Baca berita belakangan ini sungguh bikin puyeng luar binasa. Adaaa aja isu-isu yang membuat kalimat istighfar bertaburan dari organ wicara. Sebut saja, ayah yang tega membunuh anak kandungnya. Ibu yang menyiksa balitanya. Macam-macam! Astaghfirullah….
Kalau kita telusuri, sebenarnya kasus kekerasan ini banyak yang bermula dari depresi tak tertangani yang dialami para orang tua. Terutama ibu-ibu ya. Banyak banget perempuan yang ketika masih lajang punya prestasi super-duper wow, kemudian harus merasa “terbelenggu” dalam ikatan rumah tangga. Bisa jadi karena panggilan jiwa, atau lantaran suaminya yang minta dia kudu jadi full-time-mom.
Harus diakui, metamorfosa dari career lady menjadi stay-at-home-mom… terkadang menjadi fase yang super mengerikan. Apalagi kalau kita tipe achiever. Beberapa kali saya sempat berada di fase itu, dan rasanya stressful!
Mendingan stres ngadepin tuntutan boss dan aneka deadline yang berkejaran, ketimbang stres ngurusin anak yang GTM (Gerakan Tutup Mulut), anak yang masih ngompol dan BAB tidak pada tempatnya, anak yang membantah apa kata Mama, dan seterusnya dan semacamnya.
Apalagi, stres ngurusin anak plus…. engga pegang duit dalam jumlah yang cukup. Ada perasaan “I’m worse than another career ladies” karena hidup kita cuma berkutat di popok, ompol, gumoh, nyiapin makanan bayi and so on and so on.
Dari situlah bibit depresi bisa muncul.
Kemudian, setan mulai berkontribusi… sehingga kalbu kita berbisik, “Andaikan waktu itu aku nggak cepet-cepet nikah… andaikan waktu itu aku nggak cepet-cepet punya anak… Mungkin aku bisa terus mengejar karir! Promosi sampai ke kantor pusat, bisa meraih jabatan yang kian melesat!”
Ini nih… berandai-andai membuka kesempatan setan kian berbisik kencang! Kita nggak bisa kembali ke masa lalu kan?
Saya selalu suka Quote ini nih….
‘Yesterday is history, tomorrow is a mystery, today is a gift of God, which is why we call it the present.’
Hiduplah di masa kini dan masa depan. Stop berandai-andai! Apalagi kalau ngelihat teman-teman kita karirnya melesaaaaat, bolak-balik ngetrip ke luar negeri (dibayarin kantor pulak!), bisa fancy-dining di resto dan kafe mahal, plus Instagram-nya penuh dengan foto-foto yang rentan bikin dengki bin sirik. Uhuks.
Depresi bisa semakin bertambah tatkala kita meratapi masa lalu, dan membandingkan pencapaian hidup dengan orang lain.
Heiii… comparison is the thief of joy!
Buat apa kita membandingkan rezeki kita dengan rezeki orang lain? Toh, kita nggak pernah tahu kan, seberapa keras usaha teman-teman kita dalam menjemput kegemilangan dalam karir.
Aku kasih contoh, nih. Sohib ikribku, Xaveria (perasaan, contohnya dia dia melulu haha). Xave ini bolak-balik dikirim kantornya ke luar negeri. Ke Jepang, Dubai, Singapura, Hongkong, Thailand, semuanya for free, alias gretong, dan dia nginep di hotel-hotel yang prestisius gitu!
Kalau lihat bagian “having fun”-nya doang…. ya sudah pasti aku dengki tiada kepalang. Tapi, mari kita lihat, apa pengorbanan yang dilakukan ibu 3 anak ini? Yep, dia harus bangun subuh untuk mempersiapkan sekolah (plus nganterin) anak-anaknya. Lalu nyiapin makanan buat balita. Jam 1 pergi ke kantor, baru pulang sampai rumah jam 11 malam! SETIAP HARI. Dan besokannya udah harus bangun subuh lagi. SETIAP HARI. Repeat.
Apakah diriku siap melakukan hal-hal semacam itu? Belum tentu.
So…. Depresi sangat bisa kita eliminasi, manakala kita bersyukur dan berdamai dengan diri sendiri. Setiap makhluk sudah ada takaran rezekinya masing-masing. Sekuat dan sekeras apapun usaha kita, kalo memang bukan rezekinya, ya nggak akan nyampe kok. Eh, don’t get me wrong, saya bukannya bilang kalo kita males-malesan aja lah… bukan! Justru rezeki itu memang HARUS dijemput. Harus diusahakan. Tapi, jangan sampai membuat kita mengandalkan jurus “raja mabok” dan segala macam cara dilakukan.
***
Makanya mending jgn sering2 ngecek socmed ya hahaha. Semua terlihat sempurna disana
Yup, cara agar enggak depresi adalah qanaah