Istidroj atau Berkah (2)

Kemudian, saya mencoba untuk sungguh-sungguh berkontemplasi.

Ada beberapa hal yang mengganjal dalam diri. Dan, berusaha untuk saya carikan jalan keluarnya.

Yang pertama, tentu saja, saya harus perbaiki hubungan antara diri saya dan Sidqi. Well, this is weird, I know.. Sidqi itu anak semata wayang. He’s my only child.. jadi, sudah seharusnya saya menyayangi dia sepenuh jiwa. Dan, sialnya… kebanyakan ‘kutukan’ ortu beranak satu adalah… sayang kami sungguh terlalu. Overdosis. Somehow, ini menjadikan Sidqi sebagai bocah yang too much kasih sayang.

Berbekal tembang “Too Much Love will Kill You” dan aneka desas-desus yang berhembus di sekitar saya, bahwa “Jangan terlalu manjain Sidqi, nanti dia begini, dia begitu!” akibatnya, bisa diduga. Saya malah out of control.. saya kehilangan orientasi…. saya bingung… Rasanya ingin mencurahkan sayang tapi nggak mau manjain.

Walhasil, saya menjelma menjadi MOMSTER

alias Mom merangkap Monster.

Nyaris tiada hari tanpa teriakan, bentakan, dan kalimat bernada sekian oktaf yang berdengung di kuping Sidqi.

What’s wrong with me?

Kenapa kesalahan sedikiiiit saja, membuat saya bisa muntab? Dan rasanya ingin memuntahkan ribuan peluru, kepada ANAK SEMATA WAYANG saya?

Ini Sidqi yang sama loh…

Sidqi yang dulu berbagi sumber makanan yang sama selama 9 bulan 10 hari…

Sidqi yang pernah bayi… bermata demikian bening…

Sidqi yang saya sayang sepenuh jiwa….

img_0979

Memangnya, ketika dia beranjak besar, apa iya, saya jadi punya hak untuk mencurahkan segala amarah pada dia?

***

Something’s wrong with me.

Something’s wrong with my life, and how I nurture my son.

Something’s wrong…

Pasti ada yang salah….

 

Tuhan menegur saya dengan cara-Nya yang terkadang sama sekali tidak aku mengerti. Aku merasa sudah melakukan apa yang Dia syariatkan.

Aku merasa sudah berjalan di koridor sesuai dengan petunjuk yang senantiasa aku rapalkan, dalam sholatku.. dalam ibadahku… dalam komunikasiku dengan Sang Maha.

Tapi, apa iya, itu semua otomatis tidak mengenyahkan jumawa yang kerap bersarang tanpa aku undang?

Tahukah kau, wahai emaknya Sidqi… kenapa iblis bisa masuk neraka? Bukan karena ia tidak mengimani Sang Maha. Iblis masuk neraka karena SOMBONG yang menyandera. Itu saja.

Makaaaaaa…. dengan segenap sesal yang menggumpal, harus saya akui bahwa selama ini saya kerap bergelimang sombong yang demikian merongrong. Jumawa itu menyelinap tanpa terasa. Ada sepercik noda “I’m better than yours” “I can do it perfectly” yang terus merajah jiwa.

Harus ada terapi yang segera saya lakukan, HARUS!

Saya nggak mau jadi manusia yang membebek pada iblis… Yang rela menukar semua rasa jumawa dengan sepetak rumah di neraka, no way! Seburuk-buruknya saya, tentu surga adalah destinasi akhir yang kudamba.

***

Makaaa…. saya harus mengambil jarak dari sumber jumawa. Apapun akan saya lakukan supaya rasa “I’m better than others” ini bisa lekang.

Saya menepi.

Memilih untuk menghindar dari hingar bingar.

Saya kerap menjauh.

Terkadang tampak seperti berkubang dalam nuansa yang jenuh.

Tak mengapa.

Paling tidak, saya bisa melihat dengan kacamata hati yang jernih… bahwa memang hamba yang super lemah, dhoif, bodoh dan hina ini tidak ada apa-apanya.

 

 

 

***

Advertisement

Author: @nurulrahma

aku bukan bocah biasa. aku luar biasa

4 thoughts on “Istidroj atau Berkah (2)”

  1. Saya juga sering memarahi anak untuk hal kecil mbak, takutnya kalau ngga dimarahi mereka keterusan dan ngga tau kalau itu salah. Piye.
    Tepi mereka juga protes, Ibuk kok marah2 terus 😑

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: