Edisi sebelumnya: Sebuah fakta dari masa silam mengandaskan semuanya. Raditya, ternyata saudara sepersusuan Salma. “Hal-hal dari hubungan persusuan diharamkan sebagaimana hal-hal tersebut diharamkan dari hubungan nasab.” (HR. Bukhari: 2645). Itu artinya, mereka berdua diharamkan melangsungkan pernikahan. Apakah kebimbangan Salma telah usai?
Edisi sebelumnya: Salma lagi-lagi disergap rasa tak biasa usai mengirim email undangan pernikahan buat Arya. Tak lama kemudian, Tante Brin datang dari Pekalongan, bersama Raditya dan ibunya Radit. Ada apa sebenarnya?
Ibu melangkah gembira menuju ruang tamu. Parasnya demikian cerah. Mata beningnya berbinar. Ibuku selalu riang manakala ada tamu yang berkunjung ke rumah. Kalau dalam seminggu, tak ada tamu yang datang, maka Ibu akan merasa gelisah dan sibuk bertanya-tanya “Kenapa? Kenapa nggak ada yang namu ya?” Secepat kilat, beliau akan menggelar pengajian sederhana. Mengundang beberapa tetangga. Motivasi awalnya? Supaya ada yang bertamu ke rumah! Agak “ajaib”, eh?
Apalagi, ketika tahu bahwa yang datang adalah “tamu spesial”. Pake telor. Ha ha. Yap, calon menantu kesayangan sekaligus calon besannya.
“Mbak, kenalin ini ibu Susi Astuti, ibundanya Raditya….”
Tante Susi masih menunduk lemah. Bahasa tubuhnya menunjukkan perempuan paruh baya ini berada dalam kondisi tidak nyaman. ”Mbak Elly inget sama bu Susi?”
“Hah?! Inget gimana? Wong ini kan baru pertama kali aku ketemu sama calon besanku. Gimana, perjalanannya tadi lancar kan, dari Pekalongan? Surabaya puanaaasss ya Jeng…”
Setengah dipaksa, tante Susi berusaha mengukir senyum. Radit juga salah tingkah. Ada apa ini?
“Mbak. Masak Mbak Elly nggak inget sama sekali? Bu Susi? Clarke Quay? Singapura?”
Alis ibuku mengernyit. “Kamu ngomong apa sih, Brin?”
***
Cerita Sabrina dan Ibunya Salma, 23 tahun lalu
“Briiiiin….! Seriusan nih, gue kudu berangkat ke Singapore? Pegimane nasib Salma anak gue, Briiin.. Dia kan masih bayiiik. Ntar gimana nyusunya?”
“Ya elah mbak Elly….! Jangan kayak orang susah, napa?? Noh. Di toko-toko udah banyak yang jual susu formula! Buat bayi baru brojol aja ada.”
“Enak aja lo! Gue maunya nyusuin Salma sampe umur 2 tahun, Briiiin…Gue bakal sedih banget nih kalo kudu ninggalin Salma. Seminggu! Ya ampun, ibu macam apa gue, yang ninggalin oroknya…”
Mbak Elly mulai menangis. Doh. Ngimpi apa, Bang Ganjar punya bini macem doi! Labilnya gak ketulungan! Sejak zaman prawan ting ting, doi mupeng keliling dunia. Trus, semangat membabi buta ngajakin gue ikutan MLM. “Enakan ikut MLM ini nih… lo bisa ngedapetin kebebasan finansial! Bonusnya menggiurkan, dan lo bisa jalan-jalan keliling dunia….!” itu motivasi yang bikin kuping gue budeg saban hari. Ya wis. Walhasil, kami berdua—si sodara ipar yang sama-sama gahool to the max ini—berjibaku jualan barang-barang food container berbasis MLM. Nelponin temen kuliah-SMA-SMP-SD-TK *blaaah!!*, janjian presentasi, memprospek sampe berbusa-busa, pokoke gimana caranya, kita kudu dapat downline sebanyaaak mungkin! Duit, duit, duiiit, come to mama, hahaha…!
Kerja keras kita berdua membuahkan hasil. Gara-gara point yang super-duper-yahud, kami berdua dapat reward berupa East-Asian-Conference bagi para Top-Manager MLM di Singaporeeee…!! Yuhuuu, hepiii beraats neeiik! Untuk pertama kalinya dalam hidup, gue bakalan menginjakkan kaki di bumi Singapura. O yeah!!
Masalahnya adalah, kakak ipar gue a.k.a mbak Elly ini lagi punya orok. Kudu ngasih ASI. Galau kan? Mau ngajak Salma, jelas impossible. Tapi, eman-eman rasanya kalau kita nggak ikutan acara ini. Bukankah ini impian kita berdua, dari dulu kala?
“Toh, Bang Ganjar udah kasih izin kan mba? Ayolaah, kapan lagi mbak, kita ke Singapore gratisan?”
Mbak Elly memasang wajah sendu. Ia sibuk menyetok ASI perah di kulkas. Buat konsumsinya Salma, selama kita tinggal ke Singapore. Kalaupun kurang, aku yakin, Bang Ganjar dengan kesabaran lebih luas dari samudera, siap merawat Salma. Cuma seminggu kok.
***
Kami berdua baru saja melangkahkan kaki menuju Clarke Quay Singapore. Sambil menjilat-jilat es krim uncle Singapore yang, jujur aja, rasanya mirip es puter. Tapi, karena belinya di Singapore ya neiiik, jadi agak ngehits gituh, haha!
Lalu, duo wanita kece ini duduk-duduk dengan elegan di depan Singapore River. ”Gila yak, Singapore ini. Wisata sungai macam ginian aja, bisa larisss getoh! Mestinya di Surabaya bisa bikin kayak ginian dong ya.. ha ha ha….” Biasaaaa, kalo ada dua cewek lagi nongkrong, bisa dipastikan celotehnya adalah sibuk komentar ‘mestinya begini’ ‘harusnya begitu’.
Ketika es krim sudah nyaris tandas, tiba-tiba gue denger suara tangis bayi. Waduh.
“Brin, lo denger suara bayi nangis kan? Perasaan gue enggak bawa Salma deh.”
“Ya elaaah mbaaa… Emangnya bayi di dunia ini cuman Salma doang?”
Makin lama, tangis bayi itu kian keras. Samar-samar, gue ngeliat satu ibu-ibu yang masih muda banget, sibuk menenangkan bayinya. Ibu itu pakai baju yang amat lusuh. Mungkin udah berhari-hari belum ganti. Bayinya terus meronta. Tangis yang tak kunjung reda, ditambah tendangan yang dilakukan sekuat tenaga. Normalnya, manusia manapun pasti sebal jika diperlakukan seperti itu. Tapi, heiii… wanita itu ibunya. Ibunya. Ibunya. “Malaikat” yang mendampingi si bayi, bahkan sejak sembilan bulan, si bayi berada dalam perut ibunya.
“Sabar Naaak… Sabaaarr… Ini Ibu cari ayah dulu ya Naaak….”
“Oeeeekkk…. oeeekkkkk…..”
“Mbak. Kayaknya bayik itu sarapan toa deh. Nangisnya kenceng banget.”
“Huusshh, Brin! Lo tega amat. Eh, dari tampangnya sih, kayaknya doi orang Indonesia lho. Samperin yuk.”
Setelah ngobrol sejenak, terungkaplah fakta bahwa perempuan ini datang ke Singapore untuk bertemu suaminya, yang jadi TKI. Mungkin saking excited-nya pergi ke luar negeri, dia jalan agak jauh dari sang suami, daan…. mereka terpisah. Sedih. Masalahnya, doi ga pegang duit sepeserpun. Semua barang dibawa suami. Si ibu muda ini mumet nggak tahu mesti ngapain. Mau lapor polisi, takut ditangkep, karena paspornya juga di suami! Saking stresnya, ASI doi mampet, dan, bayinya haussss banget! Bagoooss.
“Oh. Kalo gitu, mbaknya tidur di hotel kami aja. Nanti coba minum ASI saya ya. Saya juga lagi menyusui, cuma bayi saya di Indonesia,” kata mbak Elly, cepat.
Aku menyikutnya. Sambil mengirim kode, “Mbak, are you sure? Pegimana jikalau, she’s a liar? Just create a sad story to get our money?”
Mbak Elly menggeleng perlahan. ”Bismillah. Allah pasti menjaga niat baik kita.”
***
Bayi itu dengan lahapnya menyusu pada Mbak Elly. Mata beningnya indaah sekali. Seolah ia ingin berkata, ”Makasih, tante. Aku udah nggak laper lagi. Tante cantik deh”
Mbak Elly mengelus pipi bayi tanpa dosa itu. ”Ganteng banget kamu, Nak. Yang kuat ya. Sebentar lagi, InsyaAllah ayah kamu dateng kok Nak.”
Gue ikut bahagia melihat pemandangan indah ini. Seorang ibu muda yang lagi ikut konferensi MLM, rela menyusui bayi-entah-emaknya-bohong-apa-kagak, dengan ikhlas dan menikmati banget! Seolah, bayi yang mengisap ASI-nya adalah anak kandungnya sendiri.
“Yang kenyang ya, nyusunya. Gapapa. Mbak tinggal ama kita di hotel ini. Saya bisa tidur satu kasur ama Sabrina. Mbak sama bayinya. Kita seminggu di sini. InsyaAllah aku bantu untuk cari suaminya yaa. O iyaaa… si ganteng pipi gembul ini namanya siapa?”
“Raditya, mbak. Raditya Abdurrahman.”
***
Kembali ke 2015
Persendian tubuhku rasanya prothol. Copot satu demi satu. Jadiii… Jadiii… Raditya?? Calon suamiku ini ternyata…??
“Raditya adalah saudara sepersusuan Salma. Sekarang, mbak Elly sudah ingat kan? Perempuan yang ketemu kita di Singapura 24 tahun lalu adalah mbak Susi. Ibu kandungnya Raditya. Seingatku, selama 7 hari, Mbak Elly terus-menerus memberi ASI pada Radit.” Kalimat tante Brin diucapkan dengan begitu halus. Namun, seolah mengirimkan ribuan jarum akupunktur tepat ke ulu hati.
Mata ibuku terpejam. Pelan, buliran airmata membasah di parasnya. Baru kali ini, ibuku menangis di hadapan tamunya. Di hadapan calon besan sekaligus calon menantunya.
“Maafkan saya, Mbak. Sebenarnya, kekacauan ini tak perlu terjadi kalau saya berani ngomong dari awal. Ketika Radit bilang bahwa ia akan menikah dengan Salma, dan ibunya bernama Elly Trisna Zubaidah, saya tahu persis bahwa ini adalah Mbak Elly, yang dulu menolong kami dengan begitu ikhlas. Saya tidak tega merebut kebahagiaan anak saya, saya tidak mau kehilangan kesempatan berbesan dengan perempuan semulia Mbak Elly… Sayaa… sayaaa… Astaghfirullah… Mbak Elly….”
Edisi Sebelumnya: Momen akad nikah Salma dan Raditya kian dekat. Hari-hari Salma diisi dengan kesibukan menyipkan aneka persiapan jelang ikrar suci. Memilih gaun pengantin, berkoordinasi dengan pihak wedding organizer, pesan gedung, catering, dan sebagainya. Termasuk mengirimkan undangan. Pertanyaannya, apakah Arya masuk daftar tamu dalam tasyakuran (resepsi) pernikahan ini?
Ibu bertanya pelan. Nada suaranya amat lunak. Seolah-olah, Ibu tak lagi menganggap Arya adalah ‘duri’ yang harus dienyahkan sesegera mungkin dari lubuk hati putri kesayangannya. Entahlah. Terkadang, semakin kuat kita berupaya mengeliminir nama seseorang, maka semakin deraslah memori-memori yang berlompatan, tanpa mengenal jeda.
“Arya… sepertinya lagi di Eropa, Ibu. Dia ada urusan kantor. Sama, kalo nggak salah, mau ngurus beasiswa.”
Ibu berdecak kagum. ”Itu anak, emang luar biasa ya? Semangat duniawinya menakjubkan.”
Apa ini perasaanku saja, tapi aku menangkap nada ‘nyinyir’ dalam kata ‘duniawi’. Seolah-olah ibu menganggap, apapun yang dilakukan Arya selalu berorientasi duniawi. Padahal? Hati orang, siapa yang tahu?
Aku tersenyum sambil menggigit bibir. Ciri khasku, ketika tengah kalut, itu yang dibilang Arya suatu ketika. Tanganku menggenggam satu undangan dengan begitu kuat. Rencananya, surat ini mau aku scan, lalu aku email ke dia. Tapi, pertanyaannya, apa iya Arya harus masuk daftar tamu?
***
Assalamualaikum, Arya. Apa kabar? Masih di Eropa ya? Kapan balik ke Indonesia? Nggh, gini. Aku mau undang kamu. Ke acara kawinanku. Datang ya. Ini undangannya aku lampirkan. Thanks.
Kirim… enggak… kirim… enggak. Duh. Susah amat jadi manusia dewasa? Ngirim undangan aja maju-mundur. Aah, bodo amat deh.
Tapii, kenapa surat ini begitu datar dan straight to the point? Tidakkah ini terlalu ‘kasar’? Oke, oke. Aku edit bentar deh.
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Buat Arya, saudara seiman yang dirahmati Allah.
Apa kabar, Arya? Semoga Allah senantiasa memberikan limpahan rizki dan keberkahan untuk engkau. Seorang mukmin yang begitu giat mencari ilmu maka malaikat mengepakkan sayap pertanda ridho kepadanya. Sungguh, aku salut akan semangat, kerja keras dan cerdas yang engkau lakukan. Agama ini butuh sosok seperti dirimu, Arya. Semoga Islam makin jaya dengan hadirnya generasi emas, yang siap menunjukkan pada dunia, bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Seperti yang sempat saya singgung, insyaAllah saya sudah bertemu sosok yang menjadi imam kehidupan. Namanya, Raditya. Ia laki-laki baik dan bertanggungjawab. Kami sudah melalui proses ta’aruf yang insyaAllah cukup memantapkan hati. Maka, dengan ini, saya sebagai saudara seiman, mengundang engkau untuk datang ke tasyakuran pernikahan kami. Semoga, pada hari akad nikah, engkau sudah berada di Indonesia.
Terima kasih sudah menjadi teman terbaik bagi saya. Di lubuk hati yang terdalam, saya yakin, Allah selalu mempersaudarakan kita semua, di dunia hingga di akherat kelak.
Wassalam,
Salma.
Tombol send… mana tombol send…. wait! Kenapa emailnya melankolis gini? Duh. Ini apa-apaan? Pakai bawa Islam rahmatan lil ‘alamin? Arya kaaan, alumnus Oxford? Mana peduli dia dengan Islam-Islaman macam gini? Apalagi, Ibu juga bilang, Arya sangat duniawi-oriented banget.
No… noo…. ntar dia GR lagi, dapat email ginian. Dikiranya aku masih ngarep. Gak bisa move on. Idih, no way!
Baiklah. Aku tulis surat yang lebih simple aja lah.
Assalamualaikum.
Hai, Arya. Gimana kabar? Makin membahana aja yak, karir dan kuliah kamu. Siiip, siip. Really proud of you, bro J Eh, btw, aku mau merit loh. Dateng yak. Udah, dateng ajaaa. Ini undangannya aku attach. Awas lo, kalo kagak dateng. Hehehe
Wassalam
Message Sent
***
“Salma. Punya akun skype kan? Skype-an sebentar yuk. Ada yang mau aku obrolin. Gak lama kok. 10 menitan.”
Yaaaaaa… dia ngajak skype. Aku kudu piyee? Oke, Salma. Tarik napas. Inhale…. exhale… inhale… exhale… Bismillah. Sekaliii ini aja. Sebelum aku jadi istri orang.
“Assalamualaikum, Arya.”
Nada suara aku bikin nyantai, rileks, dan sok girang. Padahaal…
“Waalaikumsalam. Kamu tahu nggak, aku lagi dimana?”
Kuamati background tempat Arya ber-skype. Ada bangunan mblenduk di belakangnya. Bertuliskan “Allianz”
“Masya Allah…. Kamuuu… Kamuuuu… di Allianz Arena! Bayern Muenchen! Ya ampuuun…!” Refleks aku membelalakkan mata. Ini kaaan, mimpi aku dari duluuu…!
“Hehehe… Guten Morgen, Ich bin in der Munchen.”
“Hiiihhh, Arya jahaaat…!”
“Hahahhaa…!”
Aku tahu, dia pasti sengaja melakukan hal ini. Sengaja bikin aku sakit hati, dengan sok narsis bin eksis di depan stadion ini. Dia tahu banget kalau aku ngefans sama gaya permainan tim panser Jerman. Sudah dari duluuu banget, Jerman masuk wish list untuk destinasi traveling. Sampai detik ini, impian itu tak kunjung tercapai. Dan, Arya?? Huh, nggak sopan banget dia!
“Kamu sengaja pamer kan? Bikin aku sakit hati banget tau gak. Huh! Alesan pake ngajak skype-an segala.”
“Hahaha…. Sabar, Salma. Calon pengantin harus sabar dong. Nggak boleh sering cemberut, apalagi marah-marah. Ntar tamunya pada ngibrit lo. ”
Mak klakep. Selalu begitu. Arya selalu punya jurus jitu untuk membuat nyap-nyapku berhenti seketika. Dia juga selalu pegang kendali untuk mengarahkan ke mana obrolan kami bermuara.
”Nggh, kamu udah baca email yang aku kirim kan? Gimana, bisa dateng nggak?”
“InsyaAllah. InsyaAllah, aku datang…pas banget, tanggal segitu aku insyaAllah udah ada di Surabaya. Ada acara sama salah satu non government organization di sana.”
Sejak kapan Arya jadi sedemikian religius? Dalam satu tarikan nafas, ia menyebut kata ‘insyaAllah’ sebanyak tiga kali. I know him very well. Nggak biasanya, dia begitu royal menebar kosakata Islam.
“Oh, Alhamdulillah kalau gitu. Kirain kamu terlalu sibuk, ngurus kerjaan sama MAIN SEPAKBOLA di ALLIANZ ARENA.”
“Hahahha… udah dooong sewotnya. Banyak yang bilang, sebelum nikah, manten itu ngadepin banyak ujian. Rentan bikin stres. Jangan sampai kayak gitu ya. Pokoknya kamu harus ikhlas menikah, karena Allah. Tunjukkan kalau keputusanmu untuk melangkahkan kaki ke jenjang pernikahan, karena kamu taat akan perintah Allah dan tuntunan dari Rasul.”
“O my! Ini beneran Arya yang ngomong? Kok kamu jadi kayak Aa’ Gym kw super gini?”
“Ini kayak bukan Arya banget. This is sooo not you.”
“People do change, Salma. Rugi amat kalau sampe detik ini aku begini-begini aja. Terus mengejar pada dunia yang bagaikan minum air di lautan. Semakin diminum, rasanya semakin haus kan?”
“Nggh, maksud kamu?”
Arya berganti posisi. Ia berdehem sejenak, lalu menghembuskan napas perlahan. Tampak, balon uap ala-ala semburan napas orang-orang di Eropa.
“Begini. Sejak kuliah di Oxford, aku gabung di semacam lembaga kajian keislaman lokal. Ada ustadz yang menyemangati aku untuk terus aktif di forum ini. Apalagi, tahu sendiri kan, beberapa masyarakat masih punya stereotip buruk terhadap Islam. Beberapa, bukan semua. Nah, kami-kami yang masih muda ini ditugasi untuk membimbing mualaf, lalu charity ke panti jompo ke tempat orang-orang nggak mampu. Semacam itu. Dan, aku makin bangga jadi orang Islam…”
Oh. Apa karena itu, kamu sama sekali nggak mengontak aku, selama tinggal di Inggris?
“Nah, masalah jodoh dan sebagainya juga kerap dibahas di kajian. Tadinya aku juga sempat protes, kenapa kok aku tak bisa berjodoh dengan perempuan yang aku mau? Lalu aku mencoba menenangkan diri. Bahwa, tidak semua hal yang menurut kita baik, adalah hal yang juga baik di mata Allah. Kita tidak pernah tahu, bagaimana rahasia yang sedang dipersiapkan Allah untuk kita. Karena itu, aku belajar untuk ikhlas. Dan mendoakan saudara seimanku yang sedang berusaha menyempurnakan separuh agamanya…”
Buru-buru kupencet tombol sign out. Lalu kukirim pesan pada Arya, lewat emailnya. “Maaf, lagi fakir bandwith. Gak bisa skype-an lagi. Makasih ya. Salam buat Joachim Low.”
Aku mengetik sembari menahan derasnya air mata, yang tak bisa kubendung. Plus, perihnya hati yang demikian mengiris.
***
“Salmaaaa…” suara cempreng terdengar lagi. Itu kan, suara Tante Brin? Loh, dia udah balik dari Pekalongan? Sama Raditya juga? Dan, siapa itu? Seorang perempuan berwajah teduh, yang selalu menundukkan pandangan.
“Eh, tante… Masuk, masuuuk… Engggh, monggo, silakan masuk, tante…” aku berkata pada di perempuan berwajah teduh itu.
“Ini ibundanya Raditya. Ada yang ingin kita bicarakan. Penting. Pake bingits. Ibu kamu mana?”
“Ada. Bentar ya, aku panggil bentar. Monggo, monggo…”
Aneh. Ada sesuatu yang aneh. Wajah Radit begitu tegang. Sementara ibundanya tampak begitu layu. Entahlah, ada apa sebenarnya? (b e r s a m b u n g)
Ini adalah cerita remaja bersambung. Anda bisa mengikuti part 1,2,3,4 di sini
Edisi Sebelumnya: Semakin hari, Salma kian mendapatkan beragam ‘clue’ bahwa Raditya adalah jodoh terbaik untuknya. Ayah-ibunda pro-Raditya. Begitu pula dengan beberapa famili Salma. Bahkan, para om dan tante mendesak Salma agar akad nikahnya dimajukan. Kemudian, datanglah Tante Sabrina—salah satu tante ‘gaul’ yang amat akrab dengan Salma—yang juga turut mendukung nama Raditya.
“Salmaaa…. Salmaaaa…. ups. Lagi ‘girls talk’ sama Tante Sabrina ya? Ya udah. Sekalian aja ya, kita bahas di sini. Ini lho, nduk, ibu udah cariin wedding organizer untuk kamu. Gedungnya insya Allah di Hall An-Nuur. Trus, kateringnya juga udah ibu cariin. Sekarang, kamu pilih, mau pakai gaun pengantin yang mana? Ini udah dibawain sama Jeung Melati, yang punya wedding organizer. Ayo, dilihat… Trus kamu coba ya? Brin, kamu juga kasih masukan dong, buat Salma?”
Ibu memberondong laksana meriam confetti yang tak kenal kata berhenti. Pagi hariku yang cerah ceria berganti warna. Aku menghembuskan napas. Berat. Tante Brin melirikku penuh arti. ”Ayo, bride-to-be, coba dilihat tuh kebayanya… Eh, ada nggak, yang model Anne Avantie?”
“Husshh!! Emangnya Salma cewek apaan???” ibu mendengus sebal. ”Aku cuma cariin kostum yang syar’i. Walaupun jadi pengantin, Salma nggak boleh kehilangan identitasnya sebagai seorang muslimah. Aurat harus terbungkus rapat. Nanti, make-upnya juga kudu soft. Pulasannya nggak boleh tabarruj alias dandan berlebihan. Aku maunya, wedding Salma nanti kayak Oki Sektiana Dewi. Semua serba Islami, hijabnya juga panjang menjuntai…”
“Wohooo… how cool is that, Salma darling?? Musiknya timur tengah juga dong, Mbak? Waw, enggak sabar deh, pengin lihat wedding of the year! Sini, sini… aku bantuin pilih kostum yang cucoook buat lo, saay… Wuits.. ini warnanya putih-putih ala Kate Middleton… Whoops, ada yang shocking pink, keren bingits nih! Etapi, gue juga kudu lihat potonya Raditya siiih, gue kudu tahu dia oke apa kagak pake baju macem begindang… Lo ada potonya Radit??”
Pagiku terasa begitu berisik. Dua manusia dewasa menghujaniku dengan rangkaian kata yang tak kenal kata jeda.
***
Tante Brin sibuk melihat akun Facebook Raditya Abdurrahman. Mata belonya memandang tajam, dari satu foto ke foto yang lain. ”Nih bocah kagak ada narsis-narsisnya blas! Mosok setiap foto selalu barengan ama temen-temen SKI-laah.. temen kajian-laah… Muke die kan kagak jelassss! Pegimane gue bisa tahu kalo tampang doi bisa cocok dengan baju mantennya?? Arrrghhh!!”
“Ya udahlah tantee.. Kemungkinan besar, akhi Radit juga pasrah bongkokan kok, dengan kostum apapun yang bakal dia pakai. Asal, jangan pakai kostum Teletubbies aja…”
“Garing banget sih lo!”
Aku ngikik melihat tanteku sewot. Lumayan… keberadaan Tante Brin paling tidak bisa menjadi “hiburan” untuk hatiku yang tengah terhimpit. Yap, terhimpit sebuah kenyataan, bahwa hari terus berjalan, dan detik tak pernah melangkah mundur… Lah, kayak iklannya AADC-Line yak?
Hehehe… Baiklah, harus aku akui, bahwa aku dilanda stres level dewa. Aku akan menikah dengan laki-laki yang belum bisa menerbitkan rasa apapun di hati. Dan, dengan berat hati, aku harus segera melepaskan jerat seorang pria yang telah menjadi pemicu detak jantung ini. Loh, sekarang kayak lagu “Pemeran Utama”-nya Raisa, hahaha… #heavy-stress-detected
“Salma!!”
Jus stroberi yang hendak kuteguk mendadak muncrat. “Apaan sih, Nte? Jangan bikin kaget, napa?”
“Aku mau nanya nih. Ini serius. Banget. Ini fotonya siapa?”
Aku lihat foto seorang perempuan yang ada di akun Raditya. Ia tengah menggendong seorang bayi—mungkin berusia sekitar 8 bulan—dengan latar belakang Merlion, patung singa khas Singapura.
“Oooh… ini ibunya Radit… Dulu, pas Radit bayi, sempat diajak bapak-ibunya kerja di Singapura… Kalau nggak salah, bapaknya kerja jadi semacam TKI gitu lo, Ntee.. Nah, ibu dan anaknya juga diajak…”
“Waktu lamaran kemarin, ibunya Radit ikut ke sini?”
“Nggak, nte. Lagi nggak enak badan katanya. Yang kesini ayah Radit ama paman-pamannya gitu. Kenapa sih?”
“… nggh… lalu, apakah mereka sempat terpisah? Waktu di Singapura?”
“Enggak… enggak apa-apa…. Aku cuma, nggh… ehhh, si Radit itu aslinya mana ya?”
“Pekalongan. Kenapa nte?”
“Oh, Pekalongan yak? Wah, pas banget nih… Beberapa temen aku pesen batik asli pekalongan. Mungkin, kalo aku langsung kulakan di sana, bisa dapat corak dan harga yang sip! Eh, kasih aku nomornya Radit dong.. Aku mau nanya-nanya ke dia, soal sentra batik Pekalongan…”
Aku mengambil ponsel perlahan. Pandangan mata Tante Brin masih belum beranjak dari akun FB Raditya. Hmm, kok, firasatku mengatakan, tante favoritku ini merahasiakan sesuatu ya?
***
Dua hari kemudian. Di kantor wedding organizer.
“Iya Jeung Melati… ambil yang soft pink aja.. Nanti, manten lakinya pake baju merah marun itu loo.. Kan udah senada tho yaaa.. Iyaaa… calon mantu saya itu guanteeeng, jeung, hehehe… Sholiiih lagii, mohon doanya ya jeung…“
“Putrinya Jeung juga ayu tenan kok. Wajahnya aristokrat, ala-ala putri kerajaan gitu, ya mirip ibundanya tho…”
“Waduuuh, jeung Melati ini, bisaa ajaa kalo bikin GR pagi-pagi, hihihi.. Jangan lupa ya jeung, ntar make-upnya soft aja.. O iya, undangannya dibikin warna pink soft juga yaa… Gelarnya Salma dicantumin juga aja… Raditya juga… Kan udah kuliah susah-susah, mbayarnya mahal, eman-eman tho kalo gak dicantumin…”
Untuk kali pertama, aku angkat bicara dalam obrolan rempong ini. “Nggh, maaf Ibu. Untuk gelarnya, Salma rasa, lebih baik nggak perlu dicantumin…”
“Lho? Kenapa? Kan biar tamu-tamunya ibu tahu, kalau kamu itu sudah lulus dari kampus Fakultas Ekonomi! Cum laude lagi. Kalau perlu, IPK-mu ibu taruh di undangan juga lo. Ibu juga ingin menghormati keluarga Raditya. Mereka kan bahagia, kalau gelar anaknya dicantumkan di undangan. Sarjana Elektro! Kamu kira gampang kuliah di elektro? Wah, praktikumnya beraaat! Berdarah-darah loh, perjuangan di kampus itu…”
“Maaf, Ibu. Sekali lagi, Salma minta maaf. Kalau dalam dunia pendidikan atau pekerjaan, mencantumkan gelar akademis memang masih relevan. Tapi, ini kan masalah personal. Sebuah tasyakuran pernikahan yang tidak ada urusannya dengan gelar kami. Apakah kami sarjana Ekonomi, atau elektro, sama sekali tak ada kaitannya kan?”
”Haduuuh, Salmaa… kamu ini! Udahlah, kamu manut aja sama Ibu… Ibu udah cukup makan asam garam dengan hal beginian… Kemarin Pak Prayit waktu nikahin anaknya juga nyantumin gelar kok.. Biar tamu-tamu juga tahu, bahwa orangtua kalian sungguh-sungguh berjuang, ngabisin duit banyak untuk kelulusan kuliah kalian..”
“Ibu. Bukan maksud Salma tidak menghargai pengorbanan yang Ibu berikan. Sungguh, Salma sangat-sangat berterima kasih atas semua yang sudah Ibu dan Ayah berikan. Tapi, kita haruuus berhati-hati Ibu, jangan-jangan apa yang kita inginkan untuk mencantumkan gelar di undangan , adalah sebuah bisikan hati yang berujung riya’? Karena riya’ itu menelusup dengan begitu lembut… dan, terkadang kita tidak merasakannya… Ibu yang mengajarkan kepada saya untuk selalu berhati-hati dengan hati. Niat kita harus lurus. Harus ikhlas. Nggak boleh ada ujub sedikitpun. Salma ingin kita berdiri kokoh di prinsip itu.”
***
Baju pengantin, checked. Perias manten, checked. Gedung, checked. MC, pagar bagus, pagar ayu, nasyid yang isi acara, checked. Dokumentasi wedding, checked. Catering, checked. Undangan, checked. Dan, Alhamdulillah, ibu setuju untuk tak mencantumkan gelar. Pfff, lega…!
Sekarang, tugasku berikutnya adalah, mencetak daftar tamu. Duh, duh… banyak bingits yang mau diundang Ayah-ibu… Daftar namanya 500! Masya Allah…
“Itu aja masih banyak yang belum diundang lho, Nduk.. Duh, gimana yaa… Kalau temen-temen ibu yang gak diundang pada protes.. Ya udahlah… tawakkal aja…”
Aku memijit punggung tangan ibu. Pernikahan putri tunggalnya ini rentan menerbitkan stres kecil. ”Santai saja, Ibu. InsyaAllah, Salma print-kan nama-nama undangan ya? Nanti, Salma minta bantuan teman-teman untuk mengirimkan.”
“O iya, jangan lupa, Raditya juga kamu tugasin untuk kirim-kirim undangan juga…”
“Siaap, Ibu… insyaAllah…”
“Siiip… eh iya… ibu baru keinget nih. Arya, kamu undang nggak?”
Nama itu lagi. Arya. Aku terkesiap. Mataku nanar, seolah menyaksikan sekelebat penampakan yang tiba-tiba datang.(b e r s a m b u n g)
Ini adalah cerita bersambung yang saya tulis dengan sepenuh Jiwa. Untuk bagian 1 dan bagian 2, sila klik ini dan itu yaaa….
Cerita Remaja edisi lalu: Salma berterus terang pada Raditya, mengenai rasa bimbang yang bersemayam di hati. Ia tak yakin dengan ide menikah dengan Raditya. Ya, kehadiran Arya telah memporakporandakan jiwa Salma. Raditya mendengar penjelasan Salma, dan menawarkan opsi untuk batal khitbah.
Cerita sebelumnya: Arya, sahabat masa kecil yang begitu cerdas, tiba-tiba hadir dalam kehidupan Salma. Padahal, Salma sudah di-khitbah oleh Raditya. Apa yang akan dilakukan Salma? Siapa yang terpilih menjadi pendamping hidupnya?
Life’s like a multiple choice question, sometimes the choices confuse you, not the question itself.
Aku tersenyum kecut. Quote yang berseliweran di timeline twitter ini hak jleb banget. Sangat menohok. Apalagi, kalau dikaitkan dengan kondisi hatiku saat ini. Ahaaii, wahai hati, hati yang begitu rapuh, apa kabar kamu hari ini?
“Menikah itu mudah. Asalkan dilandasi niat untuk beribadah, sebagai wujud penghambaan pada Allah, dan niat berdakwah, maka Allah akan mempermudah itu semua. Allah yang akan memilihkan pasangan terbaik untuk hamba-Nya yang taat dan bertaqwa.” Masih kuingat tausiyah Ustadzah Tania tempo hari. Ya. Aku sepakat dengan kalimat yang ia gulirkan. Menikah itu, bagi beberapa orang, memang mudah. Mendapatkan jodoh, bagi beberapa orang, memang tampak seperti, yaaa… seperti sedang memilih baju yang akan dipakai hari ini. Gampil. Simpel. Banget. Dan, di mata beberapa orang, apa yang aku alami, memang terlihat sederhana. Sangat menyenangkan, membahagiakan, sekaligus inspiratif.
“Subhanallah… Jadi, anti sudah dilamar Raditya? Barakallah, semoga semuanya lancar yaa…”
“Anti memang cocok dengan Radit. Kalian berdua insya Allah bisa jadi pasangan dakwah yang saling menguatkan…”
Begitulah. Nyaris sulit menemukan teman yang tak setuju atas perjodohan—ups, ta’aruf—kami. Semua sepakat bahwa aku dan Radit adalah “dua jiwa yang ditakdirkan untuk bersatu”.
Sampai…. sampai ketika Arya datang. Keberadaan dia memporakporandakan sebongkah hati yang begitu lemah. Tiba-tiba, fragmen kebersamaan aku dan dia, terputar di benak. Aku bisa saksikan kepingan kenangan yang terajut. Ketika kami sedang jalan-jalan di toko alat elektronik. Dan, aku memegang sebuah “harta karun” bernama flashdisk.
“Arya! Lihat ini!”
“Apaan? Ya ampun, cuma flashdisk? Kenapa sampai histeris sih?”
“Inii… kayaknya aku harus punya ini deh. Aku bisa simpan file-file tulisan yang aku tulis di lab komputer sekolah, trus nanti aku bisa kirimkan email cerpen-cerpenku dari warnet. Iiih, keren banget kan?”
“Ya udah. Beli aja gih. Gitu aja heboh amat.”
“Iiih, Arya! Komentar yang lebih asik dikit, napa? Berapa nih yaa… harganyaa… E yaampuuun, 200 ribu dong?! Giling!”
Laki-laki si remaja tanggung di sebelahku itu tersenyum sinis. ”Napa? Beli aja! Katanya mau nge-save cerpen pake itu?”
“Iyaaa… tapiii, mihiiil banget, Arya…. Hiks…”
“Ya, kamu nabung dulu aja.”
Duh. Hatiku perih, demi merelakan sebuah fakta, bahwa saat itu aku tak bisa membawa pulang flashdisk idaman. Tapi, Tuhan rupanya tak mengizinkan aku berlama-lama berkubang dalam perih. Karena, di ulang tahunku, ada hamba-Nya yang datang, mengirimkan sebuah kado mungil, berbungkus kertas sampul cokelat, persis seperti yang dipakai anak SD untuk menyampuli buku tulisnya.
Aku ngikik. “Ndeso banget sih bungkusnya? Pasti isinya nggak kalah ndeso. Mi Anak Mas? Atau, cokelat Superman? Atau, jangan-jangan… telor cicak, hahahah…”
Mataku terbelalak. Hatiku? Apalagi. Meleleh. “Aryaa… ini kan mahal….”
“Gapapa. Aku udah planning sejak lama. Kamu memang butuh barang itu. Supaya cerpen-cerpenmu bisa dimuat di banyak majalah. Dan, impianmu untuk jadi penulis kondang bisa segera kamu raih. Mulai sekarang, kamu kudu lebih rajin nulis yaaa…”
So sweet… Manusia satu ini, memang sulit sekali dienyahkan dari memori. Sikapnya memang kadang nyinyir. Acapkali jutek. Tapi, itu tak menghalangi kelembutan plus perhatian yang bercokol di hatinya. Aku menggenggam flashdisk itu erat-erat. Seperti aku menggenggam sebuah rasa, yang entah sampai kapan aku pendam dalam dada.
***
Itulah. Terkadang, apa yang nampak di permukaan tak melulu sesuai dengan isi hati. Raditya memang baik. Tak perlu ragu soal itu. Tapi, apa iya, Raditya si manusia baik itu memang benar-benar jodoh yang tepat untuk aku? Ayah-ibuku begitu bersemangat ketika Raditya dan keluarga besarnya serius meng-khitbah. Terlebih, ia dengan begitu tangkasnya, menirukan ucapan Bilal Bin Rabbah, tatkala meminang shalihaat idamannya. “Jika Bapak-Ibu menerima pinangan kami, maka segala puji bagi Allah. Jika Bapak-Ibu tidak menerima, maka Allah adalah Tuhan Yang Maha Besar….”
Melting. Hati kami semua langsung meleleh, detik itu juga. Untuk beberapa saat, aku dihampiri sebuah eureka, “This is it! Ini dia imamku!” Aku mantap dipilih dan memilih dia. Aku mantap bersanding dengan tukang insinyur elektro ini. Rasa mantap itu kuperoleh dari sholat istikharah, tahajud dan beragam ibadah sunnah lainnya. Seperti yang disarankan Ustadzah Tania.
Namun, ketika rasa mantap itu sudah tampak begitu membulat, rupanya ada letupan rasa lain, yang menyeruak tanpa permisi. Apa yang harus aku lakukan? Waktu berjalan begitu cepat. Aku hanya punya waktu dua bulan untuk memutuskan, siapakah yang aku pilih? Aku menghormati Raditya. Aku respek dan salut pada dia. Tapi, Arya? Arya adalah satu-satunya orang yang bisa memberikan efek butterfly in my stomach. Bersama Arya, hidupku semakin hidup. Arya, dia satu-satunya orang yang bisa menggoreskan pelangi di langit hidup nan kelam.
Tapi, sangat tidak adil, kalau kemudian aku meninggalkan Raditya begitu saja. Aku harus bicara pada dia. Harus.
“Assalamualaikum, halo, ini dengan akhi Raditya?”
“Waalaikumsalam, iya ukhti. Bagaimana? Oh, tunggu sebentar yaa… Ada teman yang lagi manggil-manggil aku, sebentar yaa… teleponnya jangan ditutup dulu… Wooiii… ada apa?? Ntar, bentar lagi aku beresin network-nya…! Tunggu bentar nih, nanggung… calon istriku lagi nelpon….!”
Calon istri.
Raditya berkata pada teman-temannya, bahwa sang “calon istri” tengah menelepon, dan minta untuk tidak diganggu sejenak. Calon istri. Kupingku tidak salah dengar. Calon istri.
“Iya, Salma. Ada apa ya?”
Aku membisu. Hanya buliran air yang menetes pelan. Lalu menggenangi kedua bola mataku. Tegakah aku? Tegakah aku mengatakan kondisi hati yang sebenarnya pada pria baik yang menyebutku sebagai “calon istri”?
***
Ini kesempatan terakhir, untuk menunjukkan bahwa aku tengah dilanda bimbang. Raditya harus tahu. Kami bertemu di sebuah cafe sederhana. Berkali-kali kuaduk milk shake yang sudah nggak jelas teksturnya.
”Nggak tahu kenapa, aku merasa, aku belum siap untuk berlanjut ke pelaminan, dengan kamu…”
“Karena… ada…. Arya?!” suara Raditya terdengar sedikit serak. Mungkin, hatinya tengah berpacu, melawan amarah yang siap tumpah.
“Maafkan aku… Aku tak tahu harus berbuat apa…”
Raditya menghembuskan nafas. “Ukhti Salma. Saya mengapresiasi kejujuran yang ukhti sampaikan. Memang berat, karena bila saya ada di posisi ukhti, barangkali saya juga dilanda kebimbangan yang sama. Untuk kasus kita ini, ada baiknya kita kembali pada pedoman yang disampaikan Rasul. Seorang mukmin adalah saudara mukmin lainnya. Maka tidak halal bagi seorang mukmin membeli barang yang telah dibeli saudaranya, dan mengkhitbah wanita yang sudah dikhitbah saudaranya, hingga laki-laki itu meninggalkannya (HR Muslim). Dalam hal ini, ukhti Salma memang sudah saya khitbah. Keluarga besar juga sudah menentukan tanggal akad nikah. Jadi, ketika saya belum membatalkan khitbah, maka Arya tidak boleh mengkhitbah anti. Kecuali jika…..”
Napasku tercekat. Astaghfirullah… aku sudah menyakiti laki-laki baik ini….
“Kecuali jika, saya membatalkan khitbah itu….”
Astaghfirullahal ‘adzim… Salma… What the h*ll are you doing?
“Apakah itu yang anti inginkan?”
Masya Allah… Lagi-lagi, sebuah tonjokan keras, yang langsung mengenai ulu hati. Benarkah? Benarkah ini yang kamu inginkan, wahai jiwa yang cengeng, manja dan tak tahu diri? Puaskah engkau menyaksikan kemelut rasa yang tergambar di wajah Raditya? Antara sedih, terpukul, shock, dan berupaya tegar. Begitukah? (bersambung)