Sepercik Syukur Sang Tuna Netra

“Alhamdulillah Allah menjaga pandangan saya dengan mengambil penglihatan ini. Mungkin saya susah dalam berjalan, tetapi saya bersyukur bisa diberi kemudahan menghafalkan Al-Quran. Semoga hanya mata ini yang buta, tapi tidak dengan hati saya yang akan membuat saya tersesat dunia akhirat.”  (Kang Dayat, Tunanetra Surabaya hafal 30 juz Al-Quran).

Hak dessshhhhh!!

Pegimane sodara-sodara sekalian? Rasanya perih perih gimana gitu ya kaaan? Kalimat Kang Dayat ini sederhana tapi nampoool banget. Takdir Tuhan bahwa ia harus terlahir sebagai tuna netra, tak membuatnya terperangkap dalam ngelangut tiada akhir. Kang Dayat malah mensyukuri itu semua… toh bersyukur atau kufur, takdir itu akan tetap terjadi. Tak bisa ditolak, tak bisa ditawar. Jadi yaaaa… ketimbang bersimbah keluh, lebih baik see from the positive sides, lah ya.

Hari-hari Kang Dayat diisi dengan kegiatan ala marbot Masjid. Beliau menjaga dan menyemarakkan kehidupan masjid di sebuah destinasi dakwah. Semakin bersyukur saja rasanya, manakala suatu hari, Kang Dayat  mendapat kesempatan untuk menerima waqaf Al-Qur’an Braille digital.

Ya. Sekarang, Qur’an braille sudah ada versi digitalnya. Ada PULPEN  elektrik yang  bisa diarahkan ke barisan huruf braille yang terpampang di Qur’an. Lalu, muncullah suara murottal (bacaan Al-Qur’an)  yang  bisa jadi panduan para tuna netra. 

Seperti yang sudah pernah saya ceritakan, para tuna netra ini dapat kesempatan untuk ngaji bareng di Masjid Manarul Ilmi ITS Surabaya. Ada syeikh Ali Jaber, yang juga memberikan penyegar ruhani untuk mereka. Lantunan ayat demi ayat, mereka simak dengan seksama. Barangkali, organ netra mereka mengalami keterbatasan. Tapi, untuk kepekaan jiwa, pendengaran, dan hal-hal lainnya, para tuna netra ini punya kapabilitas di atas rata-rata. 

Teknologi memang terus dikembangkan sebagai perwujudan empati kepada kaum penyandang disabilitas. Karena, setiap orang pasti punya “dahaga” yang sama. Sebuah “rindu” yang, seperti dendam, juga menuntut untuk dibalas  tuntas *ciyeeeh* Rindu terhadap ayat-ayat Tuhannya. Rindu dan dahaga akan petunjuk yang bisa menemani hari demi hari, menjalani roda kehidupan

 

Eh, bicara tentang terminologi ‘disabilitas’ ada opini lain dari ibu Titik Winarti nih. Beliau adalah owner Tiara Handycraft, yang juga memberdayakan kaum berkebutuhan khusus, sebagai karyawan di UMKM yang ia kelola.

Emang, Bu Titik bilang gimana?

Bu Titik lebih suka menyebut mereka sebagai kaum difabel. Difabel artinya  different ability. Mereka mampu kok, punya ability alias kemampuan… Tapi “different”, alias agak sedikit berbeda dengan kita. 

Iya juga sik. Kaum difabel malah punya skill menjahit, crafting, dll. Lah, eikeh aja yang bodinya sehat-wal-afiat, malah kagak bisa njahit, bikin pola, endebrai endebrai itu. Dan yang paling makjleeeb adalah, sepertinya organ berupa mata ini lebih buanyaaaak saya gunakan buat hal-hal yang duniawi banget, kan? Sehari semalam 24 jam,  berapa menit yang dialokasikan buat ngaji? Mendalami tafsir kitab suci? Trus, trus… itu hafalan Qur’annya gimana kabar yak? *deziiighhh*

Ya, ya, ya. Intinya, syukur saya masih seuprit banget. Kudu di-upgrade, harus ditambah lagi porsi dan kualitas syukur. Se-enggak asiknya kenyataan yang terpampang di depan mata, masih buanyaaaaak hal-hal baik yang mestinya saya syukuri sepenuh hati.  Sebuah  realita hidup itu kan kondisi yang netral banget. Semua berpulang kepada kita kok, mau mengambil  sikap seperti Kang Dayat, atau justru mengumbar keluh di semua penjuru arah mata angin. Hiks. Oke, mari kita tutup postingan siang ini, dengan kutipan  yang  (semoga) bisa mengenyahkan segala gulana. 

When One door of happiness closes, another opens. 

But often we look so long at the closed door, that we can’t see the one that has opened for us. 

(Helen Keller)

**Disertakan dalam Liga Blogger Indonesia pekan ke-2 dengan tema  “Perkembangan Teknologi untuk (penyandang) Disabilitas **

 

Advertisement

Author: @nurulrahma

aku bukan bocah biasa. aku luar biasa

27 thoughts on “Sepercik Syukur Sang Tuna Netra”

  1. Ada pepatah bilang, seseorang akan menghargai suatu hal ketika hal itu hilang. Semoga kita tergolong orang-orang yang bersyukur. Sedih sih, kalo sadar kadang masih sering ngelakuin kesia2an dan ngeluh 😦

  2. wah, itu satu pintu surga sudah memanggilnya insya Alloh.

    sedikit oot ya mbak. seorang teman pernah berkata, betapa di zaman sekarang ini ia bagai ingin berjodoh dengan lelaki yang tak bisa melihat. maksudnya adalah karena banyaknya pemuda sehat yang tak sehat matanya karena sudah lihat hal-hal haram. ah, iya. yang diberi kesehatan malah nggak sehat.

    @diahdwiarti

  3. Waktu di Makassar dulu juga saya punya teman. Seorang tuna netra, rumahnya juga lumayan jauh dari masjid kompleks. Tapi Masya Allah, shalat 5 waktunya di masjid tidak pernah ketinggalan. Bahkan dia selalu datang lebih awal dibanding yang lain. Kebetulan waktu aktif jadi remaja masjid di sana saya memang lebih sering shalat di masjid ketimbang di rumah, jadi benar-benar tau semangat teman ini.

  4. Segala apa yg terjadi sebenarnya sdh dirancang dgn sangat sempurna. Hanya sj kita * saya * tak jarang lebih dulu menanggapi dgn emosi dan mengembangkannya hingga nglangut berkepanjangan.

    Semoga semangat optimis dan kebersyukuran pak Dayat menebar dan menyebar, terlebih bagi kita2 yg tdk difabel.

    @ririekayan

  5. Kisah, tunanetra hafal 30 juz ini pernah diliput temanku, mba. Liat kemampuan dan semangatnya, luar biasaa ….. Makasih sharingnya, mba

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: