Disclaimer: Ini adalah journal penuh ke-baper-an yang saya goreskan pasca mengikuti Google Local Guides Summit di Amerika, Oktober 2017 lalu. Silakan dibaca, sembari memutar tembang “Mengunci Ingatan” by BaraSuara atau Kunto Aji 😀
***
Cuaca di San Francisco memang sukar ditebak. Terkadang dingin menusuk sumsum. Tapi, tidak jarang, matahari bersinar dengan garangnya. Kali ini, saya kudu menyerah pada hawa dingin yang menerpa kulit. Menyesal rasanya pakai baju biru casual ini.
Kenapa musti kuabaikan saran dari Ivan? Yap, local guides asli Jakarta, yang sudah 15 tahun berdomisili di SF ini bilang, ”Layer is the key!” itu prinsip yang harus selalu dijalankan manakala beredar di kawasan California. Karena ya itu tadi, cuaca amat sulit ditebak. Yang awalnya kelihatan hangat… eh, bisa mendadak dingin brrrrr…!
“Duh, nyesel aku… nyesel banget…!”
Aku menyusuri kawasan Fisherman’s Wharf sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Berharap kehangatan bisa muncul dari sana. Plus, disambi menggosok-gosokkan kedua telapak tangan. Nihil. Tak ada hasil.
Beberapa local guides dari negara lain melemparkan senyum. Kami belum kenal sebelumnya, tapi wajah-wajah yang super excited itu, menyadarkan saya bahwa…..
Heiiii… this is my once-in-a-lifetime experience!
Lupakan soal jaket, prinsip ‘layer is the key!’ yadda yadda blablabla itu! Lupakan hawa dingin yang terus menerabas masuk!
Just seize the day… enjoy your moment! Jangan focus pada kesalahan yang engkau lakukan pagi ini! Fokuslah selalu pada apa yang bisa kau perbuat supaya momen berharga ini tidak lenyap plassss begitu saja!
Chill, girl! Santaaaaaiiii!
***
Karakter dan personality saya laksana cuaca di SF: amat sukar ditebak. Saya sendiri—sebagai sosok yang dititipi roh, jiwa raga oleh Sang Maha Kuasa—juga kerap terjerembab dalam pertanyaan “Are you okay, dear nurulrahma?” Apalagi kalo lagi PMS. Wadaaawww, kadang saya nggak kenal dengan jiwa yang bersemayam di tubuh ini.
“Who are you?”
Sama seperti keputusan ‘bodoh’ di mana saya tidak mengenakan jaket/ outer ketika jalan-jalan di SF. Dalam hidup, banyaaaaak banget keputusan bodoh, konyol, aneh, yang saya lakukan. BANYAAAAK BANGET! Dan herannya, saya tuh impulsive abis. Bisa banget mengambil keputusan seketika, saat itu juga, dengan semena-mena.
Kemudian…. Yang muncul adalah…. Penyesalan…. Dan merutuki diri sendiri. What have you done anyway?
***
Terkadang, orang-orang di sekitar menilai saya baik-baik saja. Sama halnya ketika ibunda saya pada akhirnya berpulang. Ketika para pentakziah datang, saya memasang wajah, “I’m okay… saya ikhlas….” Tak perlu ada air mata yang mengalir di hadapan mereka. Saya tahan sekuat tenaga. Namun… sepekan… dua pekan kemudian…..
Tanggul air mata itu jebol juga.
Saya merutuki diri sendiri. Sebenarnya, gelagat tidak beres sudah muncul berbulan-bulan lalu. Ketika ibu mendadak malas makan. Ketika batuk ibu tak kunjung sembuh. Ketika ibu begitu sering berbicara tentang kematian.
KENAPA SAYA TIDAK PEKA?
Kenapa saya selalu merasa bahwa ibu adalah super-lady, strong woman, yang sigap dan siap sedia menghalau semua cobaan dan rintangan dalam hidup? Kenapa saya membiarkan ibu bertarung dengan problema hidup yang datang bertubi-tubi? Apa gunanya keberadaan saya sebagai anak beliau? Kenapa saya tidak suportif? Mana kontribusi saya?
Pertanyaan-pertanyaan itu datang bertubi-tubi. Termasuk, pertanyaan konyol yang tak perlu dijawab, ”Andaikata waktu itu saya nggak salah bawa Ibu ke RS yang pertama, mungkin nyawa Ibu masih bisa diselamatkan….Kenapa waktu itu saya justru bawa Ibu ke sana ya?”
Astaghfirullah…..
***
Sulit rasanya untuk memaafkan diri sendiri. Amat sulit. Saya mencoba untuk mengembargo diri, tidak terlibat dan berinteraksi dengan aneka forum kajian dekat rumah. Mengapa? Saya takut berjumpa dengan sahabat-sahabat Ibu. Di relung hati yang paling dalam, saya merasa…. tatapan mereka seolah “menyalahkan” saya. Anak yang nggak bisa mempersembahkan hal terbaik bagi Ibunda.
Setiap ada momen keislaman di masjid dekat rumah, saya sengaja datang terlambat. Supaya apa? Agar dapat posisi di shaf paling belakang, dan saya tidak perlu memasang wajah manis penuh senyum ulala di depan para sahabat ibu.
***
“So… how? You still feel it’s too cold here?”
“Hmmm… not really… I’m okay now.”
Saya memasang wajah “Aku baik-baik saja”. Yeah, terkadang kita bisa sedemikian santun pada totally-stranger-person, dan justru bersikap semau-gue pada orang yang demikian besar jasa dan pengaruhnya untuk hidup kita.
Kami menyusuri kawasan Fisherman’s Wharf ini… Menjumpai singa laut yang heboh berteriak, seolah memancing atensi para wisatawan. Dari kejauhan bisa kami saksikan Alcatraz, yap… penjara yang demikian legendaris itu.

“Banyak tahanan kriminal paling sadis yang dipenjara di Alcatraz. Mereka mencoba melarikan diri, dengan renang di sepanjang laut SF. Tapi tahu sendiri kan… cuacanya dingin banget seperti ini. Tahanan yang berusaha kabur itu, kebanyakan udah nggak jelas nasibnya. Kemungkinan besar, meninggal kedinginan ketika berusaha renang di sini…”
Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Karen, local guides moderator yang khatam banget seputar destinasi di SF.
Kabur dari penjara yang begitu menyeramkan.
Lalu berenang mengarungi samudera, dengan suhu yang minus.
Heiiii…! Mereka para criminal kelas wahid!
Dengan catatan keburukan yang begitu dahsyatnya, para tahanan itu sanggup memaafkan diri sendiri. Untuk kemudian, berusaha keras agar bisa lepas dari jerat penjara yang mengerikan. Barangkali, prinsip hidup mereka, lebih baik aku bertarung melawan dinginnya samudera… tidak masalah apabila nantinya aku hanya tinggal nama… tapi paling tidak, aku sudah berjuang untuk keluar dari penjara yang tidak manusiawi ini… dan aku memberikan bukti, bahwa sebagai manusia, aku memaafkan diri sendiri.
***
Maka…..
Ditingkahi sepoi angin teluk San Francisco…. Saya memejamkan mata, seraya bergumam pelan…..
”Dear @nurulrahma… All is well….. Bersikap adillah pada dirimu…. Semua orang punya porsi salah dan dosa masing-masing…. Banyak hal yang terjadi di dunia ini, di luar kuasa dan kehendak kita, karena heiii…. siapa kita? Kita hanyalah makhluk lemah, sebutir atom di galaksi nan demikian perkasa… Kita hanyalah debu… dibandingkan segenap kekuasaan Sang Pemilik Semesta…. Maka…. Maafkan dirimu… Maafkan…. Just let everything happens…. Embrace your life and be thankful…”