Hari ini, tatkala membuka Jawa Pos, ada artikel yang begitu magis ditulis oleh AS Laksana. FYI, saya suka banget dengan gaya tulisan AS Laksana, walaupun yaaa… sering berseberangan dengan opini yang ia usung. Hari ini, ia menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Ia berkisah tentang seorang guru, Bu Thompson namanya, dan muridnya bernama Teddy.
Berikut cuplikannya:
Bu Thompson berdiri di depan kelas. Ini hari pertamanya mengajar murid kelas 5 dan ia menyampaikan akan menyanyangi semua siswa dengan rasa sayang yang sama. Tentu ia tidak mampu membuktikan ucapannya. Di kelas itu, ada siswa bernama Teddy Stoddard yang duduk ogah-ogahan di kurisinya di barisan depan.
Teddy bukan kawan bemain yang menyenangkan bagi teman-temannya. pakaiannya kumal, dan tampak tidak pernah mandi. Tidak ada yang bisa diharapan dari perusuh kecil seperti itu.
Setiap kali memeriksa hasil pekerjaan siswa-siswanya, Bu Thompson akan membuat tanda silang besar dengan tinta merah, khusus untuk kertas ulangan Teddy.
Di sekolah itu, setiap guru diharuskan membaca berkas laporan perkembangan siswa yang dibuat guru-guru sebelumnya. Bu Thompson melakukannya. Laporan tentang Teddy ia baca paling akhir, dengan perasaan maals.
Guru kelas 1 membuat catatan, bahwa Teddy adalah murid yang pintar, periang, dan selalu menyelesaikan pekerjaannya secara rapi. Ia teman bermain yang menyenangkan bagi kawan-kawannya.
Guru kelas 2 menulis, “Teddy murid yang hebat. Ia disukai semua temannya, tapi ada masalah besar di rumahnya. Ibunya sakit keras dan keadaaannya menjadi sulit.”
Guru kelas 3 menulis, “Ibunya meninggal dan Teddy sangat terpukul. Ia sudah mencoba melakukan yang terbaik, tetapi ayahnya seperti tidak peduli. Perlu ada penanganan tepat agar ia tidak semakin terbenam.”
Guru kelas 4 menulis, “Teddy semakin mundur dan ia tidak tertarik dengan sekolah. Ia menjadi penyendiri, kadang tertidur di kelas.”
Bu Thompson merasa malu pada dirinya sendiri setelah membaca laporan itu. Perasaannya semakin tidak enak, ketika tiba hari natal dan semua murid memberinya kado. mereka membungkus kado dengan kertas warna-warni dihiasi pita cantik. Teddy membungkus kadonya asal-asalan, dengan kertas cokelat bekas tas belanja.
Satu demi satu kado dibuka, dan seisi kelas tertawa saat melihat isi kado Teddy: hanya gelang yang beberapa manik-maniknya sudah tanggal, dan botol parfum yang isinya tinggal setengah.
“Kado yang indah,” kata Bu Thompson. Ia langsung memakai gelang itu dan mengusapkan parfum ke pergelangan tangannya.
Bel pulang berbunyi dan anak-anak keluar ruangan. Teddy menghampiri Bu Thompson, berdiri mematung beberapa waktu, sampai akhirnya bisa berucap, “Bu Thompson, hari ini Ibu seharum ibu saya.”
Guru kelas itu menangis satu jam lamanya, setelah kelas sepi. Sejak hari itu, ia memberikan perhatian khusus kepada Teddy, dan si kumal pelan-pelan kembali menjadi murid yang cemerlang. Pada akhir tahun, anak itu menjadi salah satu murid terpandai di kela.s
Bertahun-tahun berlalu, suatu hari Bu Thompson menerima surat dari Teddy, menceritakan bawa ia sudah tamat SMA dan berniat melanjutkan kuliah, meskipun jalannya mungkin tidak mudah. Di akhir surat, Teddy menulis, “Bu Thompson, saya ingin Ibu thu bahwa Ibu adalah guru terbaik sepanjang hidup saya.”
Empat tahun berikutnya, Teddy menulis surat lagi dan menyampaikan hal yang sama, bahwa Ibu Thompson adalah guru terbaik.Kali ini, ia menuliskan nama panjangnya, lengkap dengan gelar sebagai lulusan fakultas kedokteran: Theodore F Stoddard MD
Itu bukan akhir cerita. Teddy mengirimkan surat lain, mengabarkan bahwa ia akan menikah. AYahnya sudah meninggal, Teddy berharap Bu Thompson bersedia duduk di kursi yang biasanya untuk ibu pengantin pria.
Bu Thompson memenuhi permintaan itu. Ia datang mengenakan gelang manik-manik yang sudah ompong dan parfum dari Teddy. Mereka berpelukan. Dokter Stoddard berbisik, “Terima kasih Ibu telah mempercayai saya dan membuat saya merasa berarti. Terima kasih telah meyakinkan bahwa saya mampu membuat perbedaan.”
Bu Thompson, dengan mata basah, membalas bisikan, “Teddy, kau yang telah mengajariku membuat perbedaan. Aku tidak tahu cara mengajar, sampai bertemu denganmu.”
***
Sangat touching dan inspiring kan? Saya merasa Bu Thompson adalah “saya” “Anda” para emak…. dan Teddy adalah anak-anak yang diamanahkan Sang Maha pada kita. Sungguh, saya merasa amat kerdil setelah membaca tulisan ini. Betapa defisitnya stok syukur yang saya punya… Betapa piciknya saya memandang setiap “gagal” dan “nakal” yang (menurut kacamata saya) telah Sidqi torehkan.
Saatnya berkontemplasi. Saatnya beristighfar… dan menginjeksikan semangat perubahan ala Bu Thompson dan Teddy dalam diri masing-masing.
InsyaAllah, saya bisa… Insya Allah, Allah memampukan saya, Anda dan kita semua. (*)
PS: Menurut AS LAksana, kisah ini bukan cerita nyata, melainkan kisah fiksi yang dimodifikasi dari cerpen Three Letters from Teddy, ditulis Elizabeth Ballad, di Majalah Home Life, 1975. Diterbitkan ulang di majalah yang sama setahun kemudian, dengan keterangan: “Cerita yang paling dimintai pembaca sepanjang sejarah majalah ini.”
—silakan share via sosial media Anda, agar banyak yang terinspirasi dengan cerita ini—
Sangat menyentuh mbak, meskipun sbelumnya sy pernah membaca kisah ini tapi tetap saja hati rasanya gimanaaa gitu
Kekuatan keyakinan, sungguh kuat pesannya. Kepedulian guru atau orangtua kepada anak-anak. By the way, nulisnya dikejar sidqi ya Mbak? Banyak typo nih ^-^ Terima kasih ceritanya. Coba ceritakan kapan-kapan bagian mana yang Mbak berseberangan dengan AS Laksana.
Sedih banget mbak aq pe nangis bacanya. Inget anakku juga di skul mungkin dia berbeda.