Ibu, Kapan Kita Umrah Bareng? Ibu, Sungguh…. Aku Rindu

January 2017, Don Mueang International Airport, Bangkok, Thailand

Pfff… aku menghempaskan tubuh, dengan kelegaan yang tak bisa digambarkan. Bahagiaaaaa rasanya, bisa duduk manis di kursi 31D pesawat QZ 257 ini. Alhamdulillah… kami bisa berangkat on time. Drama perjalanan menuju bandara, beneran beda tipis dengan pilem “Mission Impossible”! Dapat sopir taksi yang terlampau sopan, beneran newbie, nggak bisa ngebut sama sekali… Nggak berani menembus kemacetan lalu lintas Bangkok, yang udah mirip banget ama macetnya Jakarta…Hufft!!

Baca: Nyaris Ketinggalan Pesawat di Bangkok

Muka paniknya beneran berujung kisruh. Si sopir taksi newbie itu lalu dengan seenak udelnya menurunkan kami di tepi jalan! Yeap, padahal kami adalah para penumpang hobi shopping dengan koper segede gaban. Angkat-angkat koper, beneran mirip orang minggat, hahahaha… Lalu kami berganti taksi, yang seenak jidatnya nagih duit 500 BAHT alias 200 rebu buat ke bandara! Oalah nasib nasiiib… dapat taksi kok nggak ada yang nggenah…. Yang satu kagak bisa nyopir… satu lagi scam akut. Hufft (lagi)!

Tapi ya sudahlaaah…anggap aja kami memang kurang sedekah. Harus ditodong dengan cara begitu. Kulirik lagi boarding pass, hufft, ya gini ini resiko mepet-mepet jam check in. Dapat kursi paling belakang, dekat toilet, sigh. Moga-moga aku tetep bisa molorrrrr di dalam pesawat, walaupun banyak orang yang wira-wiri menuju toilet.

Pramugari masih sibuk mengatur penumpang, memasukkan barang bawaan ke kompartemen, dan… aku coba memejamkan mata sejenak. Sedetik… dua detik… lima detik…

“Permisi, ini kursi 31 E dan 31 F di sini kan?”

Ada mbak-mbak hijaber nan kece, yang tiba-tiba berdiri di sebelahku. Ia datang bersama seorang wanita paruh baya yang kuduga adalah ibundanya.

“Iya mbak, silakan…” Terpaksa aku berdiri. Membuyarkan mimpi yang belum dimulai. Mempersilakan dua kaum hawa menempati kursinya.

“Alhamdulillah ya mamah, kita udah di pesawat… Mamah haus? Perlu aku pesenin minuman dulu? Atau mau makan apa? Ini mah, ntar kalo mamah ngantuk, istirahat aja pakai bantal leher ini yah…”

Tiba-tiba mataku terasa panas.

***

September 2016, Ruang Opname sebuah Rumah Sakit, Surabaya

“Yaaaah, kok di-lepeh lagi? Makanannya harus habis, Ibu… Gimana kata dokter kemarin? Ibu harus makan yang banyak, biar cepet sehat, yah? Yah?”

Ibuku bergeming. Matanya begitu sayu. Menyiratkan kadar optimis yang kian susut mengerut.

“Aku nggak selera, Dik…”

“Harus dipaksa, Ibu… Harus dipaksa. Masak Ibu mau nginep terus di rumah sakit? Bosen kan? Masak ibu mau dicublesin infus melulu?”

Rapopo. Aku diinfus wae…”

Kuamati pergelangan tangan ibuku. Bengkak. Penuh lubang bekas jarum infus di mana-mana. Barusan, perawat bilang, bahwa kalau tak mau makan, ibuku akan diinfus di kaki. Duh.

“Ibu pengin sehat kan? Ibu kalau sehat mau umroh lagi kan? Ada paket umroh yang bisa kita ikuti bareng. Ibu harus sehat! Harus sehat ya Bu…..”

Perempuan yang melahirkan aku itu, mengangguk pelan.

“Kalau mau umroh, Ibu harus makan yang banyak, ya? Ayooo… makan lagi yaa.. pelan-pelan aja nggak papa… Setelah ini, minum susu… Nanti jeda 1 jam lah, minum obat dari dokter ya.. Bismillah…”

***

January 2017, Pesawat Air Asia QZ 257

Aku menangis dalam diam. Kutahan isak, kuusap bulir mata yang terus mengalir tanpa diminta. Kenapa selama ini aku tidak pernah mengajak ibuku traveling, naik pesawat berdua seperti perempuan di sampingku ini?

Yang aku tahu, ibuku sangaaaat ingin kembali ke Baitullah. Beribadah dengan khusyuk di Masjidil Haram, thowaf sai dengan semangat menyala di dada. Uang itu sudah tersimpan bertahun-tahun di rekening tabungan, kenapa aku begitu eman untuk mengumrohkan Ibunda? Kenapa baru tercetus setelah beliau harus diopname sekian lama, karena penyakit kanker yang mengganas?

Semuanya terlambat.

Ibu sudah berpulang. Ia menghadap Sang Maha, tanpa sempat merasakan umroh berdua dengan putri kesayangan.

Baca: Surat untuk Ibu

Dan aku cuma bisa merutuki kikir yang merajam jiwa. Andai waktu bisa berulang, mestinya saya ajak Ibu umroh ketika beliau masih sehat… mestinya saya tak perlu menunggu begitu lama…..mestinya saya meluangkan banyak waktu untuk ngobrol dengan beliau, dan bukannya sibuk ber-haha-hihi dengan teman di dunia maya….Astaghfirullah….

Mbak? Mbak kenapa?”

Perempuan di sebelah memandangku prihatin.

“Oh, nggak apa-apa. Akuu.. aku ngantuk banget, tapi sulit tidur…” kucoba tersenyum simpul, tapi tak berhasil tampaknya.

Ternyata, niat awal untuk bobok pules di pesawat, gagal total. Atensiku malah tersedot pada ibu dan anak ini. ”Mbak anak baik ya.. Bisa ajak mamah jalan-jalan. Semoga Allah ridho yaa…” ucapku sambil teriris pilu yang singgah tanpa diminta. 

“InsyaAllah, mbak,” perempuan cantik itu menoleh sejenak ke arah ibundanya, yang sedang tertidur pulas. Cantik, cantiiiik sekali. Kecantikan itu menguar sempurna, manakala seorang perempuan menunjukkan bakti tiada berhingga. 

Ibu….. Apa kabar Ibu di sana? Kapan Kita Umrah Bareng, Ibu? Ibu, Sungguh Aku Rindu…..

Advertisement

Author: @nurulrahma

aku bukan bocah biasa. aku luar biasa

16 thoughts on “Ibu, Kapan Kita Umrah Bareng? Ibu, Sungguh…. Aku Rindu”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: