-list aja dulu. Ntar aku yang hubungi catering dan printhilan-printhilan lainnya. Oke?”

Aku mencoba tersenyum semanis dan seikhlas mungkin. Di hadapan (mantan) calon suamiku.

***

3 hari kemudian

Kalau ada yang tanya kepadaku, seperti apakah persahabatan yang paling indah itu? Maka, aku akan menjawab, persahabatan dibalut ukhuwah islamiyah bersama ukhti-ukhti muslimah. Kami bisa sharing apa saja, tanpa takut dinyinyirin, ditelikung atau ditusuk dari belakang. InsyaAllah, Islam yang jadi nafas persaudaraan kami. Sehingga, apapun yang terjadi, saudari-saudariku yang luar biasa ini, akan saling menguatkan, berbagi semangat dan kehangatan.

Begitu mendengar kabar bahwa aku batal menikah, maka mereka, para ukhti-ukhti yang cantik lahir batin ini, bersilaturahim ke rumah. Ustadzah Tania, yang kali pertama memelukku dengan begitu erat. Laksana seorang kakak yang ikut berempati dengan apa yang dirasakan adindanya. ”Sabar ya ukh… Jadikan sabar dan sholat sebagai penolong kita… Innallaha ma’as shobirin… Yakinlah ukh, Allah bersama orang-orang yang sabar…”

Aku mengangguk sembari membalas pelukan ustadzah Tania. Ia yang dulu men-ta’aruf-kan aku dengan Raditya. Boleh jadi, karena itulah, ustadzah Tania merasa ‘paling bertanggungjawab’ dengan pembatalan ini.

“Tapi, kita bisa menarik hikmah dari kejadian ini looh,” Bintang, salah satu sahabat terbaikku, berceloteh cepat, ”…besok-besok kalau mau isi formulir ta’aruf, kudu isi pertanyaan ‘Apa pernah punya ibu susu’? Siapa saja yang jadi saudara senasab’?”

“Aha! Bener banget ituuuu….”

Sebagaimana cewek pada umumnya, kami tenggelam dalam chit-chat dan ‘rumpian’ sana-sini. Tapi, insyaAllah, kami berupaya keras untuk menghindar dari ghibah. Yang jadi materi ‘rumpi’ kita adalah isu-isu kontemporer berkaitan agama dan dalil-dalilnya. Termasuk, masalah ibu susu itu.

“Salma…. ada tamu, Nak…” tiba-tiba Ayah muncul di antara kami semua. Di belakang Ayah, ada satu sosok yang mengenakan trench coat dipadu celana jeans. Plus, ia menggeret satu koper troli dan memanggul backpack. Tidak lain dan tidak bukan. Dia adalah….. Arya.

***

“Kalau begitu, kita pamit dulu ya…  Ukhti, istikhorohlah untuk mengambil keputusan penting dalam hidup… Assalamualaikum, Salma…. ” Ustadzah Tania melirikku lalu melirik Arya, penuh makna.

Syukron atas semuanya, ustadzah… Ukhti… I love youuu… Wa’alaikumsalam… ”

Setelah rekan-rekan muslimahku pergi, kini hanya ada aku dan Arya. Ayah pamit ke belakang sebentar, mau memperbaiki pompa air yang rewel, katanya. Padahal, perasaan, pompa air kami enggak error sama sekali tuh.

“Kok kamu udah datang?”

“Yap, aku re-schedule. Sori, aku baru landing, langsung dateng ke sini. Nih, bawa troli segede gaban. Aku datang karena email Radit.”

Arya menyodorkan androidnya ke arahku.

 “Assalamualaikum, Arya. ’Manusia boleh berencana, tapi Allah Yang Maha Menentukan.’ Sudah sering kita dengar kalimat ini. Kali ini, aku yang mengalami sendiri. Betapa Maha Besar Allah, sekuat apapun rencana kita, bila Allah berkehendak, maka tidak ada yang tidak mungkin bagi Ia. Ketahuilah, aku dan Salma adalah saudara sepersusuan. Kami haram menikah, sekuat apapun hasrat dan kehendak orangtua agar kami bisa bersanding. Walaupun berat, aku harus berupaya ikhlas. Ini semua sudah tertulis di lauhul mahfudz. Dan aku yakin, Salma akan menemukan jodoh yang memang se-kufu dengan ia. Aku googling mengenai dirimu, ketemulah alamat email ini. Yang ingin aku sampaikan adalah: kalau memang engkau dan Salma adalah jodoh, maka… kejar takdirmu! Sebagai adik sepersusuan, aku sangat ikhlas bila Salma menyempurnakan separuh agama, dengan lelaki sebaik engkau. Wassalam.”

“Undangannya udah dicetak kan?”

“Udah.”

“Oke. Tolong, jangan dibatalin. Ganti aja nama Raditya Abdurrahman dengan Arya Pramudya. Nanti kita print dan tempelin bareng-bareng. Aku sudah bilang ke papa-mama. Beliau berdua nggak keberatan. Dalam waktu dekat, insyaAllah, keluargaku siap datang ke sini untuk mengkhitbah kamu. Yaaa.. mungkin deket-deket dengan momen akad nikah kita. No problemo kan? Okeh, sekarang, kamu, apa ada pertanyaan??”

Nafasku tercekat. Speechless. Arya!! (t a m a t)

Advertisement

Author: @nurulrahma

aku bukan bocah biasa. aku luar biasa

19 thoughts on “[Fiksi] Bimbang (part 8)”

  1. Aaaaaaaarrggg !! Jodoh pasti bertemu ! sejauh apapun jarak yang membatasi, kalau sudah waktunya pasti ketemu. Uuuuu~ Mbak Nurul, ceritanya nyenyumin 😀 sayangnya uda tamat, hehe

  2. Mba Nuruuul aku ketinggalan yg part 7 😦 Arya, you’re so asdffgsdghjk hahaha. Yeay finally, dari awal aku lebih suka kalo Salma jadi sama Arya 🙂

  3. Bagus banget cerpennya, asyik nih buat bacaan pas senggang kalau lagi capek baca buku novel 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: