Sahabat saya insyaAllah mau berangkat umroh dalam waktu dekat. Doi cuss ke Arab Saudi bareng saudara-saudaranya. MasyaAllah…. Rasanya semriwiiingg, ikut seneeengg banget!
Yang namanya perjalanan ke Baitullah tuh kan bukan traveling biasa ya. Nawaitu utamanya pastilah untuk ibadah. Ya kalo pada akhirnya kudu shopping di Bin Dawood dan ngeborong aneka gamis, perhiasan kurma, dll anggap aja itu sebagai side effect belaka đ
Duh, saban dengar kabar ada yang mau umroh atau Haji, eikeh jadi baper nih. Teringat pengalaman Haji yang saya lakoni bareng Ibu dan Kakak kandung. Rasanya SUPERB! Apalagi, kami pakai biro travel KBIH Nurul Hayat yang daebaaakk, super recommended (no endorse ya gaes).
Kalau pertanyaan itu ditujukan ke saya, udah pasti jawabannya “Enak di usia muda.” Udah pernah saya singgung di postingan “Jadi Monster Pas Berhaji” ini, kalau HAJI (termasuk Umroh) tuh ibadah yang menuntut kesigapan dan ketangguhan FISIK banget. Yaaa, tentu masalah ruhiyah harus total jendral juga, supaya dampak hajinya merasuk dalam jiwa/iman. Tapiii, yang namanya sa’i, thowaf, dan aneka detail umroh/haji lainnya butuh fisik yang paripurna.
Alhamdulillah, ALLAH takdirkan saya berhaji di usia 29 tahun. Well, pastinya ada plus minus ya, haji umur (relatif) muda gini. Coba ini saya jabarkan apa aja.
“XL Hadirkan Paket Umroh & Haji, kuota dan paket data murah harga 149 ribu”
#JadiBisa Ibadah dan Komunikasi Lancar Jaya dengan Paket Umroh & Haji XL
Kuping saya terasa gatal, setiap ada yang berkomentar âUmroh dan Haji kok berkali-kali, memangnya udah sedekah ke fakir miskin? Mending duitnya buat amal bagikan ke anak yatim dong!â
Begini. Umroh atau Haji itu kan bukan ibadah biasa, ya. Ada nuansa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Bertandang ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, merasakan aura manusia yang semangat beribadah, sekaligus melakoni aneka rukun dan wajib Umroh/Haji, itu semua sesuatu yang waaaayyy beyond ordinary traveling.
Tahun 2010, adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Arab Saudi. Ibadah Haji saya lakoni bareng Ibunda dan kakak saya. Tentu saja, hajj bukan sekedar ‘traveling’ biasa. Lebih dari itu, ibadah haji berisikan aneka memori yang terus berdengung di kepala. Momen tatkala thowaf mengelilingi Ka’bah sambil melantunkan “Labbaik Allahumma Labbaik….” pun ketika sa’i, melakukan ibadah lempar jumroh, wukuf di Arofah…. masya Allah…..semua itu memberikan getaran rindu yang bertalu-talu.
Selain ibadahnya, mengingat momen ketika berhaji kerap membuat senyum saya terpampang nyata. Yap. Adegan desak-desakan ketika berebut naik bus Saptco… kenalan sama dedek-dedek ganteng yang ternyata mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo Mesir (gilak! Nih tante genitnya ga pake takaran hahahahah) Termasuk…. tidak lain dan tidak bukan….. perjuangan untuk mendapatkan aneka kuliner mak nyus yang terbentang di Mekkah maupun Medinah.
Maap yah, sekarang blog ini jadi sarana katarsis buat mengeliminir rasa bosan yang numpuk-numpuk, hihi. FYI, ibu saya kan kena kanker paru.Dan, dengan segenap kesadaran penuh serta ikhlas plus sabar yang masih kembang kempis hahahah saya memutuskan buat rehat sejenak dari segala urusan duniawi.
âAllahu Akbar, IbuuuuâŚ..ibuuu⌠ini gimana nih, IbuâŚ.â
âAstaghfirullah⌠Allah⌠AllahâŚ.â
Buru-buru saya berucap istighfar. Tak kuasa saya melihat âpemandangan ngeriâ yang terjadi persis di depan saya. Seorang nenek-nenek bermukena lengkap, menaiki eskalator bareng bolo-bolonya. Semua serba lansia. Kalau lihat gaya bicara mereka, tampaknya, nenek-nenek sepuh ini berasal dari desa dan sama sekali tidak akrab dengan eskalator! Pantasss⌠Mereka kelihatan kemrungsung (panik dan ribet) ketika harus menapaki tangga berjalan. Pantas, satu dan yang lain kelihatan berusaha saling menguatkan, menyemangati agar bisa naik. Tapi, yang terjadi adalahâŚ. Mukena salah satu dari mereka nyangkut, tergilas pijakan eskalator dan nenek tadi harus jatuh berguling-guling.
Untunglah, cukup banyak jamaah haji pria yang berada di sekitar kami. Setelah eskalator berhasil dihentikan, pak haji tadi langsung menolong nenek sepuh yang tak berdaya.
Yak, selamat datang di Masjidil Haram, Mekkah. Inilah momen terbesar dalam ibadah umat muslim sedunia. Berjubel manusia memadati bangunan suci ini. Masjid yang teramat sangat luas, penuh dengan beragam aksesoris hi-tech, sehingga kerap menjadi âjebakan betmenâ buat para jamaah haji. Apalagi, yang berasal dari desa, dan minim pengalaman dengan teknologi.
(bukan) jamaah ndeso lah yauw Heheheh
Kalau mau berhaji, bukan hanya hati, jiwa dan iman yang harus dimantapkan. Duit, juga, hehe⌠Yang tak kalah penting, siapkan âmentalâ untuk menghadapi beragam hal di luar kebiasaan hidup kita.
Soal naik eskalator tadi, misalnya. Jauh-jauh bulan, ada baiknya CJH yang berasal dari desa diajak untuk jalan-jalan ke kota. Tujuannya? Ke mal! Ngapain? Coba naik-turun eskalator. Selain itu, biasakan diri untuk berakrab ria dengan kumpulan manusia dalam jumlah segabruk. Betul lho, kalau tidak terbiasa, lihat ribuan manusia bisa bikin sukses keliyengan!
Tahun 2010, Alhamdulillah saya memenuhi undangan Sang Penggenggam Kehidupan untuk beribadah ke Baitullah. Rasa haru yang meruap, rasanya sulit dipercaya, karena usia saya terbilang masih muda (untuk ukuran rata-rata jamaah haji Indonesia). Ya, saya berhaji di usia 29 tahun. Bersyukur lantaran usia muda ini memudahkan saya untuk melakoni sejumlah ibadah fisik. Bayangkan, SELURUH ritual dan aktivitas haji mensyaratkan fisik yang prima. Thowaf, kita harus memutari Kaâbah sebanyak 7 putaran. Lalu, saâi, bolak-balik antara bukit Shofa-Marwah sebanyak 7 kali. Belum lagi berjibaku ketika antre bus. Ketika harus berjejalan di dalam Masjidil Haram. Ketika berjalan kaki dari pemondokan ke terminal. Macam-macam. Tak habis syukur saya karena undangan Allah yang begitu indah, sudah saya terima di usia 29 tahun.
Muncul pertanyaan, bagaimana saya bisa berhaji di usia semuda itu? Hmm, jawaban versi bijaknya: begitulah skenario Allah. Kadang, kita tidak pernah tahu dan tak bisa memprediksi jalan hidup kita. Kalau jawaban versi financial planning: Ya, boleh dibilang, berangkat haji adalah salah satu âtujuan finansial utamaâ saya. Apapun saya lakukan demi bisa berhaji. Saya rela ngirit-ngirit ongkos makan, asal ada duit yang bisa saya tabung di Rekening ONH. Saya sanggup tak beli baju modis, tak nonton film bioskop premiere, tak ikut gaul dan berhedon-ria dengan teman-teman. Mengapa? Karena saya meniadakan budget âhaving funâ dan mengalokasikan semua itu dalam rekening Haji. Alhamdulillah, duit tabungan sudah cukup. Plus, undangan Allah sudah tiba.  Sebuah harmoni nan indah. Lebih elok lagi, karena abang dan ibunda saya juga berhaji di tahun yang sama. Subhanallah, sungguh indah rencana Allah.
Demi Ngirit, Masak Sendiri
Masih membahas soal financial planning. Urusan hidup hemat harus berlanjut di tanah suci. Sebenarnya, negeri onta ini  tidak terlampau âmencekikâ dalam urusan harga sembako. Ya, adalah harga-harga yang dikatrol, karena demand yang luar biasa meningkat. Kalau ketemu pedagang yang baik, insyaAllah kita nggak bangkrut-bangkrut amat-lah. Tapi, apabila Anda lagi apes, dan bersua pedagang yang âminta ditambah ajaranâ (istilah ini diperhalus dari âkurang ajarâ) ya apa boleh buat. Saya pun pernah beradu mulut dengan si pedagang bahlul itu. Saya ngomel-ngomel pakai Bahasa Inggris, dia pakai Bahasa Arab. Nggak nyambung? Biarin, yang penting puas, sudah bisa komplain ke dia. Hehe.
Nah, kami bertiga termasuk keluarga menengah yang tak tega bila harus menghamburkan duit. Untungnya, ibu saya termasuk perempuan dengan kecerdasan finansial yang sungguh patut diberi standing ovation. Dari tanah air, ibu membawa beragam properti dan bahan mentah, bumbu plus perintilan dapur lainnya. Mulai kompor listrik, rice-cooker mini, panci, wajan, teko, beras, kacang ijo, bahkan daun pandan! SubhanAllah banget kan?
Ternyata, strategi Ibu amat-sangat bisa menyelamatkan kantong dari âkepunahan pendudukâ. Kalaupun beli di Arab, kami hanya belanja telor, sayur kangkung dan buah-buahan saja. Selebihnya, please welcomeâŚ. Chef Siti Fatimaaahh! HehehheâŚ.
(mendadak) Chef Siti Fatimah (kanan)
Lebih bersyukur lagi, karena lidah saya ternyata tak berjodoh dengan masakan Arab. Hampir semua masakan Arab diberi bumbu kapulaga, jinten yang rasanya justru (menurut saya) bikin eneg. Alhamdulillah, justru di Arab, saya merasakan bahwa masakan Ibunda adalah menu paling juara sedunia!
O iya, ibu saya juga menyiapkan stok bumbu pecel, abon, mie instan, ikan wader goreng, kripik usus, kripik belut, dan aneka snack yang bisa berfungsi sebagai teman makan nasi. Nggak ada judulnya kita bosan dengan sajian Ibu. Yang ada, teman-teman satu KBIH sibuk bersilaturrahim ke kamar kita. âHalo, Assalamualaikum, hari ini Chef Fatimah masak apa ya?â
Perbaiki Hati, demi Raih Haji Mabrur
Seolah tidak ada habisnya kalau harus mengulik memori ketika berhaji. Adaaaa saja yang mau diceritakan. Kenangan ketika wukuf di Arofah. Drama berebut bus Saptco gratisan. Pengalaman diusir asykar (petugas) Masjidil Haram karena ketahuan bawa kamera. Adu strategi simpan kamera poket di dalam kaos kaki, lantaran takut disita asykar di Masjid Nabawi. Macam-macam!
Yang jauh lebih penting dari itu semua adalah, apa dan bagaimana upaya kita untuk meraih predikat Haji Mabrur. Karena rupiah yang kita gelontorkan, sungguh amat disayangkan bila tidak kita optimalkan untuk ibadah haji setulus hati. Memang, godaan kerap menghantam. Ujub (bangga pada diri sendiri) hanya karena sudah berhaji, adalah sebuah rasa yang harus kita enyahkan. Sekuat jiwa. Karena itu, sebelum berhaji, sesudah berhaji, dan setiap momen haji tiba, saya selalu baca untaian nasehat dari Jaâfar Ash Shadiq, sufi besar keturunan Rasul, yang saya cantumkan di akhir tulisan ini. Resapi dalam-dalam. Hayati, dan amalkan. Yang tahu mabrur-tidaknya ibadah hanya Allah. Tugas kita adalah melakukan upaya dan menguatkan hati agar tidak tergelincir dalam riyaâ (pamer). Selepas itu, tak perlulah kita panik dengan embel-embel âPak Hajiâ atau âBu Hajjahâ atau âUmiâ dan sebagainya. Satu-satunya hal yang esensial, semoga Allah mengganjar kita dengan surga-Nya, sebagaimana sabda Rasul, âHaji mabrur itu tidak ada balasan lain, kecuali surga.â (HR Nasai dari Abu Hurairah).
Allahu Akbar. Indah nian⌠Dan, ingat-ingat juga sabda Rasulullah berikut, âBarang siapa berhaji di Baitullah, kemudian dia tidak berkata-kata kotor atau berbuat dosa, ia kembali dari haji seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya.â (HR Bukhari dari Abu Hurairah).
Baiklah, di bawah ini saya untaian nasehat dari Jaâfar Ash Shadiq:
Jika Engkau Berangkat HajiâŚ.
Kosongkanlah hatimu dari segala urusan dan hadapkanlah dirimu sepenuhnya kepada Allah Swt.
Tinggalkan setiap penghalang dan serahkan urusanmu pada Penciptamu.
Bertawakkallah kepada-Nya dalam setiap gerak dan diammu.
Berserahdirilah pada semua ketentuan-Nya, semua hukum-Nya, dan semua takdir-Nya.â
âTinggalkan dunia, kesenangan dan seluruh makhluk.
Keluarlah dari kewajiban yang dibebankan kepadamu dari makhluk.
Janganlah bersandar pada bekal, kendaraan, sahabat, kekuatan, kemudaan, dan kekayaanmu.â
âBuatlah persiapan seakan-akan engkau tidak akan kembali lagi.
Bergaullah dengan baik.
Jaga waktu-waktu dalam melaksanakan kewajiban yang ditetapkan Allah dan sunnah Rasul, yaitu berupa adab, kesabaran, kesyukuran, kasih sayang, kedermawanan, dan mendahulukan orang lain sepanjang waktu.
Bersihkan dosa-dosamu dengan air tobat yang ikhlas.â
âPakailah pakaian kejujuran, kerendahan hati, dan kekhusyukan.
Berihramlah dengan meninggalkan segala sesuatu yang menghalangi kamu mengingat Allah.
Bertalbiahlah kamu dengan menjawab panggilan-Nya dengan ikhlas, suci, bersih dalam doa-doa kamu seraya tetap berpegang pada tali yang kokoh.â
âBertawaflah dengan hatimu bersama para malaikat sekitar Arasy, sebagaimana kamu bertawaf dengan jasadmu bersama manusia di sekitar Baitullah. Keluarlah dari kelalaianmu dan ketergelinciranmu ketika engkau keluar ke Mina dan janganlah mengharapkan apapun yang tidak halal dan tidak layak bagimu.â
âAkuilah segala kesalahan di tempat pengakuan (Arafah). Perbaharuilah perjanjianmu di depan Allah, dengan mengakui keesaan-Nya. Mendekatlah kepada Allah di Muzdalifah. Sembelihlah tengkuk hawa nafsu dan kerakusan ketika engkau menyembelih dam. Lemparkan syahwat, kerendahan, kekejian, dan segala perbuatan tercela ketika melempar Jamarat.â
âCukurlah aib-aib lahir dan batin ketika mencukur rambut. Tinggalkan kebiasaan menuruti kehendakmu dan masuklah kepada perlindungan ke Masjidilharam. Berputarlah di sekitar Baitullah dengan sungguh-sungguh mengagungkan Pemiliknya dan menyadari kebesaran dan kekuasaan-Nya. Ber-istilam-lah kepada Hajar Aswad dengan penuh keridhaan atas ketentuan Allah dan kerendahan diri di hadapan kebesaran-Nya. Tinggalkan apa saja selain Allah ketika engkau melakukan tawaf perpisahan. Sucikan rohmu dan batinmu untuk menemui Dia, pada hari pertemuan dengan-Nya ketika kami berdiri di Safa. Tempatkan dirimu pada pengawasan Allah dengan membersihkan perilakumu di Marwa.â(*)
Nggak banyak orang Indonesia yang berangkat haji di usia muda. Padahal, haji adalah Ibadah Fisik banget! Bayangin aja, selama Haji, kita kudu ngelakoni Thowaf (muterin bangunan Kaâbah selama 7 putaran), plus saâi (jalan cepat antara bukit Shofa dan Marwah) juga selama 7 kali. Bangunan Masjidil Haram yang luas banget itu, juga kudu ditempuh dengan berjalan kaki. Kebayang kalo yang harus ngejabanin itu semua adalah nenek-nenek berusia 70-an tahun, lumayan bikin encok rematik jadi kumat bukan?
Syukurlah, saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk berhaji di usia yang masih lumayan âpagiâ: 29 tahun. Walaupun bobot bodi saya lumayan bikin ngos-ngosanâberat saya 69 kg dengan tinggi badan 155 cm, tapi, saya kan masih muda banget jadi saya optimis dan super-pede dengan perjalanan Haji pertama saya ini.
Ya Allah… pengin ke sini lagiiii….
Ternyata, di Mekkah, saya kudu nginep di maktab (penginapan) di kawasan Syisya yang berjarak sekitar 6 kilo dari Masjidil Haram. Untungnya, gara-gara lokasi yang cukup jauh, saya dapat cash back dari pemerintah RI senilai 700 reyal. Selain itu, untuk menjangkau Masjidil Haram cukup naik bus Saptco 2 kali, dengan rute: Syisya-Terminal Mahbaz Jin, lalu ganti bus lagi, dengan jurusan Terminal Mahbaz Jin-Masjidil Haram. Busnya gratis pula. Jadi, pemerintah Indonesia menyiapkan sejumlah armada bus dengan rute yang disesuaikan berdasarkan lokasi maktab. Karena maktab saya bernomor 203, maka saya kudu naik bus nomor 2, jurusan Syisya. Nah, di Syisya itu bercokollah ribuan umat manusia yang juga pengin naik bus gratisan dengan destinasi yang sama: Masjidil Haram. Namanya aja bus gratisan, butuh perjuangan ekstra untuk bisa nangkring manis di dalam bus, baik dalam perjalanan dari maktab ke Masjidil Haram, maupun sebaliknya.
Apa aja kendalanya? Tentu perkara antre. Untuk bisa nangkring manis di dalam bus, kita musti baris-berbaris di sekujur line yang disediakan petugas haji di kawasan Bab Ali (pintu Ali) di Masjidil Haram. Antrinya bak ular naga panjangnya bukan kepalang! Tapi namanya manusia itu susaaahh banget diatur. Ternyata selama di Arab Saudi, beberapa dari kita justru menjelma menjadi âMonsterâ. Meski sama Pak Ustadz bolak-balik diceramahin bahwa kita kudu melatih kesabaran selama Berhaji, wew, ternyata slogan âOrang Sabar Disayang Tuhanâ kagak berlaku manakala kita antre bus.
Pernah tuh, saya antre dengan rapih-jali, tiba-tiba seorang manusia slonong boy di sebelah saya, ia dengan cueknya nyerobot! Sabar, sabar Bu Haji⌠saya cuman bisa membatin. Eeh beberapa detik setelah itu, muncul segambreng manusia yang nyerobot juga. Terang aja, kami yang udah hampir mati berdiri saking lamanya antre, langsung muntab. âWoooiii⌠antre woooiii!â, kami pun koor neriakin si tukang serobot. Entah pura-pura budeg atau emang budeg beneran, tuh orang kagak ngeh dan nggak meduliin teriakan kita. Langsung aja saya samperin mereka, âPak, antre tuh baris ke belakang, bukan baris ke samping. Di sekolah pernah ikut upacara bendera gak seh?â
Lain waktu, ada nenek-nenek yang ngantri di belakang saya. Hmm, enak nih, kalo nenek-nenek biasanya sopan. Lah, ternyata dugaan saya meleset! Biar kata nenek-nenek, dia tetep dengan pedenya dorongin badan saya yang segede gaban ini. Saya pun nyolot, âRese deh! Nek, saya tuh bisa jalan sendiri, nggak usah didorong-dorong kenapa?â. Dan dengan manisnya, tu nenek malah melengos.
Setelah antre-mengantre yang super ngeselin itu, kami menanti detik-detik yang menegangkan untuk keluar dari Bab Ali. Jadi, para petugas itu membentengi kami yang lagi ngantre ini dengan sebingkai rantai. Manakala rantai penghalang itu dibukaâŚ. Gruduuuuggg, para jamaah haji ini lepas begitu saja, kayak kuda dikeluarin dari kandangnya! Lalu, kita musti dorong sana-dorong sini, demi mendapatkan posisi wenak di dalam bus. âKalo lo pengin dapat tempat duduk di bus, maka lo kudu agresif!â gitu kata salah satu temen sekamar saya. Jadilah, sikut sana, sikut sini sambil lari-lari ngejar bus.
Nah loooo, gue berdiri kan di Bus Saptco! Kepaksa nyengir euy đ
Dapat kursi di dalam bus bagaikan secuil surga yang dilemparkan Tuhan ke muka bumi. Jadilah, kalo pas lagi hoki dan dapat tempat duduk, saya merem-meremin sekujur indra penglihatan, dan pura-pura bego ajalah, biarpun ada jamaah lain yang meminta belas kasihan untuk ikutan numpang duduk. Tapi, kadang, suka terbersit perasaan pengin nolong juga, apalagi kalau yang pasang tampang âmelas jayaâ itu adalah nenek-nenek yang kliatan lemes banget gara-gara kurang oksigen pas antre di Bab Ali.
Belum lagi kalau kebetulan kita satu bus dengan jamaah dari negara lain, misalnya Turki atau Iran yang badannya segede alaihim. Tenaganya jos markojosss! Jangan coba-coba sikut-sikutan ama mereka, dijamin kita bakal dikepret. Pernah nih, saya coba berusaha âasertifâ dengan tetep keukeuh ambil giliran saya untuk naik bus. Apa yang terjadi kemudian? Saya disikut, plus dapat bonus lirikan tajam yang seolah-olah mengatakan, âApaan lo? Orang Indonesia bodi kontet kayak gitu mau coba-coba lawan gue?â
Eniwei, justru suka-duka selama antre bus yang kayak ular naga panjangnya; sikut-sikutan antar jamaah; dan watak asli kita yang keluar selama di sana, adalah hiburan yang lumayan memorable selama saya berhaji. Kalau udah kumat betenya gara-gara capek antre dan lari-lari kejar bus, saya coba alihkan dengan ngobrol bareng mas-mas Temus alias Tenaga Musiman, yang jadi petugas transportasi di Arab Saudi. Mas-mas ini adalah orang Indonesia, kebanyakan mahasiswa Al-Azhar University, Kairo, Mesir, yang memanfaatkan libur kuliahnya dengan cari ceperan di Arab. Lumayan enak diajakin ngobrol, bahkan saya kerap diajarin beberapa kosakata Bahasa Arab. Maklum, sopir bus gratisan itu kebanyakan orang Sudan yang ga bisa berbahasa Inggris. Efek positifnya bisa ditebak. Saya gak perlu bingung-bingung manakala nyuruh sopir bus buat berhenti di depan maktab. Bonusnya adalah, tatapan mata kagum dari penumpang lainnya, âWah, ternyata mbak ini bisa bahasa Arab tho? Lulusan pesantren mana yak? Pasti dia hafal Quran juga.â Hehehe⌠saya pun turun dari bis dan melenggang dengan jumawa.(*)