Kalau saya sebut “Aa Gym”, apa yang terbersit kali pertama di benak Anda? Yeeep, pasti masalah poligami doi kan? Eits. Kita nggak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah tangga seseorang. Istilahnya nih, “You never really know a man until you understand things from his point of view…” daaan, kita kan enggak pernah “in his shoes” kan?
Kita juga enggak tahu apa aja yang bersemayam di dalam tas Aa Gym 😀
Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi Diajeng,
Saya minta ijin pinjam salah satu fotomu untuk model di Kuis Tebak Nama Model di BlogCamp. Saya sudah menggelar kuis ini ratusan kali. Seperti biasa, bagi sahabat yang fotonya saya jadikan model kuis akan mendapat tali asih berupa sebuah buku atas pilihannya sendiri. Jika diijinkan kuis akan saya tayangkan besok pagi, Selasa tanggal 5 Januari 2015. Terima kasih, saya menunggu kabar baiknya. Salam hangat dari Galaxy Pakde
Wow. Speechless saya baca message FB Senin pagi itu. Aku ditawarin jadi model? Akuuh?? Model di blog yang kondyaaang bambang gulindang ituh?
Duh. Minder abiisss deh, apalagi, bodi saya kan udah acakadut macem gini? Masak iyah, pantes nongol di blog keren punya pakde.
Pakde: Itu bukan judul, itu keyword untuk menuntun peserta kuis ke blogmu.
Seperti gimana cover majalah ituh? Tadaaaaaa…..!
Hihihi… Alayyyy banget yak, posenya? Foto ini dijepret sohib ikrib saya pas kita lagi ke Delta Fishing Sidoarjo. Hawanya puanass bingits. Makanya, saya sampe kehilangan passion buat sekedar senyum. Padahal, senyum kan sedekah minimalis bin gratis yak, huehehe…
Waktu Pakde mengajak saya jadi model, terus terang, saya ga gitu yakin temen2 pada bisa nebak. Soalnya, di blog ini, bisa dibilang saya lumayan jarang memasang tampang bantal plus pipi kabeh ini. Sadar diri, cyiiin… Hihihi…
Eniwei, makasi loh Pakde. Gara-gara pakde “mengubrak-abrik” koleksi foto zaman priwin tingting, saya jadi kepikiran gini, “Oooh, ternyata saya pernah sekurus itu toh? Berarti, meskipun udah punya buntut, saya masih punya kans untuk kembali ke bodi segitu kan?”
Yeah. Obesitas itu emang kenyataan pahit. Di satu sisi, saya kerap ngadem-ademin diri sendiri dengan self-talk, “Gapapa… Biarpun gendut, yang penting sehat kan?”
Eh, siapa bilang gendut itu sehat? Justru, gendut/obesitas/dll adalah ALARM yang menandakan bahwa something wrong telah terjadi dalam tubuh kita. Pola makan yang buruk. Habit makan bakso yang ternyata berujung pada sesuatu yang aduuuuh, ngeri banget deh pokoknyaaa 😦
Hokehhhh… Mumpung tahun 2015 baru berjalan seminggu (eh, udah seminggu aja yak??) aku kudu pegang komitmen pada diri sendiri. Target 2015 (yang sempat diucapkan di tahun 2012, lalu tak kunjung tercapai di 2013, dan ingin dilaksanakan di 2014) adalahhhhh…… MENJADI SEHAT BUGAR BERAT BADAN IDEAL! Yaaaayyy!!(*)
Setelah kemarin menumpahkan uneg-uneg seputar Ibu Menteri yang assoy bin funky, hari ini Alhamdulillah, opini saya dimuat di Jawa Pos. Info soal dimuatnya tulisan ini kali pertama saya dapat dari SMS mbak Tatit Ujiani. Nuwun sanget mbak :))
Agak kaget juga. Baru dikirim jam 8 tadi malam, eh, ternyata bapak redaktur Opini JP mempersilahkan naskah ini nangkring di opini bagian atas. Alhamdulillah.
Seperti biasa, saya tuliskan naskah asli yang saya kirim ke opini@jawapos.co.id. Selamat mengirim opini Anda ke JP!
Tak terhitung artikel parenting yang saya jadikan pijakan dalam membesarkan anak. Judulnya pun beragam: How to Raise a Diligent and Smart Kid?; 10 Kiat Agar Anak Disiplin; Tips Jitu Anak Secemerlang Einstein; seabrek artikel lainnya. Aneka buku yang ditulis pakar parenting juga saya lumat. Semuanya membuat saya “ekstra-pede” dalam mengarungi sebuah pengalaman baru: Menjadi orangtua.
Tapi, sepertinya saya over-pe-de. Artikel-artikel tadi seolah tak membekas, manakala harus saya aplikasikan pada satu organisme yang kini ada di hadapan saya.
Ya, makhluk itu bernama Sidqi. Dan, ia anak saya.
Bocah yang dulu saya gembol kesana kemari selama 9 bulan lamanya, tiba-tiba saja, bertransformasi menjadi “monster”.
Bisa traveling, GRETONG alias GRATIS, dapat uang saku pulak, gegara silaturahim?
Bidih, siapa yang nolak, cobaaaa?
Alhamdulillah banget, aku pernah mencicipi masa-masa itu. Flashback ke tahun 2005-an ya cyin. Saat itu, aku masih langsing jadi reporter di SCTV.
Karena stuck gak nemu bahan liputan yang oke, muter2lah daku, cameraperson plus driver di seputaran Surabaya.
Ada aturan tak tertulis buat para reporter. Selama di mobil, HARAM hukumnya kalo enggak nyetel 100 FM Suara Surabaya. Kenapa? Ya, gitu deh, radio ini kan sumber info yang top markotop.
Salah satu info yang aku dapetin, ada Hotel bintang 4 (sebut aja hotel SPH) lagi mau bikin outing buat para pelanggannya. Destinasinya? Singapura plus Malaysia. Luar negeri, neik!
TING! Sebuah bohlam menyala di kepala. Sebagai anak muda penuh imajinasi plus mental oportunistis sejati *blah!*, aku menyusun ide, modus dan strategi supaya bisa ngikut di rombongan outing ini.
Padahal, aku bukan pelanggan di hotel ntuh.
Dan, sebagai reporter yang masih piyik bin junior banget, nominal tabungan belum menunjukkan angka yang menggembirakan.
Tapi… tapi… aku kan re por ter. Tu kang ca ri be ri ta. Dan, hotel itu kan bu-tuh-ba-nget-bu-at-di-be-ri-ta-in.
Gotcha…!
Berbekal ke-pede-an level akut, plus semangat membara (plus doa, tentu saja) aku bulatkan tekad untuk SILATURAHIM ke pihak hotel. Please note, bahwa aku SAMA SEKALI ENGGAK KENAL dengan mereka ya. Tapi ya itu tadi. Modalku adalah kekuatan postive thinking, plus, ke-pede-an yang membumbung tinggi. (yang ini beda tipis ama enggak tahu diri sih yaa, heheheh…)
Eh, Allah Maha Baik.
Walhasil kami ngobrol bas-bis-bus, yang intinya aku siap meliput dan memberitakan semua kegiatan hura-hura-syalala yang dilakukan pihak hotel. Plus, kita tampilin interview dengan GM Hotel. Pokoke dijamin syiiip!
Si manager hotel sempat jawab gini, ”Sebenarnya kita alokasikan buat anak koran J*wa P*s sih mbak. Tapi nanti kita lihat lagi ya. Kalau anak JP itu nggak respon, ya mungkin buat mbak gapapa lah.”
*Berdoa dimulai*
Fa idza azzamta fatawakkal alAllah… Ketika engkau sudah membulatkan tekad, sudah bersilaturahim, sudah mengupayakan negosiasi, maka serahkan hasilnya pada Allah… Tawakkal sejak awal.
Lalu, hasilnya?
Taraaaaaa….. Ini dia…. foto-foto selama kami dipersilakan outing bareng dengan hotel.
Hasil silaturahim –> traveling gretooong
Asyik ya, “hanya” dengan modal silaturahim, ternyata impian kita bisa mewujud jadi nyata. Gara-gara silaturahim, untuk kali pertama saya punya paspor, sodara-sodara…!
Dan, rasanya semakin”heroik” gitu lo, karena kami sendiri yang nge-lobi ke pihak hotel. Bukan karena campur tangan atau intervensi dari pihak bos-bos SCTV di Jakarta. Ihiks!
Jadi, kalau ditanya, apakah saya jadi adiksi ber-silaturahim?
Weits. Lihat-lihat dulu. Kalau ada undangan untuk silaturahim dengan teman-teman SMP, SMA, dll-nya, jujur niiih, jujur… aku bakal memilih untuk say no.
Kenapa? Well, gimanapun juga, aku sering diterpa badai ‘enggak pede’ dan ‘enggak bisa menerima kenyataan’ demi mendengar ‘bully’ mereka, sebangsa….
“Ya ampuuuun, kamu LEBAR banget ya Rul, sekarang?” *diucapkan sembari mata melotot zoom in zoom out*
“Wiiiksss, ini ada adik bayinya atau emang isinya full LEMAK semua siiih?” *diucapkan sembari mijit-mijit my tummy TANPA SEIZIN SAYA*
Atau… kalimat-kalimat sarkas yang menujes-nujes hatiku, dan rasanya sepahit puyer obat sakit kepala.
“Oh. Jadi, kamu sekarang cuma kerja di yayasan sosial gitu? Nggak nyangka ya, si ranking 1 itu cuma jadi penulis untuk majalah yayasan?” *diucapkan dengan nada sengak bin nyinyir.
“Ya elaaah… ngapain kerja di yayasan gitu? Berapa sih gajinya?” *diucapkan sembari nglirik-nglirik sadis*
Baiklaaaah… cukup sekian dan terima kasih lho, atas hina-dinanya *kalem*
Kalau momen silaturahim (yang biasanya dibungkus REUNI, TEMU KANGEN, dll) hanya jadi ajang untuk PAMER karir yang moncer, atau MENGHINA nasib rekan, yaaa… mohon maap….
I will say BIG NO for attending this and that.
Tapiii… kalau silaturahim dengan member KEB alias Kumpulan Emak Blogger?
Nggak banyak orang Indonesia yang berangkat haji di usia muda. Padahal, haji adalah Ibadah Fisik banget! Bayangin aja, selama Haji, kita kudu ngelakoni Thowaf (muterin bangunan Ka’bah selama 7 putaran), plus sa’i (jalan cepat antara bukit Shofa dan Marwah) juga selama 7 kali. Bangunan Masjidil Haram yang luas banget itu, juga kudu ditempuh dengan berjalan kaki. Kebayang kalo yang harus ngejabanin itu semua adalah nenek-nenek berusia 70-an tahun, lumayan bikin encok rematik jadi kumat bukan?
Syukurlah, saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk berhaji di usia yang masih lumayan “pagi”: 29 tahun. Walaupun bobot bodi saya lumayan bikin ngos-ngosan—berat saya 69 kg dengan tinggi badan 155 cm, tapi, saya kan masih muda banget jadi saya optimis dan super-pede dengan perjalanan Haji pertama saya ini.
Ya Allah… pengin ke sini lagiiii….
Ternyata, di Mekkah, saya kudu nginep di maktab (penginapan) di kawasan Syisya yang berjarak sekitar 6 kilo dari Masjidil Haram. Untungnya, gara-gara lokasi yang cukup jauh, saya dapat cash back dari pemerintah RI senilai 700 reyal. Selain itu, untuk menjangkau Masjidil Haram cukup naik bus Saptco 2 kali, dengan rute: Syisya-Terminal Mahbaz Jin, lalu ganti bus lagi, dengan jurusan Terminal Mahbaz Jin-Masjidil Haram. Busnya gratis pula. Jadi, pemerintah Indonesia menyiapkan sejumlah armada bus dengan rute yang disesuaikan berdasarkan lokasi maktab. Karena maktab saya bernomor 203, maka saya kudu naik bus nomor 2, jurusan Syisya. Nah, di Syisya itu bercokollah ribuan umat manusia yang juga pengin naik bus gratisan dengan destinasi yang sama: Masjidil Haram. Namanya aja bus gratisan, butuh perjuangan ekstra untuk bisa nangkring manis di dalam bus, baik dalam perjalanan dari maktab ke Masjidil Haram, maupun sebaliknya.
Apa aja kendalanya? Tentu perkara antre. Untuk bisa nangkring manis di dalam bus, kita musti baris-berbaris di sekujur line yang disediakan petugas haji di kawasan Bab Ali (pintu Ali) di Masjidil Haram. Antrinya bak ular naga panjangnya bukan kepalang! Tapi namanya manusia itu susaaahh banget diatur. Ternyata selama di Arab Saudi, beberapa dari kita justru menjelma menjadi “Monster”. Meski sama Pak Ustadz bolak-balik diceramahin bahwa kita kudu melatih kesabaran selama Berhaji, wew, ternyata slogan “Orang Sabar Disayang Tuhan” kagak berlaku manakala kita antre bus.
Pernah tuh, saya antre dengan rapih-jali, tiba-tiba seorang manusia slonong boy di sebelah saya, ia dengan cueknya nyerobot! Sabar, sabar Bu Haji… saya cuman bisa membatin. Eeh beberapa detik setelah itu, muncul segambreng manusia yang nyerobot juga. Terang aja, kami yang udah hampir mati berdiri saking lamanya antre, langsung muntab. “Woooiii… antre woooiii!”, kami pun koor neriakin si tukang serobot. Entah pura-pura budeg atau emang budeg beneran, tuh orang kagak ngeh dan nggak meduliin teriakan kita. Langsung aja saya samperin mereka, “Pak, antre tuh baris ke belakang, bukan baris ke samping. Di sekolah pernah ikut upacara bendera gak seh?”
Lain waktu, ada nenek-nenek yang ngantri di belakang saya. Hmm, enak nih, kalo nenek-nenek biasanya sopan. Lah, ternyata dugaan saya meleset! Biar kata nenek-nenek, dia tetep dengan pedenya dorongin badan saya yang segede gaban ini. Saya pun nyolot, “Rese deh! Nek, saya tuh bisa jalan sendiri, nggak usah didorong-dorong kenapa?”. Dan dengan manisnya, tu nenek malah melengos.
Setelah antre-mengantre yang super ngeselin itu, kami menanti detik-detik yang menegangkan untuk keluar dari Bab Ali. Jadi, para petugas itu membentengi kami yang lagi ngantre ini dengan sebingkai rantai. Manakala rantai penghalang itu dibuka…. Gruduuuuggg, para jamaah haji ini lepas begitu saja, kayak kuda dikeluarin dari kandangnya! Lalu, kita musti dorong sana-dorong sini, demi mendapatkan posisi wenak di dalam bus. “Kalo lo pengin dapat tempat duduk di bus, maka lo kudu agresif!” gitu kata salah satu temen sekamar saya. Jadilah, sikut sana, sikut sini sambil lari-lari ngejar bus.
Nah loooo, gue berdiri kan di Bus Saptco! Kepaksa nyengir euy 🙂
Dapat kursi di dalam bus bagaikan secuil surga yang dilemparkan Tuhan ke muka bumi. Jadilah, kalo pas lagi hoki dan dapat tempat duduk, saya merem-meremin sekujur indra penglihatan, dan pura-pura bego ajalah, biarpun ada jamaah lain yang meminta belas kasihan untuk ikutan numpang duduk. Tapi, kadang, suka terbersit perasaan pengin nolong juga, apalagi kalau yang pasang tampang ‘melas jaya’ itu adalah nenek-nenek yang kliatan lemes banget gara-gara kurang oksigen pas antre di Bab Ali.
Belum lagi kalau kebetulan kita satu bus dengan jamaah dari negara lain, misalnya Turki atau Iran yang badannya segede alaihim. Tenaganya jos markojosss! Jangan coba-coba sikut-sikutan ama mereka, dijamin kita bakal dikepret. Pernah nih, saya coba berusaha “asertif” dengan tetep keukeuh ambil giliran saya untuk naik bus. Apa yang terjadi kemudian? Saya disikut, plus dapat bonus lirikan tajam yang seolah-olah mengatakan, “Apaan lo? Orang Indonesia bodi kontet kayak gitu mau coba-coba lawan gue?”
Eniwei, justru suka-duka selama antre bus yang kayak ular naga panjangnya; sikut-sikutan antar jamaah; dan watak asli kita yang keluar selama di sana, adalah hiburan yang lumayan memorable selama saya berhaji. Kalau udah kumat betenya gara-gara capek antre dan lari-lari kejar bus, saya coba alihkan dengan ngobrol bareng mas-mas Temus alias Tenaga Musiman, yang jadi petugas transportasi di Arab Saudi. Mas-mas ini adalah orang Indonesia, kebanyakan mahasiswa Al-Azhar University, Kairo, Mesir, yang memanfaatkan libur kuliahnya dengan cari ceperan di Arab. Lumayan enak diajakin ngobrol, bahkan saya kerap diajarin beberapa kosakata Bahasa Arab. Maklum, sopir bus gratisan itu kebanyakan orang Sudan yang ga bisa berbahasa Inggris. Efek positifnya bisa ditebak. Saya gak perlu bingung-bingung manakala nyuruh sopir bus buat berhenti di depan maktab. Bonusnya adalah, tatapan mata kagum dari penumpang lainnya, “Wah, ternyata mbak ini bisa bahasa Arab tho? Lulusan pesantren mana yak? Pasti dia hafal Quran juga.” Hehehe… saya pun turun dari bis dan melenggang dengan jumawa.(*)