Ibu Harus Optimis!

Kalau banyak ibu belakangan ini demikian bangga, bahagia dan sumringah dengan anak-anak mereka, agak sedikit beda dengan saya. Errr… ada “kasus khusus” (yang belum bisa saya ungkapkan ke publik *halaaah*) soal hubungan saya dan Sidqi yang agak sedikit tethooot 🙂 Yeah, mother and son ups and downs relationship gitu lah.

Hamdalah, kecemasan dan galau saya terobati manakala seluncuran di timeline FB, dan nemuin postingan Mia Ilmiawaty Saadah ini. Boleh cek profile FB-nya di sini: https://www.facebook.com/mia.sidqi?fref=ts

Mia ini bersuamikan seorang diplomat, dengan nama persis nama anak saya, Adkhilni Mudkhola Sidqi. Nama yang agak sulit dibaca dan diucapkan ini petikan dari doa pas sholat tahajud, yang termaktub di AlQur’an.

Well, kapan-kapan deh, insyaAllah saya ceritakan tentang filosofi nama Adkhilni Sidqi. Kali ini, saya mau menghibur diri (dan teman-teman blogger) bahwa PASTI ada harapan dan masa depan yang membentang buat para ibu optimis!

 

IBU OPTIMIS

By: Mia Ilmiawaty Saadah

Suatu hari di dalam sebuah obrolan ringan, saya sempat bertanya pada suami, “Ibunya Pak Habibie itu kayak gimana sih ya? Pingin deh tahu tentang apa yg sudah beliau lakukan sampai anaknya ‘jadi orang’ begitu?”. Saya mencoba mencari buku “BJ Habibie, Mutiara Dari Timur” yg pernah saya baca 20 tahun lalu dari rak buku Papa, mencoba menemukan jawabannya, tapi tak ketemu juga buku itu.

Lama waktu berselang, sekitar setahun sejak ngobrol santai itu, suamiku mengirimkan pesan lewat Whatsapp sambil menyertakan secuplik rekaman suara. Rupanya rekaman suara Pak Habibie di acara Mata Najwa edisi Ulang Tahun Pak Habibie ke-80. “Itu jawaban yang dari dulu kamu cari-cari”, katanya saat mengirimkan saya rekaman suara itu.

Benar saja, di acara Mata Najwa, Pak Habibie bercerita tentang ibunya yang sangat optimis, tegar dan hebat. Pak Habibie mengenang situasi saat ayahnya meninggal dunia, ibunya bersumpah di hadapan halayak yg hadir saat itu bahwa akan membesarkan anak-anak termasuk yg di dalam kandungan dengan tangannya sendiri, serta berjanji akan mengantarkan semua anaknya menjadi orang yg berguna bagi bangsa dan agama. Doa dan tekad seorang ibu optimis.

Pak Habibie juga bercerita tentang pengalaman pertamanya merantau. Saat usia 14 tahun, Rudy Habibie remaja diantar ke pelabuhan untuk merantau ke Jakarta. Saat menyaksikan Rudy Habibie yg menangis tak mau berpisah dengan ibunya, ibu RA Tuti Marni Puspowardojo itu bilang, “Rudy sedih? Mami lebih sedih lagi, tapi Mami harus lakukan ini demi masa depanmu”. Lagi-lagi, bu Tuti rupanya bukan tipe ibu-ibu galau seperti saya, yg anak masuk sekolah pertama saja cemasnya minta ampun. Betapa dari certia Pak Habibie itu, tergambar sangat keberanian dan kebesaran hati seorang ibu optimis. Ditinggalkan suami dengan 8 anak yg masih kecil-kecil, tetapi masih bisa berpikir jernih, tegar, dan visioner. Luar biasa!

Selesai dari Mata Najwa, kehebatan ibu Tuti muncul lagi dalam beberapa scene yg saya saksikan di film Rudy Habibie (Habibie Ainun 2). Bagaimana ia dengan sangat bijaksana membangkitkan semangat Rudy muda saat di titik terendah dalam perjalanan studinya dan kehidupannya di negeri seberang. “Mami yakin Rudy pasti bisa, tunjukkan kamu sebenernya”, ucapan sang ibu itu hanya berbalas tangisan pilu sang anak di rantau. Pun ketika ditanya orang tentang Rudy yg akan membuat pesawat terbang, sang ibu dengan gagah dan optimis mengoreksinya “Rudy bukan mau bikin pesawat terbang, tapi INDUSTRI pesawat terbang”, katanya mantap.

Sekarang, kita jadi tahu, betapa ada ibu yg luar biasa yg membesarkan seorang Habibie kecil itu menjadi orang yg besar. Doa, optimisme, dan tekad membaja dalam membesarkan anak untuk menjadi orang yg berguna bagi bangsa dan agama, kiranya terkabul sudah.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin banyak menjumpai peristiwa serupa Ibu Tuti dan Rudy Habibie tadi. Tak jarang kita dengar kisah dari kawan, saudara, atau orang yg baru kita kenal sekalipun, tentang doa-doa dan harapan seorang ibu pada anaknya yg kemudian menjadi kenyataan. Bahkan kadang, tak perlu jauh-jauh, bisa jadi hal serupa terjadi pada perkataan orang tua kita sendiri.

Saya ingat, ketika dulu berada di kebingungan menjelang lulus SMA, saya bertanya pada Mama tentang kemana saya kelak akan berkuliah. Rupanya Mama dengan penuh percaya diri bilang, “Kata Mama mah teteh nanti masuk UI, jadi alumni UI, pokoknya berprestasi di UI”. Lha.. Saya cuma nyengir saja. Sebagai anak SMA di Bandung, UI tidak pernah ada dalam pikiran, cita-cita saya waktu itu kalau tidak ITB ya Unpad. Apa daya ternyata pada akhirnya saya harus akui ternyata Allah lebih ridho pada doa Mama.

Hal yg sama dialami pula oleh suami saya. Dulu, jauh hari sebelum suamiku itu lulus kuliah sarjana, Ibu yg saat itu di Melbourne menemani Bapa di tengah studi doktoral, pernah bekerja sampingan sebagai cleaner di KJRI Melbourne. Waktu itu ibu bilang, “suatu hari Aa akan duduk di sini”, sambil menunjuk kursi Konjen Melbourne yg ia bersihkan. Sidqi, suamiku itu rupanya tak pernah bercita-cita jadi diplomat meski ia berkuliah di jurusan hubungan internasional. Menjadi dosen di kota adem ayem sepeti Jogja sepertinya lebih ia senangi, ketimbang menjadi Diplomat – PNS Kementrian Luar Negeri – dan tinggal di kota macet dan padat sepeti Jakarta dan Depok. Lagi-lagi, rupanya Allah mengabulkan doa Ibu untuknya, bukan jadi konjen Melbourne sih, tapi betul terkabul jadi diplomat. Hehe.

Saya jadi berpikir, saya punya doa apa untuk anak-anak saya? Saya punya keyakinan sebesar apa pada masa depan anak-anak saya? Seberapa besar rasa percaya diri saya akan keberhasilan anak-anak saya kelak? Ketika anak saya belum bisa baca sementara anak tetangga sudah bisa, saya galau. Ketika anak saya masih malu-malu tampil di atas panggung sementara anak lain tampil penuh percaya diri, saya cemas. Ketika anak-anak lain seusia anak saya bertubuh lebih tinggi dan besar, saya khawatir. Ketika anak saya bertingkah tak menyenangkan sementara anak lain tampak sangat manis, saya iri. Aaaaah… Dan masih banyak lagi rupanya hal lain yg saya khawatirkan. Sampai-sampai di tengah kesal, sempatnya batin terpikir, “mau jadi apa kau nanti, Nak?”. astaghfirullah…

Memang, adalah manusiawi rasanya ketika kita sedih, khawatir, dan mencemaskan masa depan anak-anak kita. Akan tetapi, dari siapa lagi keyakinan itu muncul jika tidak dimulai dari kita sendiri, ibunya, bukan? Seseorang yg telah mengandungnya, melahirkannya, menyusuinya, mendidiknya, menemani hari-harinya, dan seterusnya. Jika kita saja pesimis, pada siapa lagi anak-anak berharap optimisme itu? Padahal, optimisme Ibu kiranya semacam doa tanpa penghalang pada Sang Maha Pengabul Doa. Karena itu, ditengah segala cemas takut dan ragu, tidak kah kita yg seharusnya menjadi orang pertama yg harus yakin akan kesuksesan dan keselamatan ananda untuk dunia dan akhiratnya?

Ibunda Pak Habibie, Mama, dan Ibu, mungkin hanya sedikit contoh kecil saja dari para ibu optimis itu. Optimisme dan doa dari Ibu yg seperti apa? Mungkin tak pada semua Ibu, tetapi ada pada ibu yg syurga tak hanya ada di telapak kakinya, tetapi senantiaa menjaga kebaikan dalam ucapan, perbuatan, dan teladan tingkah lakunya. Kiranya Allah ada bersamanya.

Serang,
19 Juli 2016
Mia Saadah

Advertisement

Author: @nurulrahma

aku bukan bocah biasa. aku luar biasa

14 thoughts on “Ibu Harus Optimis!”

  1. Jadi inget kata2 salah satu lagunya backstreet boys ” coz mom you are always be my perfect fan ” dan seorang perfect fan pastinya harus selalu optimis ya 😉

  2. baru dpt sharing cerita ini di group WA juga…smg menginspirasi para ortu utk tetap optimis membimbing dan tak pernah lelah mendoakan anak2nya ya… 🙂

  3. baca postingan ini … bagai tamparan buat aku … krn ini hr ke 3, si bontot berulah dan hr ini betul betul menguras kesabaran sampai keluar kata … mau jadi apa … Astaghfirullah, ampuni aku ya Rabb … terima kasih share cerita inspiratif dan pengingat diri ini yaa …

  4. Terasa ada perbedaan antara Ibu dulu dan Ibu sekarang. Dulu Ibuk saya gak pernah mencemaskan saya. Belajar gak belajar sak karepmu. Ibuk cuman bilang, “Nek gak munggah kelas tak kongkon minggat teko omah!” Sebagai anak, bayangin minggat aja, takut. Walopun males belajar, muncul sendiri tanggung jawab ngejar nilai bagus. Namun dibalik itu, Ibuku adalah Ibuk paling penyayang… babahno Ibuk- ibukku dewe tak elem haha..

  5. tadi pagi dikirimin artikel ini juga sama suami..terus suami komen ibu dulu selalu ngelarang suami bantuin kerja di sawah, karena ibu yakin suamiku bakal jadi pekerja kantoran.. (bapak ibu petani di pelosok desa).. dan here we are, suami jadi PNS, betapa keyakinan ibu itu ya..

    jadi memotivasi diri selalu supaya senantiasa jadi ibu yg optimis, yakin dan bangga dengan anak2..

  6. Sosok ibu adalah sumber ilmu dan tauladan bagi anak anaknya. Maka dari itu seorang ibu harus bisa beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa meninggalkan nilai nilai agama. Salam Criing
    Deco

  7. baru baca blog ini, dan jadi terinspirasi.. mungkin saya termasuk ibu2 over khawatir, terimaksih sudah menularkan semangat agar menjadi ibu yang lebih baik lagi yang nanti nya bs mengantarkan anak2 untuk sukses dunia akhirat, amiiinnn

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: