Siapa yang dagdigdur deerrr manakala baca laporan Jurnalisme Data by KOMPAS beberapa waktu lalu? Itu lhoo, yang kurang lebih isinya men-jlentreh-kan bahwa Banyak Orang Tua Indonesia yang nggak bisa bayar kuliah anaknya. Dooohh! Gejala overthinking auto menyergap. Ya iyalaahh, anak eikeh udah SMA nih, dalam waktu yang tidak terlalu lama, si bocah yang hobi bikin DOODLE itu bakal menginjak dunia kampus. Sooo, wajar dong kalo emaknya panik ๐
Seperti biasa, biar paniknya berkurang, curcol aja di WA grup. ๐ Biar panik berjamaah ama temen-temen yang lain, wkwkwkw.
Eh lah dalaahh, ternyataaa, di WAG ada Gusti Trisno, blogger sekaligus novelis yang berbagi cerita, kalo doi tuh BISA berkuliah sampai S-2 dengan mengandalkan Beasiswa! Yuhuuu, ini aku kutip beberapa chat Gusti Trisno ya gaesss.
ย
Saya: Gaes, mayan panik ga sih, kalo bacaLiputan di Kompas. Kayaknya konteksnya tuh thn ini kan banyak yg udah ketrima PTN, beragam jurusan, ada juga yang SENI GAMBAR tapi ga bs daftar ulang, lantaranย duitnya blm ada.
Mau utang jg ngga segampang itu, karena ga ada jaminan…plus ga ada yg mau ngutangin jg.
Klo beasiswa dst kan kyknya bs diakses/cair manakala sudah resmi masuk sbg mahasiswa kan ya?
Gusti: kuceritakan prosesku, ya. Kebetulan aku mendapatkan beasiswa S1 Bidikmisi dari Kemendikbud dan S2 dari LPDP Kemenkeu.ย
Dulu, pas S-1 aku menerima beasiswa Bidikmisi. Ya, beasiswa siswa berprestasi tapi secara ekonomi belum beruntung.ย
Saat itu, minimal daftar pas SMA harus peringkat paralel.
Nah, lolos lah aku sesuai dengan pilihan pertama saat itu.
Daftar ulang gratis tis tis. Tinggal masuk aja. Namun, ya, waktu itu ekonomi benar-benar diuji, mana uang beasiswa keluarnya 3 bulan setelah diterima sebagai mahasiswa.
Mau ngutang juga nggak bisa. Akhirnya, alm. Ayah menggadaikan dirinya. Menggandaikan diri maksudnya begini. Di lingkungan, Panarukan, Situbondo, ya. Kan mayoritas nelayan. Ketika nelayan nggak punya uang bisa menggadaikan dirinya ke orang lain. Orang tersebut bisa meminjamkan duit. Sebut saja namanya Bu Mawar.
Nah, almarhum Ayah pinjam ke Bu Mawar sejumlah segini untuk uang bulan pertama hidup di tanah rantau dan bayar kost. Dari sekian penghasilannya selama melaut, hasil lautnya itu harus dijual ke Bu Mawar dengan harga di bawah pasaran. Hal itu terus berlanjut hingga almarhum ayah benar-benar bisa melunasi.
Sebagian teman yang dapat beasiswa dan mungkin ortunya bernasib sama denganku malah memilih mundur di tiga bulan awal itu. Ya, itu pilihan sih dan kondisi mereka kita nggak tahu pasti.
Nurul: Waktu itu, gimana requirement-nya?
Gusti: Bidikmisi saat itu maksimal penghasilan ortu dibagi jumlah anggota keluarga adalah 600.000.
Jadi, misalnya penghasilan Ayah katakanlah rata-rata 1.500.000/bulan. Lalu, ada aku, Ayah, dan Ibu maka dibagi tiga menjadi 500.000. Itu udah termasuk kategori ekonomi kurang mampu.
Oh, ya, setelah daftar ulang kampus, biasanya ada yang survei untuk melihat keadaan orang tua, juga rumah. Nah, terkadang melibatkan wawancara dengan tetangga.ย
Ini bahayanya kalau tetangga nggak suka, bisa saja melebih-lebihkan.
Survei itu pernah kudapatkan dua kali. Saat awal masuk dan di tengah perjalanan kuliah.
Survei untuk melihat kekuatan ekonomi, apakah berubah atau tidak.
Aku kuliah di S-1 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Jember pada tahun 2019. Setelah diterima Bidikmisi, uang bulanan yang kudapatkan sebesar 600 rb per bulan. Itungan segitu, ya. Bisa kurang bisa lebih bergantung pengelolaan.
Aku termasuk jarang minta ke orang tua. Kecuali, kalau memang kurang dan butuh. Biasanya yang pertama kali ditanya ketika telepon, “Pak, ikan ada di rumah?” Kalau sudah bilang nggak ada, berarti ya nggak ada uang begitu simpulku. Kan ikan musiman adanya.
Dari 600 ribu itu bayar kos awalnya 200 rb. Sisa 400 rb. Agak hemat banget. Sampek aku bikin pengeluaran harian, setidaknya 10 rb atau 15 rb sehari. Beras beli. Tinggal masak pakai magicom, kalau lauk dan sayur tinggal beli.
Namun, untuk menambah itu, pas kuliah, aku jualan roti. Rotinya murah si 300 perak, kujual 500 perak. Jual sendiri, ke kelas-kelas dan dititipkan di kantin. Juga tetap jual pulsa. Hasilnya lumayan bangettt. Bisa buat tabungan pas ngerjain skripsi dan praktik ngajar yang membutuhkan banyak sekali ngeprint atau fotokopi.
Nurul: Kelar lulus S-1 apa langsung lanjut ke S-2?
Gusti: Setelah lulus S-1, aku tak langsung memutuskan lanjut S-2. Aku memilih mengajar dulu selama setahun. Lalu, memilih resign. Waktu itu di rumah harus ada yang nemenin Ayah yang sedang berjuang melawan kanker. Nah, kesepakatan bareng kakak-kakak, aku memilih nggak bekerja hampir satu tahun.ย
Di tengah merawat Ayah, kucoba apply beasiswa S-2. Aku cerita ke Ayah. Beliau bilang harus tanggung akibatnya. Ayah nggak akan bisa bantu nambahin uang kalau ada apa-apa mengingat kondisinya saat itu.
Aku mengiyakan dan memang memilih di Universitas Negeri Malang. Sebab, Ayah kan perawatannya di RSSA. Menurutku, kalau masih dalam tahap perawatan, beliau bisa kutemani sekaligus bisa boyong Ibuk. Apalagi, LPDP itu biaya bulanan untuk Kota Malang sebesar 3,6 juta saat itu. Insyaallah sangat cukup. (*)
Biaya kuliah udah semakin naik ya.. laporan Kompas itu langsung beredar di group WA kantor….
Apa yang PTN sekarang ini sudah tidak ada jalur keringanan misalnya boleh bayar dicicil ya? Dulu di FEUI (di fakultas lain belum tentu ada) saya dapat keringanan boleh mencicil. Ada interviewnya dan pakai surat keterangan tidak mampu (sebenarnya kalo ada surveyor yang datang ke rumah juga udah kelihatan rumah keluarga saya cukup sederhana– kendaraan terbaik yang kami miliki ada lah sepeda).
Nahhh itu diaaa. Saya jg kurang begitu paham. Sebenrnya ada temen d WAG yg kerja di Unibraw (perpus) kurang paham juga soal student loan atau program cicilan biaya kuliah gini.
Ya Allah. Terharu aku bacanya. Semoga anak-anak yang bersemangat tinggi untuk sekolah tapi penuh keterbatasan, dimurahkan rezekinya untuk menggapai cita-cita, memuliakan orang tua dan mampu menaikkan derajat keluarga. InshaAllah dibalik kesulitan, melatih kita untuk banyak bersyukur atas segala yang bisa kita jalani dan nikmati selama di dunia. Aamiin YRA