Bisa jadi, keinginan saya untuk punya side job sejak duduk di bangku sekolah adalah, karena iba dan nggak tega lihat ibu saya yang menjanda di usia yang relatif muda. Bapak saya kelahiran 1947, dan beliau berpulang tahun 1991. Masih muda banget kan? Ibu pun pontang-panting menjadi sosok ‘bread-winner’ kudu mengasuh dan mendidik dua anaknya, cari nafkah dan penghasilan tambahan, karena waktu itu gaji beliau sebagai guru amatlah minimalis. Tidak seperti sekarang, di mana guru kalau sudah sertifikasi, gajinya ternyata WOW banget ya?
Baca : Ada Apa dengan Cintamu, Wahai Ibu
Waktu itu, saya masih duduk di kelas 4 SD. Ibu—yang memang hobi masak—menawarkan jasa catering rumahan. Kecil-kecilan saja… pelanggannya kalau ngga kliru, cuma 5 orang (dan kurasa motivasi mereka berlangganan lantaran kasihan lihat Ibu yang harus menjanda di usia relatif muda).
Yang masak Ibu, dibantu ART kami. Lalu aku dan mbak ART bertugas mengantarkan rantangan ke rumah para pelanggan. Setiap hari.
Beranjak ke sekolah menengah, aku mulai cari cara gimana bisa meringankan beban Ibu. Salah satunya, dengan apply sejumlah beasiswa. Hamdalah, ada yang approved, sehingga SPP sekolah tidak lagi merepotkan Ibu (waktu itu, belum ada program sekolah negeri SPP Gratis di Surabaya)
Di bangku SMA, saya mulai menemukan “cinta pertama”. Hahaha, bukan pada manusia, tapi pada dunia jurnalistik. Saya gabung di Kropel (Klub Reporter Pelajar) sebuah rubrik anak muda di koran Surabaya Post.
Di sini, kami—bocah-bocah SMA sederajat ini—menyalurkan kecintaan pada dunia literasi dan jurnalistik. Boleh bikin liputan tentang kegiatan yang ada di sekolah. Boleh bikin cerpen. Boleh kejar-kejar artis/selebritis/tokoh, lalu hasil wawancaranya ditulis. Pastinya ada seleksi dari Redaktur. Buat yang tulisannya dimuat, ada honor yang terbilang cukup lumayan buat anak-anak sekolah zaman itu.
Suatu ketika, pernah gara-gara cerpen tayang di koran, saya beli cokelat (semacam beng-beng) sebanyak 48 biji dan saya bagikan ke seluruh siswa di kelas. Rasanya? Saya jadi “orang tertajir melintir” sedunia! Hahaha. Lebay yaa? Ya gitu deh.
Saya merasa bahwa ‘tulisan dimuat di koran’ lebih dari sekedar pencapaian materi. Teman-teman dan para guru di SMA jadi menilai bahwa seorang Nurul Rahma adalah “asset” bagi SMA ini. Nggak heran, ketika di bangku SMA itulah, saya bolak-balik dipercaya jadi duta sekolah untuk ikut aneka perlombaan. Salah satu yang paling cethar adalah, mewakili propinsi Jawa Timur dalam lomba pidato P-4 tingkat nasional. Lihat langsung eyang Soeharto berpidato! Ini sesuatu banget!
Masa-masa SMA memang paling menyenangkan. Dan, hidup memang harus terus berjalan. Saya melanjutkan kuliah di kampus Teknik Informatika ITS. Di sini, SPP-nya sangaaaat murah. Seingat saya Cuma 375 ribu rupiah per semester! (saya masuk tahun 1999).
Apalagi banyak senior yang bilang, dengan kuliah di Teknik Informatika, kita bisa dapat banyak side job, entah bikin program, bikin website, macam-macam. Waaaah, makin semangaaaat dong! Apalagi senior saya banyak yang kece, hihihi.

Ealah… ternyata semangat saya cuman “panas” di awal doang. Setelah tahu pelajaran di jurusan ini, duuuh…. Saya langsung ngerasa jadi orang bego sedunia! SUSYAAAAHH AMAAAAT. Saya nggak kunjung paham dengan materi dasar-dasar logika, Bahasa Pemrograman C, Pascal, hadeeeh. Mata kuliah yang saya kuasai justru cuma MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) kayak Bahasa Inggris, Matematika Dasar gitu-gitu doang. Materi yang kepake selama kuliah di jurusan ini malah nggak nyantol di batok kepala sama sekali.
Walhasil, saya cari cara, gimana supaya saya bisa keluar dari jurusan ini, secara elegan. Maksudnya gini. Tahu sendiri kan, persaingan untuk masuk ke Jurusan Informatika ITS itu AMAT SANGAT KETAT BANGET! Malah di tahun segitu, grade-nya sempat di atas Fakultas Kedokteran Umum Unair. Jadi boleh dibilang, saya termasuk yang “rezeki banget” bisa nembus Informatika ITS. Sudah barang tentu, Ibu saya BANGGA dengan pencapaian anak wedok-nya yang ajaib binti alakazam ini.
Baca : Surprise Visit by Neno Warisman untuk Ibuku
Nah, kalo kemudian saya bilang bahwa saya nggak kuat/nggak sanggup dengan mata kuliah di sini, lalu pengin keluar…. Gimana perasaan Ibu saya?
Tapiiii… kalo saya tetap paksakan buat kuliah di sini… kemudian saya stress/depresi dan IP saya failed melulu…. Itu artinya saya buang waktu dan energi sia-sia kan?
Baiklah. Saatnya sholat istikhoroh.
O iya… sahabat saya di ITS memang banyak. Dan, tentang kerisauan ini, saya cerita juga sih sama mereka. Mayoritas bilang, “Kamu Pasti Bisa, Nurul!” sambil mengepalkan tangan ala Bung Tomo. Intinya, menyemangati bahwa saya bisa lah survive di jurusan Informatika ini.
Tapiii, heiii… saya lebih kenal dan paham kemampuan dan kekurangan diri saya sendiri. Bergaul dengan teman-teman di Informatika memang amatlah menyenangkan. Akan tetapi saya tidak bisa berpura-pura betah bin bahagia berada di jurusan yang ternyata tidak saya suka. At that time, saya sampai level MUAK banget lihat computer lho! Pokoknya saya super menyesal sudah memilih jurusan ini.
Ndilalah… suatu hari saya baca lowongan kerja di Deteksi Jawa Pos. Ini adalah rubrik yang khusus menyasar anak muda. Waaawww… sepertinya ini bisa jadi exit plan yang menarik!
Ini cinta pertama saya: jurnalistik dan literasi. Kalau saya bisa join di Deteksi, artinya saya dapat uang tambahan, dan saya bisa super-duper-perform di sana… sehingga Ibu nggak perlu risau dengan keputusan saya hengkang dari Informatika ITS.
BRAVO!
Skenario saya ternyata sejalan dengan takdir Illahi. Saya masuk Deteksi. Awalnya sebagai surveyor yang bertugas menyebarkan polling ke berbagai kampus dan sekolah. Kemudian, ada seleksi sebagai penulis naskah. Saya daftar dong, dan terpilih! Di Deteksi, kita biasa ketemu artis… handle event anak muda… ya kerjaan yang hedon-hedon gitu lah.

Daaaaan…. Saya bilang ke Ibu, kalo saya suka ama tipe kerjaan seperti ini. Menulis-ketemu artis-wawancara-repeat. Saya sangat menikmati berhadapan dengan PC, asalkan nggak disuruh mikir Bahasa pemrograman 😊 Ibu pun mengapresiasi apa yang saya lakukan. Hingga kemudian, saya bilang kalau mau ikut UMPTN lagi, demi pindah jurusan ke Komunikasi Unair.

“Lho? Yang ITS gimana?”
“Rencananya kalo keterima Unair… ITS-nya aku lepas Bu….”
“Nggak eman-eman? Opo ndak dicoba dulu dua-duanya?”
Hmmm…. Beberapa teman saya ada yang kuliah dobel. Iyalah, mereka pinter banget! Kalo saya? Kuliah satu jurusan di Informatika aja galau melulu. Gimana kuliah dobel?”
“Nanti dilihat deh, Bu. Kuatirnya jadwal kuliah yang tabrakan, malah nggak efektif. Doakan yang terbaik buat aku ya…”
Kemudian saya ikut UMPTN untuk kedua kalinya…. Dan diterima di kampus Unair, jurusan Ilmu Komunikasi.
“Widiiih… mba Nurul ketrima UMPTN dua kali! Gilaaaak! Gilaaak!” Banyak komentar yang berseliweran di sekitar saya.
Well, to be honest, saya nih bukan manusia brilian. Lebih tepatnya, nggak pinter-pinter amat. Ya itu tadi, saya yakin kalau Allah punya takdir terbaik untuk masing-masing hamba-Nya. Dan itu semua sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Sama seperti takdir saya yang berangkat mewakili Indonesia di forum Google Local Guides Summit di San Francisco Amerika Serikat.
Baca : Jadi Local Guides dan Pergi ke Amrik Gratis? Gimana Caranya?
Takdir saya ya kayak gini. “Kesasar” dulu di jurusan Informatika, kemudian dapat kerja sambilan di Deteksi Jawa Pos, dan kuliah di Unair deh.
Akhirnya….. saya bilang terus terang ke Ibu bahwa aku nggak bisa ngelanjutin kuliah di ITS. Mungkin ini terdengar keputusan yang paling mbencekno, karena heiiii…. Informatika ITS itu grade-nya tinggi! Masa depannya cemerlang!
Mau gimana lagi. Ternyata saya nggak punya talenta dan kapabilitas di bidang IT, ya sudah. Saya tekuni saja apa yang saya bisa dan jadi kegemaran.
Semasa di Deteksi, saya bergaul dengan mahasiswa dari kampus lain yang juga passionate dengan dunia jurnalistik. Kami belajar bareng. Kami bertumbuh bersama. Teman-teman saya mayoritas dari keluarga berada. So, mereka kerja di Deteksi BUKAN karena semata-mata butuh duit, tapi karena cari pengalaman, having fun, dan supaya tahu rasanya kerja itu kayak gimana.

Kami diperlakukan kayak karyawan koran beneran. Redaktur yang marah-marah kalo tulisan kami pating pechetot, deadline nulis di koran yang berkejaran dengan deadline tugas kampus…. Rapat redaksi bahas tema dengan ‘ketegangan’ yang sukar digambarkan… marah sama boss… dimarahi boss… pokoke seru!
Yang sampe sekarang susah dilupakan adalah… saya tuh seriiiing banget berantem dengan Azrul Ananda. Yap, anak sulungnya pak Dahlan Iskan itu lho. Haha. Kocak banget yak, ada “kutu” yang berani-beraninya berantem ama “gajah”. Yang lebih kocak lagi…. Ternyata si “kutu” ini memperkenalkan “gajah betina” yang cantik jelita (dan dari keluarga kaya raya) ke si “gajah”, sambil bilang….”Mas, kayaknya dirimu cocok deh, jalan ama Ivo.”
Lalu? Dua “gajah” itu pun berjodoh. Pernikahan yang amat setara. Laki dan perempuan dari keluarga tajir melintir. Sekarang, mereka punya 3 anak yang sehat-sehat dan lucu. O iya, barusan aja, keluarga besar Pak Dahlan Iskan umroh, termasuk Azrul, istri, dan anak-anaknya. Kami semua kaget… karena heii, Azrul kan dikenal sebagai sosok yang lumayan sekuler. Yang namanya hidayah itu emang surprising…. Dan Alhamdulillah, dari status seorang teman, saya baru ngeh, kalau Azrul sekarang mulai ajeg mendirikan sholat. Alhamdulillah. Alhamdulillah.
Yah, gitu deh, cerita masa muda saya. Ternyata numpang curcol sekalian, haha. Gini nih asyiknya ikutan #OneDayOnePost bareng Indonesian Social Blogpreneur (ISB). Hayuk, ikutan juga yuk! (*)
Ternyata itu yg membuat jago nulis, dan wajahnya sejak lama g berubah-ubah 😁
Lhaaaaa kalo berubah-ubah malah medeni tho yaaaaa
Wah seru pengalamannya mbak
Rupanya talenta menulis terasah sejak masih remaja ya. Pantesan aja tulisan mbak Nurul keren2. Mentornya jurnalis-jurnalis keren euy
Terus menulis mbak
Aku penikmat gaya bertuturmu
Seru, Mbak. Like it very much. Dan aku merasa senasib waktu baca bagian yang ngerasa salah jurusan pas kuliah. Aku dulu nggak kuliah sih, cuma ambil pendidikan pariwisata selama dua tahun, padahal aslinya lulus SMA aku pengen masuk Ilmu Komunikasi atau seenggaknya Bahasa/Sastra Indonesia yang lebih dekat dunia kepenulisan. Bedanya, aku nggak berani ambil langkah waktu itu. Jadinya serba nanggung. Jadi guide cuma piyik, jadi jurnalis juga cuma berstatus wartawan magang sama pas jadi jurnalis beneran cuma di koran abal abal yang usianya cuma hitungan bulan. Ketika dapet tawaran jadi jurnalis beneran di koran bekas aku magang, aku udah kadung pindah ke Pemalang. Hahaha, so, sampai sekarang impian jadi wartawan hanya sekedar impian bagiku. Hiks. Malah curhat hahaha.
Penutupnya bikin mesam-mesem, Mbak 😀
Mbak Nurul ini perjalanan hidupnya luar biasa, ya. Seruuu sekali menyimaknya. Udah hebat sejak remaja, sudah berani mengambil keputusan besar pindah jurusan/kampus. Jempol banget, deh!
Salam kenal kak,
Wuah, luar biasa banget perjalanan kakak,
Terinspirasi 🙂
MasyaAllah perjalanan karir menulismu sungguh luaaar biasaa mbak, barokallah
Mbak Aq seneng banget baca ini,keren dan bersemangat. Semangat terus mbak Nuruuull
Owalah mbak Nurul dulu sempet masuk Informatika ITS. Wah bakalan sekelas sama (mantan) bos2ku klau lanjutin di sana.
Kalau sama Pak Bahtiar HS kenal gak mbak? Penulis jg sih dr FLP kalau gk salah dulu 😀
Akupun pernah salah jurusan gitu mba :p. Masuk akuntansi, tapi ternyata aku pusing ama pelajrannya yg kebanyakan angka wkwkwkwk. Tp aku seleseiin walopun cm sampe diploma 3. Trs nyambung s1 lgs banting ke business admin :D. Adikku yg bungsu gitu juga. Amnil kedokteran, tp ternyata passion dia di bisnis bakery keluargaku.. Tau gitu dr awal aja kuliah bisnis -_-. Dia ttp nerusin kedokterannya, hanya krn mama pgn satu anaknya dokter
super sekali mbak, selalu suka baca kisah masa lalu mbak deh, hehehe, banyak pelajaran dan surprisenya