ASMA NADIA
Film adalah Media Dakwah dengan Jangkauan Lebih Luas
Sepuluh tahun lalu, ketika mendengar nama “Asma Nadia”, barangkali kita langsung teringat pada puluhan novel Islami yang telah dia lahirkan. Yah, Asma Nadia adalah novelis yang sangat produktif. Lebih dari 40 buku karyanya terpajang cantik di berbagai toko buku se-Indonesia. Ibu berputra dua ini juga kerap didapuk sebagai narasumber dalam berbagai seminar maupun pelatihan kepenulisan. Passion-nya akan dunia literasi, membuat Asma Nadia mendirikan “Rumah Baca Asma Nadia”, sebuah gerakan sosial untuk mengajak anak-anak di pelosok negeri agar gemar membaca dan menulis.
Belakangan ini, kiprah Asma Nadia melebar hingga ke ranah media film, maupun sinetron di layar kaca. Beberapa novelnya dijadikan inspirasi untuk pembuatan aneka tayangan. Banyak yang mengapresiasi, tidak sedikit pula yang mencibir. Asma Nadia dianggap terlampau komersil, dan gampang diajak bekerjasama dengan produser program picisan. Toh, Asma Nadia tetap tegak berdiri, ia yakin dengan langkah dakwah yang tengah ia emban.
Tentu banyak yang bertanya-tanya apa alasan Mbak Asma terjun ke kancah perfilman? Kenapa Anda tidak fokus berada di dunia kepenulisan saja?
Sampai saat ini, Alhamdulillah saya tetap aktif menulis. Novel yang sudah terbit mencapai angka 40-an, dan saya masih tetap menyemangati generasi muda muslim dan muslimah untuk berkiprah di dunia menulis. Namun, perlu diingat bahwa niat awal kita adalah berdakwah. Manakala ada peluang untuk berdakwah di media dengan khalayak yang lebih luas, maka mengapa tidak kita ambil peluang itu?
Ketika sebuah buku difilmkan, ini artinya jadi media dakwah yang jauh lebih besar. Anda tahu, satu buku itu paparan pembacanya mungkin sekitar 50 ribu orang saja. Tapi ketika difilmkan, apalagi menjadi box office, dakwah kita bisa sampai ke 4,6 juta orang!
Coba lihat, film Habibie-Ainun, penontonnya bisa sampai ke angka segitu. Karena itulah, saya demikian antusias untuk bisa bergandengan tangan bersama produser, sutradara dan seluruh tim film yang terlibat, agar kami bisa menghasilkan film berkualitas sekaligus bermuatan semangat dakwah.
Lalu, untuk film-film religi yang diusung dari novel Mbak Asma, apa motivasi kuat yang melatarbelakangi itu semua?
Kembali lagi, film adalah media yang sangat luas untuk dakwah. Kami selalu menitikberatkan pada film yang mengusung value Islami, agar banyak film yang ramah keluarga, bisa ditonton anak-anak, sehingga menjadi media diskusi antara ayah, ibu dan anak.
Coba kita amati. Belakangan ini, stand up comedy amat populer kan? Lalu, dibikin filmnya. Lho, kok jokes-nya jorok? Kok baju artisnya seksi-seksi? Kok adegannya seperti itu? Ini sungguh amat disayangkan. Anak-anak kita, yang sebagian mengidolakan para komika itu, malah terpapar menyaksikan film yang tidak pantas bagi mereka.
Maka, film yang kami produksi ini, sedari awal kami telankan bahwa adegan dan jokes-nya aman. Anda tahu, meyakinkan produser untuk mau memproduksi film Islami itu susahnya bukan main. Padahal kami ingin menjaga semangat, agar film ini punya nilai kebaikan yang banyak.
Oke, setelah produser yakin, lalu PH mau invest, ada nggak penontonnya? Persaingan untuk memperebutkan jumlah penonton itu hal yang amat krusial. Karena itu, saya menggandeng teman-teman media Islam untuk mensosialisasikan hal ini, termasuk Nurul Hayat.
Saya juga terus mengajak saudara-saudara muslim dan muslimah agar membagikan info mengenai film Islami di berbagai media sosial. Penonton di hari pertama penting banget, karena ini berpengaruh kepada keputusan pihak bioskop untuk terus menayangkan film itu, atau justru harus turun dari layar. Kita lihat sendiri kan, sejumlah film religi yang mengusung value sangat bagus justru harus menyerah, cepat turun dari layar bioskop. Karena jumlah penontonnya amat minim.
Niatkan uang tiket bioskop kita sebagai sedekah dukungan terhadap film-film religi. Ini sekaligus jadi media jihad keluarga muslim Indonesia. Jangan sampai kita, kaum muslim-muslimah ini ikut arus, terperdaya oleh masifnya promosi yang gencar dilakukan PH-PH dengan film mereka yang tidak aman. Sekarang muncul kesan begini kan, bahwa film laris itu harus ada scene adegan romantis plus vulgar dari pemeran utamanya. Wah, ini yang harus kita bantah!
Di mata Mbak Asma, film bagus itu yang seperti apa?
Bagi saya, film bagus bukan sekadar persoalan teknik dan estetika, melainkan juga nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Film bagus adalah film yang tanpa harus menggurui mampu menginspirasi dan menggugah para penontonnya. Film yang bagus bukan sekadar membuat penonton baper (bawa perasaan) namun sekaligus mampu menginspirasi kita untuk terus semangat mengejar cita-cita lewat berbagai cara yang bisa ditempuh.
Sakit dan kemiskinan tak bisa menghalangi kita meraih cita-cita. “Tidak harus menjadi sarjana untuk bisa sukses”, bahkan “Cita dan mimpi-mimpi tak harus pergi hanya karena orang yang kita cintai menghadap Illahi.”
Ini yang jadi value dalam film Jilbab Traveler. Film ini juga bisa memotivasi anak dan remaja untuk punya cita-cita melihat dan menjelajahi dunia luas, serta menambah kedekatan mereka pada Sang Pencipta. Kesadaran untuk menjadi “duta Indonesia” dan “duta Islam” menghias diri dengan ahlak yang baik dimanapun kita berada, juga menjadi pesan tersirat dari film yang menampilkan romansa cinta nan santun tanpa adegan sentuhan fisik sama sekali di antara tokoh Rania, Hyun Geun dan Ilhan.
Untuk kaderisasi penulis muslim dan muslimah, apa yang kini tengah Mbak Asma lakukan?
Saya dan beberapa teman aktif dalam Komunitas Bisa Menulis. Melalui komunitas ini, kami ingin teman-teman menulis sesuatu, sebagai “jejak peninggalan” kita. Saat ini usia saya sudah 40-an, kita tidak tahu meninggalnya kapan. Jadi, jangan sampai apa ilmu atau apapun wawasan yang kita tahu seputar dunia menulis, justru terbawa sampai alam kubur. Saya ingin membagi-bagikan ilmu tentang kepenulisan sambil terus berbagi dakwah melalui media film. Sebentar lagi, yang akan kami suguhkan adalah film “Cinta Laki-laki Biasa”. Mohon doa dan dukungan dari seluruh masyarakat Indonesia. (*)
huuu saya jatuh sama Aisyah Putrinya dan yang tak terlupakan Pesantren Impian ^^
.
.
Btw, gak ada pose yang enakan apa mba, kalian berdua bergandengan kek.. say cheese kek…
Itu kayak mau ngasih hape aja, eh ditolak ama mba Asma
Bunda Asma Nadia memang inspiring banget ya. Kesuksesan dia sekarang pasti memiliki awal yg gak mudah. Wah Mbak Nurul juga hebat, sering interview tokoh-tokoh inspiratif. 😊
Saya baru tahu loh mba, meyakinkan produser film islami itu susah. Setahu saya akhir2 ini film islami dikemas sangat cantik dan pengunjungnya membludak 😀 sukses buat film Indonesia
Wuih keren ya, semoga film islami terus bermunculan & kualitasnya semakin bagus. Sayang di Paiton nggak ada bioskop.. 😦
Beberapa buku beliau sempat saya baca, salah satunya jilbab traveler. sekarang sudah ada filmnya. Tambah mudah dipahami, tinggal combine aja ya,
Aku lagi nunguin Cinta Laki-Laki Biasa nih, kok lamaaaa gk tayang. Teasernya di IG uda dari kapan bulan huhuhu curcol iki komenku 😀
Wah, Mbak ini wawancara sendiri?