Oleh: @nurulrahma
Suatu hari di kelas psikologi. Dosen meminta semua mahasiswa untuk menuangkan pertanyaan terkait penyimpangan kejiwaan dalam selembar kertas. Lalu, dosen mengambil acak pertanyaan tadi. Alisnya terangkat tatkala membaca satu pertanyaan yang menurutnya cukup ‘ajaib’. “Bagaimanakah cara mengetahui kondisi emosional anak seorang penderita skizofrenia?”
Kalau kita tengok Wikipedia, maka definisi skizofrenia adalah ‘gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal pikiran, perasaan dan tingkah laku. Ini gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).
Karena definisi yang agak rumit itulah, orang awam kerap menyebut penderita skizofrenia sebagai ‘orang gila’.
Apa jawaban si dosen? “Wah, penderita skizofrenia punya anak? Hmm, saya rasa tidak mungkin. Penderita skizofrenia tidak boleh punya anak. Siapa yang bikin pertanyaan ini?”
Seorang mahasiswi berhijab lebar, mengangkat tangannya. Sebut saja, namanya Wiwid. “Saya, Pak.” Sontak nyaris seluruh manusia di kelas itu terkikik. Ada celetukan “Wiwid skizofren!” dan tentu disambut tawa membahana seisi ruangan.
Setelah kelas rada tenang, sang dosen mulai menjelaskan segala teori psikologi yang dia kuasai. Intinya, penderita skizofrenia dilarang punya anak, karena berbahaya bagi ibu dan anak. Skizofren itu bisa diturunkan ke anaknya! Wah, bisa-bisa melahirkan generasi penderita skizofren berikutnya. Selain itu, karena kepribadian dan perilaku yang cenderung menyimpang, penderita juga bakal merepotkan orang-orang di sekitar mereka.
Usai memaparkan secara panjang kali lebar seputar beragam teori skizofrenia, sang dosen bertanya pada Wiwid. ”Memangnya, kenapa kamu tanya ini, Wiwid?”
Wiwid menjawab enteng. “Karena ibu saya skizofren, Pak.”
“Oh….”
Kelas mendadak hening. Sang dosen amat terperanjat. Seolah-olah, segala teori yang dia bombardir tadi, tak ubahnya teori sampah. Gestur tubuhnya menunjukkan ia tengah ‘mati gaya’. Ia membenarkan letak kacamatanya yang tidak salah. Lalu membalikkan badan, duduk di kursinya, dan lamat-lamat bergumam pada diri sendiri, ”Ini aneh… ini aneh….”
Seisi kelas pantas merasa heran. Wiwid bukan mahasiswi biasa. Indeks Prestasi (IP)-nya selalu di atas 3,5. Bahkan, selama beberapa semester ia sanggup menyabet IP 4. Sempurna. IQ-nya jelas di atas rata-rata. Wiwid sangat supel, bisa bergaul dan mudah akrab dengan siapa saja.
Perempuan pintar, cemerlang, akidah dan akhlak terjaga, lha kok malah anak dari penderita skizofren?!? Apa ndak aneh tuh? Skizofren kan penyakit jiwa? Penyakit turunan lagi?
Sang dosen masih kelihatan mumet. “Huh, sepertinya… untuk kasus ibumu… ada anomali. Ini tidak seperti kasus skizofrenia pada umumnya,” ucapnya pelan, seolah-olah untuk menghibur ‘sakit hati’ akibat teori yang tidak terbukti.
***

Ada banyak cara yang Allah tunjukkan, agar kita mau bersyukur atas setiap nikmat yang tercurahkan. Keluarga Wiwid memang “anomali”. Wiwid anak pertama dari 3 bersaudara, dan semuanya super-duper-smart! Soal ‘penyakit’ ibunya, Wiwid bisa dengan enteng bercerita pada saya. Tak pernah ia merasa malu lantaran lahir dari rahim seorang penderita skizofrenia. Wiwid begitu tenang, nada bicaranya datar, ketika ia berujar, “Eh, aku balik duluan ya. Mau nganterin Ibu kontrol di RSJ (Rumah Sakit Jiwa) nih.”
Ketika ibunya ‘kumat’, segala makian dan kata-kata kasar beterbangan dari mulut beliau. Toh, Wiwid memilih untuk diam. Khidmat mendengarkan ceracau sang bunda. Yang ia tahu, bundanya tengah diuji Allah dengan penyakit itu. Yang ia tahu, “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya”(HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571).
Wiwid ikhlas menjalani semua itu. Bahkan, Wiwid ikhlas melepaskan kesempatannya berburu Beasiswa S-2 di negeri ginseng, Korea Selatan. ”Aku sudah lolos semua ujian untuk beasiswa itu. Tapi, aku mikir, kalau aku pergi ke Korea, nanti siapa yang merawat ibuku di sini?”
Tak saya temukan intonasi protes ataupun keluh-kesah dalam kalimatnya. ”Banyak hal yang membuat aku bersyukur. Biarpun ibu kena skizofrenia, beliau diberi kesempatan oleh Allah untuk mengandung, melahirkan dan merawat tiga anak. Selama 10 tahun terakhir, ibu juga harus merawat ayah yang kena stroke,” lagi-lagi Wiwid bercerita dalam senyum.
SubhanAllah… dalam situasi yang sama sekali tak bisa dibilang nyaman, Wiwid dan keluarganya masih tetap bergelimang syukur. Cinta yang meluap di antara mereka, tak bisa dipisahkan hanya karena jerat skizofren. ”Sampai kapanpun, saya nggak bisa balas jasa Ibu. Di tengah sakit yang ia derita, ibu selalu berbuat yang terbaik untuk kami. Ibu juga sholat, berdoa, Alhamdulillah… Kami bersyukur karena Ibu masih diberi nikmat iman…”
Tiba-tiba saya teringat ibunda saya di rumah.
Ibu seorang wanita normal, sehat wal afiat, selalu bugar jiwa dan raga. Ibu saya sungguh luar biasa baiknya. Tak pernah sekalipun ia menyakiti saya. Tak pernah ia lontarkan kata-kata yang menghina, pada siapapun! Tapi, saban ibu melontarkan nasihat, saya justru sibuk membalasnya dengan debat.
“Nanti pulangnya jangan malam-malam ya Nak…”
“Ibu iki! Aku kan bukan anak SD lagi. Yang namanya liputan yo mesti pulangnya sampai malam.”
Lalu, ibu hanya bisa terdiam. Mungkin sembari memendam rasa kecewa yang harus ia telan. Astaghfirullah… Sampai di mana syukur saya? Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban… Nikmat Tuhanmu yang mana yang engkau dustakan?
Ibu saya wanita yang sangat hebat. Ia mampu menyembunyikan segala luka dan tragedi hidup, ia simpan rapat-rapat, dan hanya ia adukan pada Sang Pemilik Semesta. Ibu hanya mau berkeluh-kesah pada Ar-Rahmaan. Ibu yakin, bahwa segala problema dalam titian kehidupan sejatinya adalah ujian Allah. Tak lebih.
Ibu saya… ibunda Wiwid… ibu-ibu lain di seluruh penjuru bumi ini….
Merekalah para perempuan mulia, inspirasi yang terus mengalir tiada henti… Mereka rela menukar kesenangan hidup dengan kesempatan untuk berpayah-payah mendidik anak dan keluarga. Mereka rela menggadaikan apa saja, agar putra-putri tetap istiqomah berjajar dalam barisan kaum muttaqin. Teriring salam khidmat dan jabat erat kami, mohonlah kepada Allah, agar kita digolongkan anak-anak yang shalih. Sehingga kelak, di yaumil akhir, kita bisa bersua dengan ibunda, dalam hangatnya senyum bahagia.(*)

Inspiratif sekali kisahnya Wiwid. Saya jadi penasaran bagaimana pola pengasuhannya ibunya tersebut? Padahal kata-kata kasar itu mudah sekali membekas di hati anak balita atau saat anak masih SD.
Terimakasih sudah mengingatkan luar biasanya hadits ini:
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya” (HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571).
Seingat saya, Wiwid tinggal di Kediri, bersama ibu-ayah, dan ada neneknya yang juga tinggal di rumah tak jauh dari mereka. Barangkali, neneknya ini juga berperan penting dalam penanaman karakter Wiwid. Tapi, menurut Wiwid, kalau ibunya ‘tidak kambuh’, sikapnya justru menunjukkan sosok ibunda yang luar biasa. Rajin masak, rajin bersih-bersih rumah, merajut, menjahit… Bahkan, ketika sang ibunda masih muda, beliau pernah jadi juara kontes kecantikan di Kediri. Skizofren mulai menyerang ketika ibunya menjelang usia 20-an, sesaat sebelum menikah dgn bapaknya Wiwid.
Terima kasih sudah berkunjung ke sini, Pak Iwan. InsyaAllah, melalui blog, kita sama-sama saling mengingatkan betapa Islam punya ajaran yang luar biasa indah.
subhanallah .. kisah yang sangat inspiratif, dik. Terimakasih sudah membaginya disini, dan Allah menggerakkan saya untuk singgah disini, meski sudah lamaa saya tak blogwalking. Rupanya DIA ingin mengajari saya bagaimana terus menulis dan berbagi, sebab disana ada sesuatu yang baik dan manfaat. Salam untuk Wiwid, adikku. (Boleh kan saya panggil ‘dik’? termkasih)
Terima kasih sudah berkunjung Kak Ani. (boleh saya panggil “Kak” kan?) 🙂 InsyaAllah, saya segera silaturrahim di blog kak Ani.
ohya ini rumah saya
Saya sudah silaturahim sejenak, Kak Ani. Tapi blum sempat meninggalkan jejak. Nanti abis Dhuhur, insyaAllah mampir lagi. Ikut KEB juga ya? Kok ga ikut Kompetisi Acer? Udah masuk week-4 siy. Lagi bingung mau nulis apaan, hehe. Jadinya malah nulis kisah ibunya temen saya 🙂
kisah yg inspiratif…
Allah menunjukkan kekuasaannya dengan mematahkan teori2 buatan manusia itu, subhanallah..
Betul, Mak. SubhanAllah, sungguh manusia kadang terlalu sombong untuk mengakui bahwa “Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah.” Baru deh, ketika ada bukti nyata yang menggempur kesombongan, mereka ngerasa udah ketohok. Btw, udah ngedraft posting week-4 utk Acer Indonesia, mak? Saya beluuuuum…. *mewek
setuju…W4 ya…sebagian sih udah, maklum saya harus curi2 waktu buat ngetik, jadi pas luang harus langsung dikerjakan sebelum anak bangun n beresin yang lain…ayo semnagat..sya sih ga ragulah amak mak yg satu ini, tulisan2nya bagus2…kereen 🙂
Subhanallah..
Aloooo, mak 🙂 Hihihi… gimana draft tulisan W-4? Udah kelar-kah? Bismillah… saya mau ngedraft malam ini, insyaAllah…
assalamualaikum.. maaf bisakah saya meminta kontak saudari wiwid untuk bertukar pikiran. kisahnya sama persis dengan saya, tapi saya belum bisa sesabar dia 😦
Nggghhh, bentar ya jeung, saya tanyain dulu ama mba Wiwid, boleh saya dikasih alamat emailnya Jeung Widy? InsyaAllah saya kirim by email dah 🙂
maaf baru lihat, ga nyangka dibales hehe email saya: widyladywidylady@gmail.com
dan saya bnr2 ga nyangka bisa menemukan tulisan ini.. terima kasih untuk membuat saya lebih kuat dgn mengetahui bahwa saya tidak sendiri :’)
subhanallah kisah yang menggugah hati sekali, saya pernah mengalami gejala, belum masuk kedalam skizofrenia yang aslinya, tapi walau masih gejala skizofren itu juga sangat menyiksa kondisi batin dan hati saya, tapi saya tak lantas berputus asa justru sebaliknya saya jadi lebih mendekatkan diri dan tawaqal pada Allah, dan alhamdulillah dibalik kesengsaraan saya yang sedang mengalami gejala pra-skizofren, Allah memberi banyak sekali rizky dan nikmatNya kepada saya, selama saya sakit gejala skizofren saya makin beriman dan disitulah Allah memberi pertolongan pada saya, saya dipertemukan dengan seseorang yang mau mengobati skizofren saya dengan cara hipnoterapi dan itu gratis, namun walaupun saya sudah berkali kali terapi tapi sakit saya belum sembuh total tapi saya tidak berkecil hati karena sejak hipnoterapi kondisi saya jadi lumayan membaik, alhamdulillah, dan selama sakit pula Allah mempertemukan saya dengan calon suami saya, dia sangat baik, perhatian dan penyayang namun baru 9 bulan kami ta’aruf, calon suami saya telah lebih dulu dipanggil menghadap Allah, dia terkena liver stadium 4, memang dia selama ini tidak pernah memperdulikan kesehatannya, saya sangat sedih kehilangan dia tapi saya berusaha untuk ikhlas dan berpikir kalo ini yang terbaik untuk dia, tapi entah mengapa, semenjak calon suami saya meninggal dunia, justru gejal skizofrenia saya malah jadi sembuh total, subhannallah sungguh dibalik kesedihan saya, Allah memberi nikmat lain yang sudah semestinya saya syukuri, walau kadang saya masih suka sedih dan menangis karena selama hidupnya, calon suami saya itu cuma tahu kalo saya masih terus2an sakit skizofren, bahkan dia selalu dengan setia menjemputku pulang setiap saya habis dari terapi, tapi saya yakin dia pasti senang disurga melihat saya telah sembuh saat ini, Ya Allah ampunilah dosanya dan terimalah segala amalannya, aamiin…
Masya Allah… subhanallah… luar biasa banget mbak… Terima kasih udah sharing kisah yang inspiring ini pada saya… Mbak posting di blog mbak deh… Ntar aku mampir di sana
terima kasih ya mbak sudah mau berkomentar, kebetulan saya belum membuat blog pribadi, tapi semoga kita bisa sharing lewat email maupun sms yaa, saya berharap semoga mbak berkenan berteman dengan saya…
Absolutelyyy… *peyuuuuk*
Mba wiwit,aq sgt tercenggang dgn kisah mu,anak ku saat ini jga didiagnosa dokter menderita gejala skizofernia,aq ingin mnt alamat di mana terapi yg pernah mba lakukan shgga mba dpt sembuh total.terima ksh,slm kenal.
Mf tdi yg aq maksud mba ririn bkn mba wiwit,…
Mba tlg dong ksh tahu dimna alamat untk bsa ikut terapi spti dirimu.
subhanallah.. merinding mbak bacanya. inspiratif sekali. membuatku jadi tambah bersyukur dan bersyukur
Mbak Hani insyaAllah kenal kok dgn mbak Wiwid, sama-sama aktivis soalnya 🙂 Iya mbak, count your blessings! 🙂
ohya mbak Wiwid siapa nama lengkapnya mb?
Nggghhh, kasih tau nggak ya?
Mau tahu aja… atau mau tahu banget?
*alay kumat*
wwkwkkw…. 😀 😀
Waaahhh…aku malah baru tau nih soal ini Mak, dan si fiksiku yg itu malah dipertanyakan lho logikanya krn dianggap ‘orang gila’ harusnya ga mungkin bisa bikin nasi goreng heuheu 😀
Hlo, blum tentu teh Orin. Soalnya, ibunya si Ciwid ini JAGOOOOO banget dalam segala hal. Dandan, masak, bahkan merawat ayahnya Ciwid yang sakit stroke! Itulah, Allah Maha Adil, Maha Pemurah, Maha Penyayang…
Btw, I really looove the way you create that flash fiction. Sangat nampol. Masih mbekas sampai sekarang 🙂
Itu dia Mak, kita mgkn masih terlalu cepat menghakimi sesuatu ya. Maksudku, aku bikin FF itu jg udah melakukan riset tersendiri *halah*, meski ga smp gugling ilmu psikologi tentang skizofren atw apa, cuma berdasarkan pengamatanku aja, tapi udh resiko sih, pasti ada aj yg berkomentar buruk hihihihi *mendadak curcol*
Makasih lho Mak Nurul udh suka tulisanku :))
Hmmph, kalo gitu, aku comment lagi ah, di postingan teh Orin. Soal skizofrenia ini. Biar menjawab ke-kepo-an para fans teh Orin.
Terima kasih sudah share cerita ini Mbak, jadi pengetahuan baru buat saya. Jadi kangen berat sama ibu saya 🙂
Sama-sama mak Helda. Kisah ini saya tulis supaya saya lebih belajar dan berusaha lagi untuk jadi anak yang (semoga) shalihat. Maklum, saya dan ibu berwatak sama2 “doyan ngeyel” jadi yaaa… sering ada “ledakan2” kecil gitu deh 🙂
Subhanallah, cerita yang sangat inspiratif, mak. Ternyata, prasangka manusia, sekalipun dokter, ketika seseorang itu menikmati segala prosesnya, semua akan baik-baik saja, ya. #ThankYouILearn #FridayBlogwaking
Aaakkk… Makpon… Ma’aciiih udah mampir di rumah sederhana ini… Betul banget makpon… Allah selalu memberikan Jalan keluar terbaik, yang tdk kita sangka2 🙂
Mak, di negara kita skizofren dan gangguan jiwa lainnya masih dianggap aib ya. Miris memang. Saya juga banyak menemukan anak yang orang tuanya mengalami gangguan jowa dan yang paling banyak skizofrenia.
Yup, mak Liza.
Padahal, kalau keluarga bisa berdamai dengan kenyataan, lalu memberi support dan doa, insyaAllah sang ortu yang skizofren itu akan survive dan menjadi sosok yang baik-baik saja.
Hmm, mungkin bisa diusulkan bikin lomba semacam Parade TB itu ya mak? Yang dikau menjuara itu loooh… hihihi.
halo mbak , silaturahmi balik nih saya ceritanya ;p saya pernah bersinggungan dengan seseorang, yang “ternyata” atau ” mungkin(?)” sedikit menderita skizo. sepertinya memang harus punya kesabaran ekstra untuk menghadapi penderita skizo. ( no offense dan tidak bermaksud mendiskriminasi ya ) salut sekali sama temannya mbak, si mbak wiwid ini. apalagi sampai melepaskan kesempatan emas beasiswa demi ibunya. aahh… jadi kangen ibu :’)
nice blog mbak 🙂
Memang mbak. Mirip kayak film “A Beautiful Mind”.
Trimakasiiii udah kunjungan balik ke sini ya 🙂
Bundo ceritanya baguams banget. Menginspirasi supaya kita bs menjadi anak yg saliha, yg selalu menyayangi&berbakti ke ortu apalagi ibu.
Kyknya aq tau&kenal ya ma mbk Wiwid ini. :-).
Keren memang dia. hehe
I miss u Bundo
Miss you too, darliiiing… Eh, aku blum publish tulisan soal dirimu di blogku ini.
Besok, insyaAllah yaa… Kamu skrg anaknya brp say? Udah dua atau tiga? Semoga jadi anak shalih(ah), baik, cerdas, berakhlak Qur’ani yaaa.. Amiiiin….
subhanaAllah…merinding bacanya mak…gak bisa menahan titik bening di sudut mata. Kuasa Allah atas segalanya ya mak, apalagi teorinya manusia. Hebatnya Wiwid yaa.
ini kisah nyata yang luar biasa untuk di share ke semua.
Mak @ririn salam kenal…salut bisa bangkit. smoga selalu dalam kasih sayangNya.
Tengkiu udah mampir mak…
Saban aku dilanda “kufur nikmat” aku baca postingan ini mak. Biar kadar syukurku bisa nambah.
Besok hari Rabu tepat hpl anak ke 3 Bundo(tp yg pertama Fawwaz kan uda di surga 🙂 ).. Doain ya smg lancar&sehat semua.
Aamiin ya Allah.
Gmb Sidqi uda punya adek blm Bun? 🙂
Masya Allah… jadi dikau skrg dalam kondisi hamil guedeee? Ihiks, semoga berkah dan diberi kelancaran, sehat, baik ibu-bayi dan bapaknya yaa…
Sidqi masih single fighter 🙂 Baiklah, emak dan bapaknya sidqi diminta doa banyak2 dulu,:-)
Smoga Mbak Wiwid segera diberi Allah Swt keturunan, dan dijauhkan dr penyakit iku… (pokoknya dr sgl hal seng elek2lah Bundo!)
Salam Buat Mbak Wiwid ya Bundo!!! Maaf klo dlu sering merepotkannya… Tq
iya euy, kamu tuh yaaa… sering bikin doi ngomel2 geje, hehehehe… Oke, insyaAllah salam disampaikan… Doa yang baik insyaAllah akan kembali pd yang mendoakan 🙂
So touching… Jadi ingat guru TK saya yang sangat baik, tapi dengan berat hati harus saya berhentikan karna sering kumat di dalam kelas. Dilema!
Hmm, kalau guru TK emang agak berat ya mak.
Minimal, beliau cari profesi yg gak terlalu berhubungan dgn anak kecil. Sebagai penulis novel, misalnya. Beberapa novelis cmiiw pengidap skizofrenia, bipolar disorder dan yg semacam itulah.
Skripsi saya mengenai anak dengan ibu penderita skizofrenia, sama halnya subjek peneltian saya menunjukkan hal-hal positif, meskipun diawal kejadian shock itu ada. Menerima dan berjuang membuat subjek saya mampu bertahan dan lebih kuat.
Dan saya sendiri memiliki kakak penderita skizofrenia, dan kami paham betul bagaimana yang di alami mbak wiwid
sukses!
Wow… semoga skripsi Mas Harun ini bisa bermanfaat untuk perkembangan dunia psikologi ya.
Btw, jurusan Psikologi di kampus mana Mas?
Jurusan psikologi di universitas gunadarma, saya sampe masuk KPSI loh mbak hhe 😀
nanti bisa sharing ya mbak
hmm… sharing yang bener-bener menyentuh hati…
Allah memang Maha Pengasih
Betul banget Mak.
saya senang sekali dengan crita ini,sebagai mahasiswa psikologi saya merasa tertegun atas segala pencarian saya yang terungkap dalam cerita ini,trima kasih atas kisahnya,dan saya berharap suatu saat saya bisa mengenal pemilik cerita ini,skali lagi terima kasih.wassalam
waalaikumsalam, makasiii ya udah stopping by di mari 🙂
Luar biasa. Sangat menginspirasi. saya ijin bookmark ya mba nurul.
Monggo Mbak Ecky… Di-reblog juga boleh hihihi.
Wah, nice share, jadi dapet info baru, Makasih Mak 🙂
Inspiratif bgd mak, subhanallah walhamdulillah walaa ilaa haillallah walluhu akbar.
kok mata saya berair gini sih mak…. terharu saya bacanya. Dan Wiwid… semoga terus diberi kesabaran ya…
Aaamiiin, aamiiin… Wiwid ini sahabat, soulmate sekaligus inspiring-guru saya Mak. She’s sooo… perfect imperfections :)) –> koyok lagune “All of Me”
hiks .. aku kok jadi mewek si mbak …
subhanallah kalau Allah sudah berkehendak semua bisa terjadi ya mbak. salut buat mbak Wiwid yg nggak malu dengan kondisi ibunya, surga menantimu mbak 🙂
Aaamiiin, aamiiin, emang Wiwid dan adik2nya bener2 generasi yg luar biasa Mak. Really proud of them, dan saya sangat bersyukur pernah mengenal dan akrab dengan mereka 🙂
Mbak, makasih ya sudah share ini, saya jadi baca. Hari ini berasa bertema Ibu.
tadi ngobrol-ngobrol sama Ibu, lalu di tv nonton film “mars need moms” yang ceritanya juga tentang Ibu, lalu baca tulisan ini tentang istimewanya Ibu. aamiin, semoga kita tergolong anak yang sholeh dan sholehah, aamiin.. aamiin :’)
Heyhooo mbak cantiiiik :)) Iiih, senang deh, dikau mampir di rumah maya sederhana saya inih.
Eh, btw, mbak Helvy kok nggak mampir Sby ya, untuk roadshow film Ketika Mas Gagah Pergi?
belum mungkin mbak, semoga aja segera :)) pasti bioskop rame
tulisan yg sangat menggugah…
saya bisa memahami bingungnya Pak Dosen
.. Saya juga dosen psikologi.. dan juga dahulu teman se kost Wiwid ketika mengambil S1 di Universitas yg terletak di Depok, Jawa Barat.. Beliau memang sangat supel dan cerdas. 🙂
What a small world! :)))
Penyakit (baik diderita diri sendiri atau orang terdekat kita) bukan jadi alasan utk menyerah dan jadi alibi buat kita utk ‘terpuruk’. Terima kasih atas sharing kisah ini. 🙂 Nemu tulisan ini setelah searching topik Alter Ego, lalu lari ke link ini.
Terharu dan tertampar baca kisah mbak Wiwid. Terkadang nggak sadar obrolan bisa bikin emak diem nggak berkata-kata. Nice sharing, Mbak. Makasih udah ngingetin :*
Terima kasih mbk kisah inspiratifnya. Saya boleh dikenalkan dengan mba wiwid ?
Salam kenal Lum’atun Nadzifah Pati.
Assalamualaikum. Mohon maaf mba apa saya bisa mendapatkan kontak mbak wiwid? Kebetulan kerabat dekat saya juga penderita skizofrenia. Saya ingin bertanya banyak hal.. Bika berkenan bisa mengirimkan email di andini.rahma73@gmail.com
Izin repost ya kak, kisah ini menurut saya sangat menginspirasi.
Silakan, dek 🙂 Sebutkan sumbernya yah
maaf kak bisa tolong hapus komen saya yg memberi tahu alamat email? dan saya belum di emailkan info ttg wiwid ya? itu komen saya dari tahun 2014 hehe
Mbk wid bisa minta nopenya,dan ini no hp saya di 08190846779 sangat terharu ingin bertanya mengenai skizrodenia krn di kaluarga juga ada.trims
Subhanallah,,menginspirasi sekali mbaak 😢
Saya juga skyzo mbak,,tp menurut psikiater saya belum nyampe skyzo,,sudah mau 8 thn ini mbaak,,alhamdulillah meski skyzo selalu “menemani” ttp saya bisa wisuda dan sekarang lagi “belajar” ngajar di MI
Mbak bolehkah saya minta kontaknya mbk wiwid??
Saya ingin belajar pada mbak wiwid,,
Ini email saya : ehikmawati@gmail.com
Terima kasih ukhti 😙
Subhanallah,,menginspirasi sekali mbaak 😢
Saya juga skyzo mbak,,tp menurut psikiater saya belum nyampe skyzo,,sudah mau 8 thn ini mbaak,,alhamdulillah meski skyzo selalu “menemani” ttp saya bisa wisuda dan sekarang lagi “belajar” ngajar di MI
Mbak bolehkah saya minta kontaknya mbk wiwid??
Saya ingin belajar pada mbak wiwid,,
Ini email saya : ehikmawati@gmail.com
Terima kasih ukhti 😙