Memori yang Berkelindan Saat Mudik ke Pacitan

Saya tuh sebenernya sebeeell banget kalo kudu mudik ke Pacitan. Maklum, keluarga kami masuk kategori kelas menengah ngehe, ibu saya guru, bapak saya PNS sederhana, dan kami waktu itu ngga punya mobil. So, itu artinya kalo ke Pacitan, kami kudu naik transportasi umum. Kalau lihat di Google map, jarak Surabaya — Pacitan adalah 272,3 km. Sejak kecil, kami mudik naik bus umum, dengan rute bus Surabaya — Ponorogo (naik bus besar) disambung Ponorogo — Pacitan (naik bus kecil, yang bunyinya mleyot mleyot seolah hidup segan, mati pun enggan)

Armada bus ini jumlahnya amat terbatas. Kami harus lari-lari mengejar bus Ponorogo — Pacitan, jumlah pemudik juga banyaaakk banget! Lari-lari dengan sekuat tenaga, tentu sambil membawa tas, kardus berisi oleh-oleh untuk saudara di desa. Nafas tersengal-sengal, namun Ibu tetap bersikukuh, “Ayo yang kuat larinya! Biar nanti dapat kursi yang enak di bus! Nggak mau berdiri selama perjalanan Ponorogo — Pacitan kan?”

 Saya –si bocah berusia 7 tahun itu– mati-matian berupaya mengejar peluang untuk mendapatkan ‘secuil surga’ berupa kursi dalam bus. Masuklah daku ke bus reyot binti mleyot. FULL HOUSE. Bau apek, asem, prengus menguar ke seluruh penjuru. Belum musim pakai masker, jadi indra penciumanku bisa dengan leluasa mengendus anek aroma yang tak pernah diminta. Kadang, terpaksa nafas pakai mulut! Biar hidung nggak terlampau tersiksa. Okehhhh duduk berdempetan, juga bersinggungan dengan aneka tas milik penumpang, kardus segambreng, dan….. ayam jago yang dipangku orang! Hadeuhhhh.

Tahun 1980/1990-an jalur Ponorogo — Pacitan ini termasuk jalur tengkorak. Jalanan sempit, curam, berbatasan langsung dengan tebing dan jurang! Tidak sedikit kabar yang menyebutkan bahwa beberapa sopir hilang kendali, sehingga terperosok ke dalam jurang. Kalau berpapasan dengan kendaraan dari arah berbeda, maka salah satu harus mengalah. Antre dulu, boskuuu. Baru ntar dapat giliran buat jalan lagi.

Bener-bener pengalaman mudik yang super mengesankan. Bau apek menguar, kondisi semrawut, muka-muka Lelah seperti baru pulang dari medan perang!

Tatkala menginjakkan kaki di rumah Yangti (eyang putri), plasshhhh…. Rasa Lelah kami auto sirna. Berganti dengan syukur tanpa umpama. Yangti dan beberapa tetangga menyambut kami dengan seulas senyum sumringah yang sangat organik! Senyum yang sangat tulus dan genuine, sama sekali bukan senyum artifisal ala-ala hasil produk pelatihan motivator di hotel-hotel mewah. Inilah senyum yang saya rindukan, senyum yang menerbitkan rasa tenang dalam jiwa.

“Piye perjalannya, Nduk? Jam piro soko Suroboyo?” (gimana perjalanannya, Nak? Jam berapa berangkat dari Surabaya) Eyang selalu menyambut dengan pertanyaan itu.

“Rameee, tapi Alhamdulillah, lancaarr….” Dan selalu begitu template jawaban ala ibuku. Belakangan aku baru tahu, kalau Ibu pasti ogah cerita soal detail ke-amburadul-an trip yang kami alami saban menuju Pacitan di kala mudik. Pastinya Ibu nggak mau Yangti jadi overthinking, kan?

Alhamdulillah Bulek (adik kandung Ibuku) mempersiapkan segala sesuatunya dengan paripurna. Teh seduh hangat (yang entah kenapa, rasanya segerrr banget!), plus aneka kudapan dan menu khas Pacitan yang menggugah selera. Rengginang (kami sebutnya ‘krecek’), alen-alen (kami menyebut ‘kolong’), kembang goyang, madu mongso, tape ketan, you name it! Jajanan tradisional yang agak sulit ditemui di kota besar.

Keramahan warga Desa Bangunsari Pacitan bikin aku merasa hidup ternyata baik-baik saja. Sejak kecil, aku selalu ditraktir minum kelapa muda, fresh ngambil langsung dari pohon kelapa yang berdiri gagah di depan rumah.

Makan opor ayam juga berasa sungguh nikmaaatt, karena ayamnya adalah ayam kampung yang dipelihara sendiri, dengan sumber pakan organik dan ga ada intervensi zat kimia pabrikan. Intinya, saya meraup kebahagiaan yang hakiki dan super genuine manakala berada di desa yang tenang dan permai ini.

Tahun terus berganti. Tatkala saya mulai menginjak usia dewasa awal, mudik pun dilakoni kurang lebih dengan moda serupa. Hanya saja, jalanan Ponorogo Pacitan sudah mulai diperbaiki, jadi perjalanan kami lebih nyaman tentunya. Kendati demikian, tetap ada hal-hal tidak nyaman yang bikin hati keolojotan. Apakah ituuuu? Tidak lain, berondongan tanya khas Lebaran, yang diawali dengan frasa “Kapan?”

“Wahhh, Nurul dah gede, kapan undangan nikahnya disebar?”

“Pasti udah ada calon dong ya… Kapan calonnya diajak ke Pacitan?”

“Kapan punya anak? Kapan mau nambah anak?”

Daaannn rentetan “KAPAN?” yang seolah tak mengenal jeda.

Mungkin, di lubuk hati terdalam, saya kezel juga. Tapi ya sudahlaahhh, toh saya hanya bersua setahun sekali. Barangkali para Bulek, Paklek, Bude, Pakde tidak ngeh kalau “KAPAN?” Itu bisa bikin hati laksana teriris, but it’s okay… memang begitulah ujian kehidupan.

Toh, saya menikmati aneka pengalaman indah selama di desa ini.

Saya menikmati vibes sumringah dan ketulusan yang tak dibuat-buat.

Saya menikmati hidangan yang disajikan oleh Yangti yang berkulit putih bersih, jago masak, lincah, pandai bergaul….

Saya menikmati itu semua….. hingga Bahagia itu tercerabut satu demi satu, manakala Yangti berpulang, dan momen mudik tak lagi sama.

20 comments

  1. Pingin mudik, tapi takut dengan pertanyaan ‘kapan.’ Kalau nggak mudik malah kangen. Namun, mudik tetap menggores kenangan manis sampai kita dewasa ya, Mbak.

  2. gak coba jawab, “gak tahu, tanya aja ke Allah”
    biar makjleb dah wkwk

    tapi orang tanya kapan itu, mungkin gak sabar mendengar kabar bahagia di antar kabar bahagia lainnya

  3. Hihihi… aku ngalami (dan sampai sekarang sih) kalau mudik ya pakai transportasi umum. Kalau transport antar kota aja ala kadarnya, capek, panas dan huhu momen bgt. Tapi skrg moda transportasi antar provinsi tambah bagus sih, luxury jadi ngga keringetan…

    Somehow pake kendaraan sendiri asik, tapi capek jg nyetirnya. Pakai kendaraan umum lelah tapi banyak dapat pengalaman di jalan.

  4. Duh mudik beneran seru ya, seakan kita travel back ke masa lalu menelusuri berbagai kenangan indah masa kecil #eaaa.

    Cuma kebanyakan momen mudik jadi “hancur” karena pertanyaan “kapan” ini sih ya. Enak jg kalau yg nanya sekalian kasih solusi (misal nanya kapan nikah, sekalian kasih spill kenalannya yg jomblo juga wkwkwk)

  5. Duh gimana ya, bacanya juga jadi galau. Haha ya gitulah di Indo model basa basinya, karena ga mungkin basa basi perihal cuaca wkwk

  6. Memori masa kecil selalu punforgettable ya Mbak. Aku kalau memori masa kecil ingatnya dibonceng bapak sama dua orang saudaraku kami sempit-sempitan di atas motor. Kalau hujan pake payung suka ketiup tiup tu payung. Dan sekarang Bapak udah ga ada memorinya bikin kangen bapak.

  7. Pertanyaan yg menurut mereka lumrah namun buat yg ditanya seolah virus, ini masih saja banyak terjadi. Sosialisasi para netizen melalui sosmed belum mempan sepertinya ya. Tinggal kitanya aja yg harus tahan banting, eh tahan dengan setiap pertanyaan

  8. Kebayang nikmat dan seru momen mudiknya Mbak. Walau disertai dengan tantangan perjalanan menuju kampung halaman. Semua terbayar bahagia setelah sampai tujuan ya Mbak. Sambutan hangat Eyang dan keluarga di sana, aneka masakan dengan ciri khasnya. Duh, jadi kepingin juga bisa mudik.

  9. saya juga baru beberapa waktu lalu pulang dari mengunjungi kerabat suami di kebumen, mbak. alhamdulillah sekarang busnya enak sudah pakai AC tapi tetap sih perjalanannya panjang seharian penuh gitu dari jakarta

  10. Pengalaman mudik makin bahagia setelah memiliki keluarga dan jauh dari keluarga inti.
    Pas dulu zaman kecil juga yang namanya mudik tuh rasanya capek dan melelahkan banget.

  11. Mba..kenapa endingnya nyesek hiks. Aq ga pernah mudik pakai bus, tapi pernahnya pake mobil yg zaman dlu itu rute Jogja Lampung bisa lebih dari 24 jam. Jadi kebayang ya ga mandi, tidur ga nyenyak dll wkkka. Ngeri kalau pas macet terus jauh dari kamar mandi. Tapi momen mudik memang ngangenin

Leave a comment